26 Mei 2014

Ibu Pendidik dan Zaman


Ibu dalam zaman mutakhir ini menunjukkan gejala-gejala terampasnya posisi ibu sebagai pendidik. Boleh dikatakan kita melupai ibu adalah guru. Seolah-olah ibu guru semata para perempuan di ruang kelas. Ibu kehilangan bahkan dihilangkan kelazimannya sebagai guru, kewajarannya sebagai pendidik anaknya. Kita melihat, bagaimana zaman mengkonstruksi posisi perempuan dalam konteks sosial, politik, agama dan budaya. Ibu pernah dilekatkan dengan dapur, sumur, dan kasur. Ibu dikaitkan sebagai tukang gosip, ibu diinginkan bisa bekerja di kantor seperti bapak. Zaman memaknai ibu dengan berbagai identitas, posisi, dan peran.

Ibu sebagai sebuah identitas selalu tak dapat dipisahkan dengan wacana kekuasaan. Relasi kekuasaan bermakna ideologis yang hadir dalam ruang keluarga dan institusi pendidikan. Kekuasaan yang sadar atau tidak sadar dibentuk dalam rantai sosial budaya masyarakat modernis. Ibu sebagai pendidik kehilangan posisi tawar tak lain akibat dari pemaknaan kita terhadap sekolah. Kita beriringan dengan lahirnya kesadaran gerakan kesetaraan pada perempuan.

Abad XXI ini kita dihadapkan persoalan mengenai kekeliruan dalam memaknai pendidikan semata pada ruang kelas. Sekolah dipandang sebagai ruang mendidik satu-satunya. Ivan Illich dalam bukunya Deschooling Society (1971) menggambarkan masyarakat modernis yang sangat bergantung pada institusi. Selayaknya rumah sakit adalah tempat pengobatan orang-orang pesakitan, sekolah pun dimengerti dengan cara yang sama. Sekolah menjadi tempat menyelamatkan orang-orang yang dianggap bodoh. Sekolah semacam kereta pengantar masa depan gemilang.

Kita menemukan anak-anak saat ini lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Kita mengeluhkan tentang begitu banyaknya materi pelajaran atau kurikulum pada pendidikan kita. Pemerintah berdalih tuntutan zaman. Seolah-olah semuanya ingin diajarkan di sekolah. Selain ilmu pengetahuan, sekolah juga dituntut untuk urusan budi pekerti, moralitas, dan pelajaran agama. Akhirnya anak-anak kita mabok teks. Sekolah justru menjadi ruang represi bahkan neraka bagi mereka.

Ketergantungan pada institusi pendidikan memberi dampak timbulnya rasa rendah diri para ibu-ibu, bahwa mereka tidak sanggup untuk mendidik anak. Urusan mendidik lalu diserahkan pada guru-guru di sekolah. Kekuasaan institusi pendidikan mengerus posisi ibu yang punya tanggungjawab dalam mendidik anak. Tak hanya itu, pengertian mendidik dipersempit sebagai mengajar. Guru-guru di sekolah dianggap telah mendidik ketika telah mengajarkan membaca dan berhitung. Sementara ibu dirumah berpikir anaknya telah dididik di sekolah. Para ibu itu akan mempertanyakan sekolah ketika anaknya bermasalah dalam sopan santun.

Imanjinasi ibu sebagai pendidik juga menghilang ketika ibu-ibu berbodong-bondong untuk bekerja. Lahirnya kesadaran mengenai kesetaraan ternyata memberi efek dalam ambiguitas posisi dan identitas para ibu modernis. Satu sisi ibu menginginkan dirinya bekerja agar mendapakan hak yang sama dengan para bapak, akan tetapi itu justru merampas waktu bersama anak. Ketika hal itu terjadi, kita menyaksikan anak menjadi korban dari ketidakharmonisan identitas dan pembagian tanggungjawab anatara ibu dan bapak. Kecenderunganya kita akan mendapati anak-anak dengan perkembangan jadi diri dan emosi yang labil.

