6 Desember 2012

Menulis feature, membaca kehidupan



Dunia jurnalisme kita hari ini, feature merupakan ragam tulisan yang saat ini banyak dicoba dan digali oleh media cetak, seperti pantau, dan tempo. Hal ini tak lain dikarenakan keawetan tulisan dalam feature, yang menjadi senjata guna menghadapi persaingan dengan media elektronik atau online yang sangat luar biasa dalam hal kehangatan dan kecepatan berita.

Sebuah tulisan feature sendiri adalah laporan jurnalisme yang dikemas dengan narasi yang membangun alur cerita dalam berita yang hendak disuguhkan. Laporan pun bukan peristiwa-peristiwa mainstream, akan tetapi penggalian pada angle lain -yang kebanyakan feature lebih mengangkat sisi human interest.

Menurut Vare dalam tulisan kata pengantar Andeas Harsono di Jurnalisme sastrawi ada beberapa yang menjadi pertimbangan dalam menulis sebuah laporan narasi yakni fakta, konflik, karakter, akses, emosi, perjalanan waktu, dan pembaharuan.

Fakta adalah elemen penting dalam feature. Setiap detail adalah fakta; nama, tempat, kejadian. Tanpa bumbu-bumbu semacam opini atau imajinasi penulis. Ini pula yang membedakan feature dengan cerpen. Tulisan laporan saksi mata Seno gumira tidak bisa disebut feature karena tulisan tersebut tak murni fakta.

Sementara konflik menjadi elemen yang juga tak kalah penting. Konflik dapat berupa sengketa, perselisihan, atau konflik sosial lain. Bisa konflik antar kelompok, agama, atau juga konflik batin seperti pertaruhan nasib seorang pengamen jalanan. Tanpa adanya konflik akan menjadikan sebuah feature terasa hambar. Konflik akan menjadi semakin baik dengan kelihaian penulis membangun emosi dan suasana dalam tulisan.

Seorang penulis feature yang baik adalah kemampuan mereka dalam menemukan dan mengambil angle tulisan. Menemukan angle adalah melatih kepekaan. Melatih kepekaan dengan mamakai imajinasi dan kekuataan pengamatan, untuk melihat hal-hal yang menarik yang luput dari perhatian orang lain. Semisal memperhatikan orang yang mempunyai pandangan yang berbeda atau unik dalam menyikapi suatu persoalan.

19 Juli 2012

Demokrasi dan Histeria

Dekat ini Jakarta menyongsong pesta demokrasinya pemilihan DKI-1. Enam calon bersaing untuk saling sikut memperebutkan kursi. Dari nama calon yang muncul, persaingan ditaksir bakal ‘panas’. Fauzi Bowo memimpin dalam perhitungan elektabilitas, tapi  lawan-lawan politiknya diprediksi dapat menikam diakhir. Sebut saja Jakowi yang namanya melambung semenjak “esemka”, Alex Noerdin yang dianggap sukses di Sumatera selatan, atau Faisal Basri sebagai calon independen yang belakangan merangsek sebagai calon kuat.

Akan tetapi persaingan ‘panas’ Pilkada DKI seperti hanya terjadi pada lingkup antar calon terpilih dan tataran partai politik. Sebab muncul kesan paradoksal masyarakat Jakarta adem-ayem menanggapi pilkada DKI. Apa yang terlontar dari Mistar (35) seorang menjual gorengan, “saya enggak kenal calon-calon gubernur. Siapa pun yang terpilih, saya cuma mau harga bahan pokok murah”[1], mewakili suara rakyat yang sepenuhnya kecewa, pada demokrasi dan politik. Harga-harga barang yang mencekik rakyat miskin, Kasus-kasus korupsi, jual-beli kasus, dan tebang pilih hukuman, telah membuat rakyat tak lagi percaya adanya keadilan.

Goenawan Muhammad (GM) sebenarnya sudah mengurai secara gamblang kelesuan ini dalam demokrasi dan kekecewaan. GM memetakan sejarah demokrasi kita semenjak demokrasi awal kemerdekaan, demokrasi terpimpin Soekarno, demokrasi pancasila Soeharto, dan sekarang demokrasi ‘liberal’ era reformasi sebagai “harapan yang retak”. Kesemuanya mengarah pada tendensi bahwa demokrasi sebagai format, entah presidential atau parlementer, justru oligarki dan otoriter, menampikan platformnya: dari, oleh, dan untuk rakyat.

