8 Juni 2014

Literasi: Jurusan Jakarta-Solo

Pada mulanya adalah kata. Kata-kata membuat pikiran, jiwa dan tubuh kita selalu “bergerak” dan menolak untuk diam. Kata membawa kita beranjak dari kebekuan pikiran, menenggelamkan kita mengenai persoalan kehidupan manusia. Lewat kata, kita mengingat masa lalu sekaligus menjumpai masa depan, seolah melintasi lorong waktu sejarah. Kata membuat kita bergelimang imajinasi akan peristiwa, perjalanan, dan pertemuan. “Membaca Kata, Membaca Dunia..” Begitulah kata Paulo Freire (1921-1997), Filsuf pendidikan Brazil itu.

Saya mencintai kata, karena itulah saya mencintai buku. Buku-buku saya sentuh, baca, tulis, kabarkan. Buku-buku mengerakkan jiwa dan tubuh saya untuk menelusuri rak-rak buku perpustakaan, mengobrak-abrik tumpukan buku-buku di kios buku Senen, Blok M, Manggarai dan kios-kios buku lain di Jakarta. Buku memberi saya gairah akan petualangan.

Imajinasi tentang buku-buku mengajak saya pada perjalanan Literasi mengikuti acara 3 Hari Sinau pendidikan di Bilik Literasi, Colomadu, Karanganyar, pada 16-18 mei lalu. Ini sebuah acara yang digagas para aktivis Bilik Literasi untuk mengadakan pameran mengenai buku-buku pendidikan lawas. Di Bilik literasi, buku memberi perjumpaan orang-orang yang ingin sinau (belajar) pendidikan, berorasi, berdiskusi, dan menulis.

Saya berangkat sore hari, pukul 15.00 WIB, menggunakan Bus dari terminal Rawamangun, Jakarta.  Saya menikmati perjalanan 18 jam Jakarta-Solo bersama Novel Genduk Duku, Romo Mangunwijaya. Keesokan paginya, Sekitar pukul 08.00 WIB saya sampai di Bilik Literasi. Ketika awal memasuki rumah yang disebut Bilik Literasi, saya digugah dengan 150 lebih buku-buku pendidikan lawas yang digantung. Saya takjub dengan kehadiran buku-buku tersebut.

Setiap penulis akan terus hidup lewat karya buku-bukunya. Lewat pameran buku-buku pendidikan lawas kita mendapati tulisan pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Moh. Syafe’i, Kartini, dan Dewi Sartika. Mengenal sekaligus mengingatkan nama Ki Mohammad Reksohadiprodjo, Sumidi Adisasmita, S. Mangunsarkoro, M. Said dan D. Mansoer sebagai tokoh-tokoh yang pernah menulis buku-buku pendidikan. Buku-buku itu menggugah kita untuk menelusuri jejak sejarah pendidikan, ide-ide pendidikan keindonesian.

Dari Mahabarata sampai Apologia

3 hari tinggal di Solo memenuhi diri saya pada gairah literasi. Saya menyiasatinya dengan jalan-jalan di Solo. Minggu pagi, saya bersama dengan teman saya menuju ke daerah Manahan, Solo.  Disana orang-orang tumpah ruah bersama para penjual makanan, minuman, pakaian, mainan, dan berbagai oleh-oleh Solo.  Ditengah keramaian itu, mata tertuju pada gelaran buku-buku.

Ada keasikkan tersendiri ketika mencari buku yang kita suka, berebut buku dengan orang lain. Buku membuat deg-degan, merasa senang ketika mendapati buku yang selama ini dicari. Salah satunya sebuah buku lawas epos Mahabarata, terbitan Bharata, karangan Nyoman S Pendit tahun 1970.



Epos Mahabarata merupakan kesusastraan kuno yang sangat terkenal mengenai kisah pertempuran besar bangsa Bhrata. Sebuah konflik antara dua saudara bersepupu, yaitu Pandawa dan Kurawa. Didalam buku itu Nyoman S Pendit menceritakan kisah demi kisah mengenai iri hari dan kedengkian Kurawa, yakin Duryodhana dan saudara-saudaranya terhadap tahta dan kerajaan Indraprashtha milik Yudhistira beserta para Pandawa yang menjadi muasal pertempuran saudara itu.

Buku memberi kesadaran masa lalu sekaligus renungan di masa kini. Membaca buku Mahabarata membuat kita merasakan tokoh-tokoh Pandawa dan Kurawa hadir dalam kehidupan masyarakat kita. Epos Mahabarata ditulis oleh Bhagawan Whiyasa ratusan abad sebelum masehi, tetapi kita masih menemukan watak Duryodana pada diri tokoh-tokoh politik kita yang sekadar berambisi mendapatkan kursi dan kekuasaan. Mendapati tontonan “perang saudara” antar partai politik yang saling bertikai atas nama tokoh politiknya. Kita pun lalu bertanya, masih adakah pemimpin yang memiliki kebijaksanaan dan kebajikan seperti Yudhistira?

Membaca Buku Mahabarata kita seolah melintasi lorong waktu sejarah. Itu pula yang saya dapati ketika saya memperoleh buku Apologia, di Gladak yang berada tak jauh dari Keraton Solo dan Pasar Klewer. Apologia merupakan  catatan klasik tentang pidato pembelaan Sokrates (470-399 SM) yang dibadikan muridnya Plato (427-347 SM). Buku Apologia itu disadur oleh Fuad Hassan tahun 1973.


Sokrates dituduh oleh Meletos, Anytos dan Lycon telah meracuni pikiran kaum muda dengan ajaran-ajarannya serta tuduhan ketidakpercayaan Sokrates terhadap Tuhan. Dalam pidatonya, bagi Sokrates maut bukanlah sesuatu yang harus dihadapi dengan kecemasan, ia pun mengungkapkan bahwa semua yang dituduhkan kepadanya adalah tidak benar. Plato dengan gaya indah sekali melukiskan pembelaan Sokrates dihadapan sidang pengadilan dan para warga Athena. Tetapi pidato pembelaan Sokrates tetap ditolak.

Pidato Sokrates begitu pilu. “.. Sedikitpun aku tak mempunyai rasa amarah terhadap penuntut maupun penghukumku; meskipun mereka itu tak bermaksud baik terhadapku, namun tak ada diantara mereka yang melukai hatiku . . ketahuilah tak mungkin orang yang jahat melukai orang yang baik, kalian sekalianlah yang akan lebih terluka dari diriku sendiri..” Seusai pidatonya itu Sokrates dijatuh hukuman mati oleh pengadilan Athena pada tahun 399 SM. Sokrates telah mati, tetapi pemikiran dan kisahnya, hidup sampai sekarang.


Membaca Apologia sungguh mengharukan. Buku menghadirkan imajinasi tubuh yang melintas zaman dan peristiwa. Perjalanan Literasi ke Solo membawa jiwa dan tubuh seolah menyaksikan dua tragedi besar dalam sejarah Kebudayaan Timur dan kebudayaan Barat. Buku menjadikan pembacanya menjadi manusia ulang-alik.


Kereta ekonomi Brantas mengantarkan saya pada perjalanan pulang ke Jakarta. Buku Mahabarata dan Apologia itu bersama satu kardus buku berisikan sekitar 39 buku-buku lain yang saya dapati di Solo; Bilik Literasi, Manahan, UNS, dan Gladak. Perjalanan Jakarta-Solo pun menjadi semacam ibadah literasi. Persis seperti yang diutarakan oleh Jean-Paul Sartre (1905-1980), “Telah kutemukan agamaku. Tak ada yang lebih penting dari buku. .”