Tak ayal lagi, kini kita menemukan para ibu modernis yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan tumpukan kertas, memandangi layar komputer, ketimbang waktu bersama anak-anaknya. Maka kita lalu mendapati anak-anak yang lebih “mengenal” Bibinya ketimbang Ibunya sendiri. Kita pun menjadi sangsi terhadap para ibu yang menjadi guru di ruang kelas, apakah mereka punya cukup waktu untuk mendidik anaknya sendiri. Atau kita berhak curiga, jangan-jangan para ibu guru justru gagal mendidik anaknya sendiri?


Kita tak mengharapkan semua gejala-gejala itu terus terjadi. Bagaimanapun, tuntutan zaman tak selayaknya merampas ibu sebagai pendidik. Sebab kita berimajinasi tentang ibu sebagai pendidik semata kelaziman. Pendidikan anak yang tumbuh dari “pangkuan” ibu di rumah. Ibu sebagai pendidik sebuah pengejawantahan makna “ibu pertiwi”. Ibu sebagai pendidik tak lain terwujudan dalam menyelami nilai-nilai luhur bangsa ini. 

22 Mei 2014

Sinau Buku Pendidikan

Pada mulanya adalah ketertarikan saya pada hal-hal mengenai pendidikan. Sebagai mahasiswa calon guru, kuliah dan buku-buku pendidikan menjadi pergulatan saya sehari-hari. Meski saya sering menemui kejenuhan terhadap buku-buku perkuliahan itu.

Perkenalan awal saya dengan buku-buku seperti Pendidikan Kaum Tertindas Paulo Freire dan S.I. School Onderwijh Tan Malaka menggugah saya pada imajinasi liar mengenai pendidikan. Membaca pemikiran pendidikan Paulo Freire dan Tan Malaka seolah membawa saya untuk membaca ulang pendidikan.

Pemaknaan atas pendidikan menjadi berubah. Sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan di ruang kelas, ruang kuliah. Pendidikan tidak lagi menyoal psikologi semata yang serta merta mengubah perilaku anak.

Pendidikan berkaitan erat dengan persoalan sosial, politik, kultural bahkan kekuasaan. Pendidikan melahirkan ketidakadilan, perenggutan kemanusiaan. Pendidikan tak melulu berkah, tetapi juga petaka.

Semenjak itu saya larut dalam ketertarikan terhadap buku-buku pendidikan. Buku-buku Ivan Illich, Neil Postman, Ki Hadjar Dewantara, Mochtar Buchori, S. Nasution dan tokoh-tokoh pendidikan lain menenggelamkan saya pada persoalan pendidikan mutakhir dan menariknya ke pendidikan pada masa lampau.

Buku-buku itu membawa saya pada pertanyaan-pertanyaan semisal bagaimana sejarah [buku] pendidikan di Indonesia? siapakah tokoh-tokoh pendidikan kita di masa sebelum dan awal kemerdekaan? pemikiran-pemikiran mereka mengenai pendidikan? Dan, bagaimana kontektualisasi dengan pendidikan kekinian?

Imajinasi tentang pendidikan Indonesia menarik diri saya untuk mengikuti “3 hari sinau pendidikan” di Bilik  Literasi, Colomadu, Karanganyar, pada 16-18 Mei lalu. Ini sebuah acara yang digagas para aktivis Bilik Literasi yang memaknai Mei sebagai bulan sakral, yakni bulan Hari Pendidikan, Hari Kebangkitan Nasional, dan bulan yang menjadi saksi ketika para mahasiswa menjatuhkan rezim Orde Baru 16 tahun silam.

Selain bertemu dengan para aktivis Bilik Literasi, saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswi dari Solo, Semarang, Kudus, Sulawesi, dan daerah lain. Di Bilik literasi, rumah menjadi perjumpaan orang-orang yang ingin sinau pendidikan, berorasi, mengobrol, dan menulis.

Ketika awal memasuki rumah yang disebut Bilik Literasi, saya digugah dengan 150 lebih buku-buku pendidikan lawas yang digantung. Saya takjub dengan kehadiran buku-buku tersebut. Buku-buku pendidikan yang jarang kita temukan dan membacanya.

