20 Maret 2014

Kampus dan Politik


Membicarakan kaum muda dan pemilu tentu saja tidak dapat kita lepaskan dari politik. Bagaimana kaum muda memaknai politik akan berdampak pada sikap terhadap pemilu nanti. Dalam sejarah, kaum muda selalu erat dengan kegiatan politik. Semenjak pelajar STOVIA di tahun 1910-an, mahasiswa menjadi cermin sikap politik kaum muda yang enggan berkompromi dengan pemerintah kolonial, orde lama, maupun Orde Baru.

Kampus menjadi ruang berliterasi sekaligus berpolitik. Ada kesadaran bahwa kultur akademik dan politik tidak mungkin dipisahkan. Mahasiswa adalah para pembaca setia buku dan diskusi: sejarah, politik, filsafat, dan sastra. Bercengkrama dengan buku yang mengajak memahami sejarah bangsa.  Buku-buku yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir dan bernalar, lalu bersuara melawan penyimpangan penguasa. Mahasiswa generasi itu seringkali disebut sebagai generasi membaca, menulis, dan bersuara.

Tentu kaum muda dengan kegiatan politik kerap meresahkan penguasa. Orde Baru dikenal dengan politik anti-politiknya. Salah satunya lewat politik bahasa, kata ‘pemuda’ yang bermakna politis diganti dengan kata ‘remaja’ yang bermakna kekanak-kanakan.  Pada pertengahan tahun 70-an diberlakukan kebijakan normalisasi kehidupan kampus. Semenjak peristiwa malaria, kampus dijauhkan dari kegiatan politik dan pelarangan buku-buku yang dianggap berbahaya.

Kegiatan politik maupun literasi di kampus makin surut, meskipun tidak hilang sama sekali yang itu dibuktikan oleh gerakan mahasiswa 1998. Tetapi semenjak kebijakan normalisasi kampus itu, kaum muda seolah dibuat lupa dengan politik. Sekitar awal 90-an, melalui program link and match dalam pendidikan, mahasiswa diarahkan menjadi para pekerja siap pakai. Kebijakan itu seakan ingin mengubah citra kampus sebagai ruang politik menjadi pabrik penghasil tenaga kerja bermutu.

Mempelajari sejarah tersebut mengajarkan kita memahami bahwa dalam setiap kurun waktu, akan lahir generasi yang memiliki sikap hidup sendiri. Setiap generasi memiliki Zeitgeist alias semangat zaman yang terbentuk maupun sengaja dibentuk. Kaum muda pasca reformasi  terbentuk dari hidup serba kemapanan dan individualistis. Mahasiswa yang sengaja dibentuk hanya tahu kosa kata agen of change tetapi minim sikap politik, sebab kampus yang tanpa kultur membaca apalagi berdiskusi. Sebuah generasi tunapolitik.


Sampai sini, kita bisa membayangkan bagaimana sikap politik kaum muda terhadap politik nanti. Apabila dahulu golput adalah sikap politik, golongan putih yang enggan memilih para ‘pemimpin kotor’, maka kini golput perwujudan apatisme, sikap kaum muda yang enggan bersentuhan dengan politik. Tentu kita tidak berharap demikian. Sebaliknya, pengharapan di kampus-kampus masih ada segelintir mahasiswa yang berupaya menghidupkan lagi generasi membaca, menulis, dan bersuara. Semoga.



*tulisan ini dimuat di koran sindo 20 maret 2014