25 Juni 2012

Memaknai Kembali Ruang Kelas



Idealnya ruang kelas adalah sebuah ruang transformatif, yakni ruang pembentukan serta perubahan bagi alam fikir, akal budi, dan spiritual seorang peserta didik. Diharapkan selepas keluar dari ruang kelas mereka akan menjadi seorang intelektual yang berintegritas dan bermoralitas tinggi ketika hidup bermasyarakat.

Namun yang terjadi adalah kesenjangan antara kondisi ideal dengan realitas. Ruang kelas  melahirkan para lulusan yang miskin integritas, dan bermoralitas picisan. Watak dan sikap para pemangku kebijakan di negeri ini adalah potret parsial terjadinya “mis-transformatif” di ruang kelas. Yakni terjadinya kekeliruan dalam konsep maupun praktik. Kekeliruan seperti apa? Dan Apa yang menyebabkan terjadinya “mis-transformatif ini?”

Ruang kelas di sekolah-sekolah atau di lembaga pendidikan kita saat ini tidak mengkondisikan sebuah ruang belajar. Secara fisik, ruang kelas saat ini walau tidak seluruhnya baik dalam fasilitas, seperti banyak sekolah saat ini telah dilengkapi dengan LCD atau proyektor, ruang ber-AC, dan sebagainya. Namun disisi lain secara kultur dan visi belum mencerminkan sebagai ruang belajar, yaitu sebagai ruang penuh hasrat akan pengalian ilmu pengetahuan.

Ruang kelas gagal membentuk kita memahami hakikat belajar. Belajar tidak dimaknai sebagai sebuah proses dimana hasil itu sebagai konsekuensi logis dari proses belajar. Akan tetapi telah terjadi kekeliruan persepsi. Belajar di ruang kelas  dipragmatisasi sebagai pengejaran terhadap nilai raport, nilai UN atau nilai IPK. Kondisi ini oleh penulis sebut sebagai “budaya nilai”.

20 Mei 2012

Sekolah, Pesakitan dan Frustasi



Membaca kondisi pendidikan kita saat ini sepertinya mencoba membuka diskursus yang usang dan kusam. Banyak tafsir dan intepretasi, tarik ulur benang kusut, yang terkadang hanya menimbulkan frustasi di belakang. Sebenarnya, ekspresi yang tersingkap adalah pendidikan telah mengecewakan kita. Terlebih pada simbol dimana pendidikan itu dihegemonikan semacam tempat ibadah, sekolah.

Pendidikan yang ditraktat sebagai jalan untuk memanusiakan manusia tengah menemukan jalan buntu, mungkin juga berbelok arah. Secara parsial pendidikan kini menjadi ajang adu prestis antar sekolah: Sekolah kami berpredikat “lulus 100”, sekolah kami ber-AC, atau sekolah kami menawarkan paket “bilingual” atau “internasional”. Pada kondisi ini, sekolah tak lagi memposisikan diri sebagai kawah candradimuka para civitas akademika, tapi sebagai sebuah sekolah kapitalis.

Kehadiran sekolah kapitalis ini kemudian melegitimasikan cara berfikir borju kepada para orang tua yang menyekolahkan anaknya. Pendidikan dan sekolah menjadi ajang adu gengsi antar orang tua: anakku sekolah di sekolah favorit, atau anakku sekolah di sekolah internasional. Pada akhirnya sekolah kapitalis menciptakan kelas-kelas sosial baru. Memetakkan mana sekolah bagi si kaya dan mana sekolah bagi si miskin.

16 Mei 2012

Bisu



APA SALAH jika aku tidak peduli nilai. Setidaknya dengan hasil. Apakah kuliah hanya sekedar mengejar nilai, kemudian merawatnya baik-baik. Rela melakukan apa saja, hanya demi selembar kertas yang tak memanusiakan manusia ini. Demi nilai aku belajar semalam suntuk, menghafal, membeo, membuat catatan kecil, catatan pinggir, lalu mencontek. Ah, aku jenuh dengan kata terakhir tadi.