Lewat pameran buku-buku lawas kita mengenal sekaligus mengingat nama-nama seperti  Ki Mohamad Reksohadiprodjo, Sumidi Adisasmita, atau S, Mangunsarkoro, M. Said dan D. Mansoer sebagai tokoh-tokoh yang pernah menuliskan buku-buku pendidikan.

Ingat S.Mangunsarkoro ingat buku pendidikan Sosiologi dan Kebudayaan yang ditulisnya tahun 1950. Di dalam buku itu Mangunsarkoro dengan tegas mengharapkan perubahan yang radikal dalam pendidikan.

Ia menilai zaman penjajahan telah mewariskan kepada bangsa Indonesia satu masyarakat yang bobrok dalam sosial, politik, ekonomi. Bangsa Indonesia memerlukan pendidikan yang dapat menimbulkan masyarakat baru diatas runtuhan masyarakat yang lama itu.

Mangunsarkoro menilai harus ada kebebasan berfikir, dari kungkungan jiwa yang bersimpati pada Barat, sekaligus bebas dari pengaruh alam pikiran feodal.

Dalam pemikirannya terhadap pendidikan Mangunsarkoro menyatakan  metode pengajaran kita berdasar kemerdekaan anak untuk bertumbuh dengan bebas dan sebaik-baiknya sesuai dengan dasar kecakapannya. Biar telah puluhan tahun, pemikiran tersebut masih kontekstual untuk pendidikan mutakhir.

Masih kontektualnya pemikiran pendidikan Mangunsarkoro juga kita temukan pada buku pendidikan lawas yang ditulis Ki Mohamad Reksohadiprojo. Buku Masalah Pendidikan Nasional, adalah kumpulan tulisan Ki Reksohadiprojo sebagai sumbangan pikiran, salah satunya tulisan mengenai pendidikan seks.

Ngopeni Buku Lawas

Menurut dia, keperluan adanya pendidikan seks tidak dengan dituangkan dalam matapelajaran tersendiri, melainkan pendidikan seks dapat dipertanggungjawabkan bila diberikan dalam rangka pendidikan budi pekerti. Pemikiran Ki Reksohadiprojo itu lahir bertahun tahun sebelum kementerian Pendidikan dan Kebudayaan era sekarang berbicara mengenai pendidikan seks.

Wajah pendidikan mutakhir adalah keprihatinan terhadap buku-buku pendidikan kita. Dari sekian buku-buku pendidikan yang tersaji di rak-rak perpustakaan maupun toko-toko buku, kita kesulitan menemukan buku-buku [sejarah] pendidikan di Indonesia.

Jarang buku-buku lawas atau cetakan lama ada di rak-rak perpustakaan publik. Sementara toko buku dipenuhi buku-buku pendidikan kontemporer ala Barat. Memprihatinkan, kelangkaan buku-buku sejarah pendidikan adalah isyarat pendidikan kita yang tercerabut dari akar keindonesiaan.

Di awal abad abad XXI ini, pendidikan kita seolah tanpa sejarah. Pendidikan kita seperti berpijak tanpa kaki. Pejabat pendidikan kita berdalih kemajuan pendidikan sebagai alasan mengunakan konsep-konsep pendidikan ala Barat.

Itu tercermin dari kurikulum, sistem pendidikan, dan buku-buku pendidikan yang ditulis mutakhir ini. Buku-buku yang pernah ditulis oleh tokoh-tokoh pendidikan kita lalu ditinggalkan. Pemikiran pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara, Moh Syafe’i, Tan Malaka, bahkan Hatta seolah dianggap sudah kadarluasa.

3 hari sinau pendidikan menjadi agenda bermisi menyelamatkan pendidikan. Mengingatkan sekaligus menggugah kita untuk menelusuri jejak sejarah pendidikan. Kita mengharapkan dapat menghadirkan kembali pendidikan sesuai dengan konteks keindonesiaan.


Konteks keindonesiaan itu seperti ide-ide yang pernah dilontarkan Mangunsarkoro maupun tokoh pendidikan lain. Sinau buku-buku pendidikan lawas dapat menjadi siasat untuk ngopeni ide-ide pendidikan keindonesiaan itu.

