22 Mei 2014

Sinau Buku Pendidikan

Pada mulanya adalah ketertarikan saya pada hal-hal mengenai pendidikan. Sebagai mahasiswa calon guru, kuliah dan buku-buku pendidikan menjadi pergulatan saya sehari-hari. Meski saya sering menemui kejenuhan terhadap buku-buku perkuliahan itu.

Perkenalan awal saya dengan buku-buku seperti Pendidikan Kaum Tertindas Paulo Freire dan S.I. School Onderwijh Tan Malaka menggugah saya pada imajinasi liar mengenai pendidikan. Membaca pemikiran pendidikan Paulo Freire dan Tan Malaka seolah membawa saya untuk membaca ulang pendidikan.

Pemaknaan atas pendidikan menjadi berubah. Sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan di ruang kelas, ruang kuliah. Pendidikan tidak lagi menyoal psikologi semata yang serta merta mengubah perilaku anak.

Pendidikan berkaitan erat dengan persoalan sosial, politik, kultural bahkan kekuasaan. Pendidikan melahirkan ketidakadilan, perenggutan kemanusiaan. Pendidikan tak melulu berkah, tetapi juga petaka.

Semenjak itu saya larut dalam ketertarikan terhadap buku-buku pendidikan. Buku-buku Ivan Illich, Neil Postman, Ki Hadjar Dewantara, Mochtar Buchori, S. Nasution dan tokoh-tokoh pendidikan lain menenggelamkan saya pada persoalan pendidikan mutakhir dan menariknya ke pendidikan pada masa lampau.

Buku-buku itu membawa saya pada pertanyaan-pertanyaan semisal bagaimana sejarah [buku] pendidikan di Indonesia? siapakah tokoh-tokoh pendidikan kita di masa sebelum dan awal kemerdekaan? pemikiran-pemikiran mereka mengenai pendidikan? Dan, bagaimana kontektualisasi dengan pendidikan kekinian?

Imajinasi tentang pendidikan Indonesia menarik diri saya untuk mengikuti “3 hari sinau pendidikan” di Bilik  Literasi, Colomadu, Karanganyar, pada 16-18 Mei lalu. Ini sebuah acara yang digagas para aktivis Bilik Literasi yang memaknai Mei sebagai bulan sakral, yakni bulan Hari Pendidikan, Hari Kebangkitan Nasional, dan bulan yang menjadi saksi ketika para mahasiswa menjatuhkan rezim Orde Baru 16 tahun silam.

Selain bertemu dengan para aktivis Bilik Literasi, saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswi dari Solo, Semarang, Kudus, Sulawesi, dan daerah lain. Di Bilik literasi, rumah menjadi perjumpaan orang-orang yang ingin sinau pendidikan, berorasi, mengobrol, dan menulis.

Ketika awal memasuki rumah yang disebut Bilik Literasi, saya digugah dengan 150 lebih buku-buku pendidikan lawas yang digantung. Saya takjub dengan kehadiran buku-buku tersebut. Buku-buku pendidikan yang jarang kita temukan dan membacanya.

Lewat pameran buku-buku lawas kita mengenal sekaligus mengingat nama-nama seperti  Ki Mohamad Reksohadiprodjo, Sumidi Adisasmita, atau S, Mangunsarkoro, M. Said dan D. Mansoer sebagai tokoh-tokoh yang pernah menuliskan buku-buku pendidikan.

Ingat S.Mangunsarkoro ingat buku pendidikan Sosiologi dan Kebudayaan yang ditulisnya tahun 1950. Di dalam buku itu Mangunsarkoro dengan tegas mengharapkan perubahan yang radikal dalam pendidikan.

Ia menilai zaman penjajahan telah mewariskan kepada bangsa Indonesia satu masyarakat yang bobrok dalam sosial, politik, ekonomi. Bangsa Indonesia memerlukan pendidikan yang dapat menimbulkan masyarakat baru diatas runtuhan masyarakat yang lama itu.

Mangunsarkoro menilai harus ada kebebasan berfikir, dari kungkungan jiwa yang bersimpati pada Barat, sekaligus bebas dari pengaruh alam pikiran feodal.

Dalam pemikirannya terhadap pendidikan Mangunsarkoro menyatakan  metode pengajaran kita berdasar kemerdekaan anak untuk bertumbuh dengan bebas dan sebaik-baiknya sesuai dengan dasar kecakapannya. Biar telah puluhan tahun, pemikiran tersebut masih kontekstual untuk pendidikan mutakhir.

Masih kontektualnya pemikiran pendidikan Mangunsarkoro juga kita temukan pada buku pendidikan lawas yang ditulis Ki Mohamad Reksohadiprojo. Buku Masalah Pendidikan Nasional, adalah kumpulan tulisan Ki Reksohadiprojo sebagai sumbangan pikiran, salah satunya tulisan mengenai pendidikan seks.

Ngopeni Buku Lawas

Menurut dia, keperluan adanya pendidikan seks tidak dengan dituangkan dalam matapelajaran tersendiri, melainkan pendidikan seks dapat dipertanggungjawabkan bila diberikan dalam rangka pendidikan budi pekerti. Pemikiran Ki Reksohadiprojo itu lahir bertahun tahun sebelum kementerian Pendidikan dan Kebudayaan era sekarang berbicara mengenai pendidikan seks.

Wajah pendidikan mutakhir adalah keprihatinan terhadap buku-buku pendidikan kita. Dari sekian buku-buku pendidikan yang tersaji di rak-rak perpustakaan maupun toko-toko buku, kita kesulitan menemukan buku-buku [sejarah] pendidikan di Indonesia.

Jarang buku-buku lawas atau cetakan lama ada di rak-rak perpustakaan publik. Sementara toko buku dipenuhi buku-buku pendidikan kontemporer ala Barat. Memprihatinkan, kelangkaan buku-buku sejarah pendidikan adalah isyarat pendidikan kita yang tercerabut dari akar keindonesiaan.

Di awal abad abad XXI ini, pendidikan kita seolah tanpa sejarah. Pendidikan kita seperti berpijak tanpa kaki. Pejabat pendidikan kita berdalih kemajuan pendidikan sebagai alasan mengunakan konsep-konsep pendidikan ala Barat.

Itu tercermin dari kurikulum, sistem pendidikan, dan buku-buku pendidikan yang ditulis mutakhir ini. Buku-buku yang pernah ditulis oleh tokoh-tokoh pendidikan kita lalu ditinggalkan. Pemikiran pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara, Moh Syafe’i, Tan Malaka, bahkan Hatta seolah dianggap sudah kadarluasa.

3 hari sinau pendidikan menjadi agenda bermisi menyelamatkan pendidikan. Mengingatkan sekaligus menggugah kita untuk menelusuri jejak sejarah pendidikan. Kita mengharapkan dapat menghadirkan kembali pendidikan sesuai dengan konteks keindonesiaan.


Konteks keindonesiaan itu seperti ide-ide yang pernah dilontarkan Mangunsarkoro maupun tokoh pendidikan lain. Sinau buku-buku pendidikan lawas dapat menjadi siasat untuk ngopeni ide-ide pendidikan keindonesiaan itu.

* Tulisan ini dimuat di koran Solopos, 20 mei 2014