Pertanyaan-pertanyaan ini, terus berputar-putar di otakku. Menghujamiku bak hujan meteor yang membakar hangus semua ingatan tentang nilai. Menghakimiku, menyudutkanku, lalu menelanjangiku. Seolah-olah akulah seorang terdakwa si pengikut nilai. Lantas, aku pun tak berdaya, aku rapuh, dan akhirnya hanya termenung. Bisu. Nilai benar-benar pernah menjadi Tuhan bagiku. Cih!

Tapi kini tak lagi. Aku jenuh. Aku bosan. Dan aku muak. Jenuh menjadi botol kosong yang terus dijejali aksara-aksara tak bermakna selama bertahun-tahun. Bosan membohongi orang tua, memberikan mereka kebahagian utopis. Dan muak karena sekolah justru membuatku merasa kian bodoh. Bahagiakah aku berada di ruang kelas selama ini? Entahlah. Semua ini membentukku menjadi manusia yang skeptis. Pula memaksaku melawan kehendak Bapak.

AH, Bapak tak pantas dipersalahkan. Ia sama halnya lelaki melarat kebanyakan. Berwatak keras, sulit menerima hal apapun yang bertentangan dengan pola pikirnya. Bagi mereka, Kebenaran hakiki adalah kebenaran yang telah ditanamkan para pendahulu kami, para kaum melarat. Aku bisu. Nasib menjalani kerasnya kehidupan telah membentuk karakter yang keras pula.

Masih kurekam jelas sore itu. Aku seorang anak yang baik, patuh dan selalu menuruti perkataan bapak, tiba-tiba melawan. Entah setan apa yang merasukiku. Ku berontak, dan membantah semua perkataannya. Tak ada yang mengalah. Berselisih tentang nilai, tentang kuliah, juga tentang masa depan kami.

Kami terpaku. Mata kami saling menatap dengan sorot yang tajam dan menusuk. Juga nafas yang mengendus. Tapi tak lama berlalu, aku pun lalu menunduk. Terdiam dengan tatapan kosong. Suasana hatiku kalut, tak tahu apakah aku harus menyesali. Ruang sempit tempat kami biasanya makan bersama itu pun hening tanpa suara. Bisu. Sesaat kemudian, aku berpaling, melangkah keluar. Pergi.
Nilai lah yang salah. Sekolahlah yang harus bertangggung jawab atas pertengkaran ini. Bukan aku.

11 Maret 2012

Bakat, Posisi dan Hal-hal yang Belum Selesai




...Ketika kami memeluknya satu persatu tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah... (laskar pelangi)

Sastra yang baik adalah yang tidak intim, akan tetapi mendekatkan kita pada realitas. Laskar pelangi Andrea Hirata barangkali satu diantaranya. Novel yang menjadikan Belitong, tanah tambang timah sebagai latar dari kisah tragis yang dialami oleh Lintang. Seorang bocah pesisir anak nelayan kampung yang cerdas luar biasa, harus putus sekolah karena benturan biaya setelah Ayahnya, si pria cemara angin meninggal.

Baik novel maupun filmnya, sedikit banyak mengambarkan potret kecil dunia pendidikan kita. juga tentang bakat. Lintang adalah satu contoh kecil, karena penulis fikir masih banyak lintang-lintang lain, yang tak pernah tersingkap, anak yang memiliki bakat luar biasa akan tetapi bakatnya tersebut harus terkubur karena keterbatasan.

Bakat dan pendidikan merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dengan pendidikan yang baik, entah itu lewat pendidikan formal maupaun formal, akan menyebabkan bakat dari seseorang dapat dikembangkan secara optimal. Namun kenyataannya, pendidikan kita saat ini, khususnya pendidikan untuk anak berbakat masih menyisakan berbagai persoalan pelik. Pendidikan kita belum bisa mengakomodir kebutuhan akan layanan pendidikan khusus untuk anak berbakat.