* Tulisan ini dimuat di koran Solopos, 20 mei 2014

20 Menit . .


Selasa, 20 Mei 2014, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) menginginkan keberhasilan “gerakan 20 menit orang tua mendampingi anak”. Aher meminta para orang tua mendampingi anaknya dari pukul 18.30-18.50, serentak di seluruh Jawa Barat. Agenda sengaja bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Kita lantas kebingungan mengenai esensi. Kita tidak yakin apakah gubernur bertanggungjawab mengurusi persoalan orang tua dalam mendampingi anaknya. Kita sulit menemukan kaitan gerakan tersebut dengan Hari Kebangkitan Nasional. Kita pantas curiga agenda tersebut bermisi politik populis.

Demi menyukseskannya, iklan-ilkan disebar di surat kabar dan media sosial. Dalam iklan di koran nasional, gerakan tersebut bertujuan untuk melindungi anak dari kekerasan, demi menyelamatkan masa depan anak.  Aher dan aparat pemerintah berdalih bahwa agenda 20 menit didasari maraknya kekerasan terhadap anak. Ada keinginan mencegah bertambahnya kasus kekerasan pada anak. Kita dapat merasakan nada kecemasan, kekhawatiran yang berlebihan terhadap anak. Kita dapat menilik ide dari gerakan ini semata tanggapan sporadis tanpa bernalar panjang.

Dari bahasa iklan tersebut saja kita disuguhi bahasa-bahasa warisan Orde Baru. Bahasa iklan seperti “melindungi” dan “menyelamatkan” mengisyaratkan nuansa bahasa Orde Baru. Ada misi birokratis. Persis seperti yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan upaya penyuluhan dan penertiban keluarga sesuai kemauan penguasa. Aher dapat dinyatakan memposiskan dirinya seperti Soeharto dalam politik-keluarga.

Kita belum tahu banyak mengenai tangapan para orang tua terhadap agenda berdurasi 20 menit. Apakah orang tua akan turut atau tidak akan mempedulikan. Tapi, kita sangsi jumlah  peserta yang terlibat. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana cara Aher dan aparat pemerintah memastikan semua orang tua menjalankan instruksi. Dinyatakan 20 menit digunakan untuk membacakan buku kepada anak. Kita pantas merasa aneh. Kita ragu apakah di rumah-rumah terdapat buku-buku bacaan untuk anak. Kita semakin ragu dengan kejelasan dan kewarasan dari gagasan 20 menit mendampingi anak.

Kita dapat mengingat corak keluarga Indonesia yang berbeda seperti yang ada dalam buku Dirumah dan Disekolah terbitan Chailan Syamsoe, 1954. Buku itu menjadi buku bacaan bagi anak-anak di masa 1950-an. Dalam buku itu disajikan kisah-kisah bergambar mengenai hubungan ibu, bapak, dan anak di rumah. Kisah ibu memandikan anak, bapak membacakan cerita. Membawa imajinasi orang tua memberikan pelukan, ciuman, dengan wajah keriangan anak-anak dan tawa seorang ibu. Kita merindukannya. Gambaran anak dan orang tua pada masa lalu tentunya berbeda dengan kondisi keluarga saat ini yang semakin penuh tantangan.

Kemunculan gerakan 20 menit maupun gerakan sejenis tak lain menggambarkan pemerintah mulai kehabisan akal dengan maraknya kekerasan terhadap anak. Kita menyadari saat ini orang tua punya sedikit waktu untuk mendampingi, memberi perhatian, kasih sayang terhadap anak. Kita tak dapat menampik telah kehilangan ikatan orang tua dan anak yang ada pada keluarga-keluarga di tahun-tahun lalu.

Hari ini komunikasi orang tua dengan anak adalah komunikasi instan lewat BBM, SMS. Orang tua lebih banyak menghabiskan waktunya dengan tumpukan kertas, memandangi layar komputer, ketimbang waktu bersama anak-anaknya. Mendapati anak-anak yang lebih “mengenal” bibinya ketimbang ibunya sendiri. Gerakan 20 menit lahir dari tidak adanya kesadaran waktu bersama anak.
***