2 Maret 2012

Kluyuran: di jalan-jalan dekat kampus UPI


Bermula pada satu hari yang hangat, november 2011. Ini kisah tentang perjalanan. Agar lebih dekat, sebut saja dia si kluyuran.[i] Musababnya jelas, dia suka kluyuran atau jalan-jalan. Kemana saja, kapan saja, dan kadang tanpa sebuah ikhwal apapun, hanya berjalan. Karenanya kisah ini mungkin akan terkesan sepotong-potong, tak mendalam, hanya sekilas, dan kadang tidak jelas maksud yang hendak diutarakan. Hanya, bukan berarti tak  berpesan apapun.
***
“Baiklah, sudah semua. Kita sampai!”
Bus meluncur. Si kluyuran dan beberapa kawan sejawatnya, mahasiswa pengiat Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM)Universitas Negeri jakarta (UNJ) khidmat menundukkan kepala. Memanjat doa pada Tuhannya, agar lurus sampai yang dituju: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.

Sekitar pukul 9 pagi rombongan sampai. Kampus UPI sedikit banyak menuai tanggapan. “Gedung UPI bagus, rapi, luas dan berkarakter.” Ujar seorang. “ia, tapi harus tetep bangga dengan UNJ”, tukas yang lain. Hanya saja itu tak lama. Satu yang lebih tua diantara mereka, Naufal (22 tahun) mengajak sejenak berkumpul. Memberi sepatah kata, tentang maksud yang hendak mereka tuju: menimba ilmu dan pengalaman dari acara MITI Neuron Award, mencari kisah yang bisa dibagi, sesambil menikmati panorama dari waktu luang yang ada.

Si kluyuran pun bingung. Pada mencari kisah yang hendak dia bagi. Hari adalah minggu, sepi. Kampus rehat dari rutinitas kegiatan akademik maupun nonakademiknya. Kalaupun ada, itu tak seberapa dari acara kecil. Atau segelintir mahasiswa –yang si kluyuran pun tak tahu mereka hendak apa.  Pagi itu: kampus UPI Bandung miskin cerita.

Tapi kemudian semua telah diputuskan, pun setelah mendapat pesan singkat dari kawannya. Dia hendak keluar kampus, dan melakukan apa yang ia suka, kluyuran. Barangkali ada yang “lebih kaya” di luar sana. Padahal kala itu matahari sudah mulai meninggi, sinarnya pun cukup terik, namun angin sejuk berhembus menerpa tubuhnya yang ringkih, hingga sedapatnya menghangatkan perjalanan si kluyuran. Dan dia pun berjalan, sendirian.

Barangkali, salah satu hal yang membuat orang “malas” kluyuran adalah ketidakjelasan. Dari apa yang hendak dilakukan, dan orang-orang pragmatis jelas membenci ini. Tapi tidak bagi si kluyuran. Pada awalnya ia memutuskan perjalanan ke barat. Namun belum sampai di ujung jalan ia berfikir ulang, ternyata tak banyak yang ditangkap oleh sorot mata, hanya sederet para penjual buah nanas, atau rumah-rumah dan toko-toko kecil yang berjajar di pinggiran jalan. Si kluyuran kemudian memutar arah, karena timur sepertinya lebih menarik.

Jalan-jalan sekitar kampus UPI ternyata merupakan sebuah representasi kecil dari “pagar” antara Barat-Timur. Jika barat direpresentasikan melalui jalanan lebar dengan aspal halus, dan bangunan modernnya, maka timur lebih merepresentasikannya sebagai jalanan dan gang-gang sempit dengan kios-kios kecil dan tenda-tenda kaki lima yang saling berderet di kanan kiri sepanjang jalanan.

Handphone si kluyuran bergetar. Ternyata sebuah pesan balasan dari seorang kawannya, “Gw lagi di kios buku bekas dekat UPI men. Kalo mau, lu kesini aja.” Wajah si kluyuran berseri, tersirat bahwa ia hendak menyusul. Apalagi sejauh ini ia belum menemukan, barangkali kios buku bekas itu punya cerita. Beberapa kali ia bertukar pesan. Yang sedikit banyak memberi arah kemana ia menuju ke tempat kios buku bekas itu. Si kluyuran pun bergegas. Penuh semangat dia melangkah.

Matahari kian terik, sementara nafas mulai tersengal. Cukup jauh si kluyuran berjalan, tapi tak jua dia sampai di tempat kios buku bekas. Pesan yang dia kirim ke temannya pun tak mendapat balasan. Hingga akhirnya dia pun kelelahan. Duduk sejenak, berjalan lagi, minum aqua sejenak, berjalan lagi, tapi tak dia temukan juga kios buku. Rona kecewa pun nampak pada wajah si kluyuran yang penuh bulir keringat.

Kakinya mulai terasa kian berat, ketika dia mulai putus asa dan hendak menyerah. Pulang saja, kembali ke kampus UPI, lantas beristirahat disana. Tapi kemudian handphonenya kembali bergetar, dan sebuah pesan memberi pencerahan “lu tanya aja dimana pesantren AA Gym, kiosnya deket dari situ kok.” Sesegera setelahnya si kluyuran bertanya pada seorang bapak yang baik hatinya. Dari situ dia sadar bahwa dia telah salah arah. Nyasar yang jauh.
***

Tawa mengema. Oleh dua lelaki yang sudah sejam lebih mengkarat, Ghozi (20 tahun) dan Lutfi (20 tahun). Gigi mereka menyeringai ketika si kluyuran sampai juga di kios buku bekas itu. Si kluyuran menaggapinya dengan senyum kecut. Dia kelelahan, tapi cukup senang pula akhirnya sampai.

Sekiranya kios itu tak cukup luas. Hanya satu kali dua meter. Paling banyak buku yang dipajang adalah buku-buku pelajaran atau kuliah, sementara sisanya buku bekas beraneka rupa dan jenis. Si kluyuran berjibaku menelisik dari sudut-kesudut. Akhirnya dia pun tertarik satu diantaranya: Kisah para diktator.

“berapa, Aa?”.
“10 ribu aja”. Rendah si Aa penjual buku.
“ya udah, bungkus ya Aa.”

Ketiganya beranjak pamit, melanjutkan kluyuran. Berhenti sejenak mengisi perut yang berteriak, lantas bangkit. Tanpa disangka, ditengah perjalanan, mereka terperanjat. Sejurus mata ketiganya tertuju pada sebuah kios buku lainnya.

“baru buka Aa?” sapa Lutfi.
“ia ni, sore gini baru buka kang. Silahkan diliat aja. Mau cari buku apa?”

Suasana menjadi hangat. Kios ini tak jauh beda dari kios yang tadi. Hanya buku-buku yang ada lebih “bening” dan beragam. Diantaranya, pendidikan kaum tertindas-Paulo freire dan Madilog-Tan malaka. Ghozi dan lutfi nampak antusias. Keempat bola mata mereka melolong melihat buku. Si kluyuran pun tak mau kalah, matanya berputar kesana-kemari, satu dua buku membuat ia terpana. Hingga beberapa kali terjadi tawar-menawar. lantas dia pun mengecek isi kantongnya.

“ah, tak cukup.” Si kluyuran kecewa.
***
Kluyuran belum selesai.



[i][i] Si Kluyuran yang juga akrab dipanggil A’ang bernama lengkap Muhammad Khambali. Mahasiswa Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta. Saat ini dia tengah menempuh semester 4, dan aktif di Lembaga kajian mahasiswa UNJ.