2 Maret 2012

Kluyuran: di jalan-jalan dekat kampus UPI


Bermula pada satu hari yang hangat, november 2011. Ini kisah tentang perjalanan. Agar lebih dekat, sebut saja dia si kluyuran.[i] Musababnya jelas, dia suka kluyuran atau jalan-jalan. Kemana saja, kapan saja, dan kadang tanpa sebuah ikhwal apapun, hanya berjalan. Karenanya kisah ini mungkin akan terkesan sepotong-potong, tak mendalam, hanya sekilas, dan kadang tidak jelas maksud yang hendak diutarakan. Hanya, bukan berarti tak  berpesan apapun.
***
“Baiklah, sudah semua. Kita sampai!”
Bus meluncur. Si kluyuran dan beberapa kawan sejawatnya, mahasiswa pengiat Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM)Universitas Negeri jakarta (UNJ) khidmat menundukkan kepala. Memanjat doa pada Tuhannya, agar lurus sampai yang dituju: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.

Sekitar pukul 9 pagi rombongan sampai. Kampus UPI sedikit banyak menuai tanggapan. “Gedung UPI bagus, rapi, luas dan berkarakter.” Ujar seorang. “ia, tapi harus tetep bangga dengan UNJ”, tukas yang lain. Hanya saja itu tak lama. Satu yang lebih tua diantara mereka, Naufal (22 tahun) mengajak sejenak berkumpul. Memberi sepatah kata, tentang maksud yang hendak mereka tuju: menimba ilmu dan pengalaman dari acara MITI Neuron Award, mencari kisah yang bisa dibagi, sesambil menikmati panorama dari waktu luang yang ada.

Si kluyuran pun bingung. Pada mencari kisah yang hendak dia bagi. Hari adalah minggu, sepi. Kampus rehat dari rutinitas kegiatan akademik maupun nonakademiknya. Kalaupun ada, itu tak seberapa dari acara kecil. Atau segelintir mahasiswa –yang si kluyuran pun tak tahu mereka hendak apa.  Pagi itu: kampus UPI Bandung miskin cerita.

Tapi kemudian semua telah diputuskan, pun setelah mendapat pesan singkat dari kawannya. Dia hendak keluar kampus, dan melakukan apa yang ia suka, kluyuran. Barangkali ada yang “lebih kaya” di luar sana. Padahal kala itu matahari sudah mulai meninggi, sinarnya pun cukup terik, namun angin sejuk berhembus menerpa tubuhnya yang ringkih, hingga sedapatnya menghangatkan perjalanan si kluyuran. Dan dia pun berjalan, sendirian.

Autisme dan Lelucon Kita



Kita ada di zaman ketika lelucon menjadi sebuah budaya. Lelucon lahir, dengan sindiran-sindiran yang mengundang senyum, anekdot-anekdot yang mengelitik, mengocok perut kita hingga kaku. Berangkat dari hal yang ragam rupanya, dari “upil” sampai “puding”, tak pernah habis atau basi. Objeknya pun tak kenal muka, dari “sopir angkot sampai presiden”. Semua bisa kena! Lelucon seakan telah menjadi selingan yang paling menarik di tengah rutinitas dan keseharian kita yang menjenuhkan.

Tapi, lelucon sering menjurus ke olok-olok, cemooh atau maki. Tak sekedar guyonan renyah, tapi hina dan cela pada “yang kurang atau beda” lebih kerap hadir dan kadang justru dianggap paling menggoda untuk “dileluconkan”. Sebabnya, kita tak lagi asing dengan lelucon ini, “Buta Lu! Budeg lu! Bego lu!” atau yang lebih renyah dan hangat, “Autis Lu!”. Dan dewasa ini, celoteh atau bahkan celaan ini kerap muncul dalam sela-sela obrolan kita. Dalam sebuah narasi keseharian yang sering kita jumpai:

Segerombol remaja tengah asik bercanda di sebuah kafe. Satu diantara kawan mereka tak ikut dalam perbincangan, asik dan sibuk dengan BB-nya. Lantas satu diantara lainnya pun jenuh melihatnya, “heh, diem aja ni, ikutan ngobrol dong, jangan berkicau aja di twitter, berkicau disini lah.” Seorang teman lainnya pun menimpa, “sudahlah, biarin aja, dia kan autis..!!”, haahaahaa...“ -kafe itu pun riuh oleh gegap tawa mereka.

Narasi tadi sedikit memberi pesan, bahwa terkadang kita tidak sadar, larut dalam apa yang telah membiasa dalam kerangka kewajaran. Menafikan yang baik dan yang buruk. Hingga batas-batasnya seakan menjadi bias, bahkan absurd. Termasuk dalam hal berbahasa. Ujaran yang mengandung SARA atau diskriminasi pada “Yang lain”, kini tak lagi ditanggapi dengan nada lantang dan keras. Kita melunak.

3 Manusia 2 Dunia 1 Harapan


Malam kian larut, sementara aku tersudut disini, di ruang-ruang kegelisahanku. Entah kenapa kedua mata ini tak mampu ku pejamkan, Termenung memikirkan kejadian tempo hari. Pertemuan tiga orang manusia, dengan dua dunia dan satu Harapan.
***
Sebuah pertemuan singkat. Antara aku dengan salah seorang tuna netra bernama Juanda. Beberapa patah kata kita berbicang, mengurai satu demi satu rasa penasaran. Tiap kata yang terucap, tiap lakunya, mungkin juga hati yang membisikkan harapannya. Kulakukan dengan sejuntai asa, bisa mengerti secuil tentang kisah hidupnya. Terlebih dunia tuna netra.
Walau sejujurnya pengetahuanku akan dunia mereka sangat awam. Hingga akupun malu untuk mengutarakannya. tapi jika boleh berceloteh; Juanda adalah salah seorang tuna netra yang hidupnya cukup beruntung. Ahpasti kalian berfikir; engkau sungguh kejam, Tidak kah engkau berfikir betapa sulitnyanya menjalami hidup sebagai seorang tuna netra?. Akupun lalu hanya diam. Menunduk. Kerena sekali lagi aku hanya awam. Awam yang ingin sekedar berujar. Maka izinkanlah aku kiranya menjelaskan maksudku. Dengarkanlah.
Alkisah, Juanda mengalami gangguan tuna netra sejak kecil. Akibat step dan panas tinggi yang mendera kedua bola matanya. Sebuah diary awal yang tak mudah bagi juanda kecil. Ia ringkih, tertatih-tatih dalam kegelapan yang kadang terasa tak adil. Hingga pada suatu malam ketika Juanda tengah terlelap, ia didatangi  seorang filsuf bijak. Berbisik; “Sesungguhnya gelap itu tidak ada nak.”
Syahdan, sejak malam itu Juanda berubah. Ia begitu semangat menjalani hidupnya. Entah kenapa. Lalu ia pun mengenyam Sekolah. belajar tentang huruf braile, orientasi, juga mobilitas. Hal yang membuatnya tumbuh menjadi seorang tuna netra yang ‘berbeda’ dan lebih beruntung.

si Orto dan Juanda



Pada suatu hari di bulan maret, seorang mahasiswa dari kampung, sebut saja namanya Orto. Ditugaskan oleh mahagurunya sebuah misi. Ke sebuah tempat yang tak ia mengerti; rahasia, tersudut dan asing. Sebuah dunia kegelapan. Celakanya, ia disuruh mencari, bertanya, lalu berteman dengan makhluk-makhluk yang ada di tempat itu. Ah, sungguh mengerikan!
Untungnya, si Orto tak sendirian dalam misi tersebut. Tapi ditemani oleh gadis-gadis cantik. Mereka adalah Siti, Yuli, Ina, dan Puspita. Nama yang terakhir disebutkan tadi adalah orang yang akan mengantarkan mereka ke tempat misi mereka, dunia kegelapan. Dahulu, Puspita adalah bekas penghuni di sana!
Tanda-tanda tak mengenakan sudah terasa diawal misi mereka. Awalnya, kelima manusia itu berencana kumpul di halte Harmoni tepat pukul 8 pagi. Tapi, karena manusia pula, akhirnya molor sampai jam 9 pagi. Selebihnya adalah acara menunggu bus yang sangat menjengkelkan. Lama, lama sekali. Sampai-sampai si Orto punya ide brilian menyuruh Ina---berkacamata---untuk pura-pura menjadi seorang tuna netra, agar mereka diprioritaskan dalam antrian. Ah, dasar kau Orto.
Setelah berdiri di busway sekitar satu jam, ditambah perjalanan sekali naik angkot, akhirnya si Orto cs sampai di tempat misi tersebut. Suasana mencekam begitu terasa saat langkah-langkah kaki mereka kian dekat saja dengan lokasi. Rasa curiga, takut, asing dan penasaran campur aduk layaknya sebuah gadu-gado rasa. Dan akhirnya, sampailah mereka di tempat itu. sebuah papan bertuliskan “Mitra Netra” menyambut kedatangan mereka.

Plato




SAYA TERINGAT. Sekiranya satu tahun yang belakang. Samar-samar sepengal kesan itu tertuju pada seorang lelaki. Duduk dideret paling kanan, di sudut diamnya. Bila saya coba gambarkan, Ia sebenarnya tak begitu rupawan; kecil, kurus, dan kusut. Hanya saja, lelaki tadi memiliki mata yang menarik. Sebabnya lah masih lekat ingatan saya pada lelaki ini. Ia tengah mengikuti acara sebuah organisasi di kampusnya, sebut saja OCAB LKM. Dan sama halnya dengan rupa, gelagatnya di acara tersebut pun tak menjanjikan. Ia neurves ketika disuruh kakak-kakaknya berbicara, malu untuk bertanya, diam ketika acara diskusi, dan sekali lagi, tak menjanjikan. Barangkali, dari sini saya tahu kalau lelaki ingusan ini ternyata berasal dari kampung. Pendek cerita, acara usai dan asa baru terkembang. Lantas ia bersama kawan-kawan barunya kerap dipangil “PLATO”.
***
AH, entah kenapa saya jadi teringat Nietzche. Ia pernah bergurau tentang waktu. Waktu, menurutnya tidak membentang linier seperti antara hidup dan mati. Namun melingkar. Dan ia lebih suka menyebutnya sebagai ‘saat’. Bagi saya sendiri, waktu bukanlah seonggok kata yang ‘penuh’, tapi ia selalu terisi oleh ruang. Ruang dan waktu. Keduanya yang kemudian menciptakan ‘saat’. Ya, Tanpa saya sadari, Ruang G.305 dan waktu satu tahun belakangan ini telah menciptakan ‘saat-saat’ bagi saya dan juga teman-teman Plato. Saat dimana kita bersama-sama belajar, bergumal dengan publik speaking, kajian, dan penulisan. Menyatukan hati dan berbagi dengan teman-teman kecil kita di kampung Cikopak, pula saat ‘tugas’ reportase akhirnya mengikat kita menjadi sebuah keluarga arete di LKM.
Lantas apa yang menyoal dari perkatakan Nietzche; waktu tidak membentang linier tapi melingkar? barangkali ini menemukan titik tautannya dengan belajar, waktu yang kita jalani untuk belajar di LKM. Ternyata, tidak membentang linier sebagai si bodoh yang kemudian berhenti pada sebuah titik sebagi si cerdas, atau dari murid yang goblok kemudian menjadi guru yang maha tahu. Tapi waktu belajar di LKM adalah Bersama sahabat mengejar arete, begitu kata Anto kawan baik saya.
Wadah ini memberikan eros (hasrat) untuk menjadi manusia yang berpengetahuan, efeknya berguna bagi sahabat-sahabat yang lain di masa depan. Ingatlah, wadah ini tak ada guru, kita semua adalah murid-murid yang saling memberikan pengetahuan[1].

Surat[*]



Membongkar benda-benda berharga yang sudah lama kita simpan rapat-rapat, atau membaca kembali lembaran cacatan usang selalu menghadirkan cerita tersendiri. Karena dari situ; kita seringkali menemukan hal-hal kecil berupa surat-surat penting, benda-benda rahasia, foto-foto orang yang kita sayangi, sampai terkadang uang logam 25 perak pun ikut terselip. Lantas, kita bernostalgia, tentang kisah-kisah terdahulu. tanpa sadar kita pun tersenyum, tertawa sendiri, mengingat hal konyol yang pernah kita lakukan, atau malah sedih ketika mengenang masa lalu kita yang pahit.
Setidaknya, itu yang saya alami ketika packing. Dimana kondisi memaksa saya harus angkat koper dan ‘pulang’ lebih awal. Pula, menunda sejenak mimpi-mimpi kecil saya. Ya, idealisme kita seringkali bertolakbelakang dengan realitas yang ada. Padahal saya pun tak lebih dari lelaki tanggung kebanyakan, yang seringkali dikuasai oleh idealisme dan mimpi-mimpi konyol; Harus tetap bahagia walau hari esok agak terlihat kabur, tak cemburu ketika tahu IP kawan-kawan semester ini ternyata lebih tinggi, selalu mendukung Liverpool walau tidak masuk liga champions musim depan, dan yakin bisa melanjutkan study S2 di luar negeri meski bahasa inggris saya payah.
Akan tetapi, entah kenapa belakangan saya menjadi sosok yang negatif dalam menyikapi hidup. Ragu apakah ‘kebahagiaan’ itu benar-benar ada atau hanya idealisme semu manusia. bisa jadi akibat membaca novel galau: perang, yang saya pinjam dari kawan yang baik hati. Kini, saya sinin dengan petuah Plato bahwa untuk bahagia kita harus mengabaikan diri. Padahal I will never walk alone. Dan jika seperti itu, bukankah saya juga harus mengabaikan orang lain? Mengabaikan ‘keringat’ orangtua dan kakak-kakak saya? mengabaikan masa depan adik-adik saya?. Pada ujungnya saya lebih percaya dengan perkataan Sigmun Freud bahwa sejatinya manusia itu dikuasai oleh ego-nya, ‘sadar’ dengan realitas yang ada. Lantas saya memilih melanjutkan acara packing daripada terperosok dalam kegalauan yang absurd.

EL NINO: Pergi dan mencari



“Sahabat adalah seorang yang mengetahui lagu yang ada di hatimu dan dapat menyanyikan kembali ketika kamu lupa syairnya.”
- CS Lewis (1898–1963)-
Seorang bocah---bocah itu apa atau siapa?---pergi dari rumahnya. Dan itu bukannya tanpa alasan. Ia diusir karena nilai sekolahnya membuat perih mata orang tuanya. Dia diusir sebab mencuri uang milik tetangganya. Dia diusir akibat menghamili teman perempuannya. Dia tak diusir, tapi kawin lari dengan gadis yang dicintainya.
Tak, tak seperti itu. karena sekali lagi dia hanya bocah (membantah alasan pertama), hanya bocah (membantah alasan kedua), hanya bocah (membantah alasan ketiga), dan hanya bocah (membantah alasan keempat). Lalu, sebenarnya alasan itu ada atau tidak ada?. Lagi, bocah itu apa atau siapa?
Lalu sampailah ia disuatu tempat yang ramai. Tapi itu bukan tontonan orkestra para biduan yang sering manggung di kampungnya. Karena tak terdengar suara yang mendayu-dayu, yang ada malah bunyi kumbang bermesin yang terasa bising di telinga---kelak bocah itu tahu bahwa kumbang bermesin tadi bernama bajaj. Bukan pula pasar tempat ia dulu disuruh ibunya membeli lombok brambang. Karena ia tak melihat para laki-laki dan perempuan tua yang biasa ia lihat menjajakan dagangannya. Tempat apakah ini?

7 Februari 2012

Kepada Angin



jangan kau tanya
aku tak tahu
semua beku seperti kutub
kaku pada mula yang senyap

bilapun mata ini ku paksa
pasti kau luruh kecewa
hanya segunduk tanah hijau
juga teki yang merisau


baiknya kucerita saja
tentang mata bulat bening
lesung pipit perawan sunti
milik si bujang dari desa

ah, kau tahu
mereka tak hentinya berkaca
di cermin yang pualam pula
terperdaya

tapi itu bangkai
bangkai kini tapi
seperti disini: bukit kematian

semua nista berakhir dan membusuk pelan

Angin, berbisiklah
kapan si fulan merebah rindu





Rawamangun, 8 Februari 2012