10 April 2014

Menanti Ruang Publik Politis


Masyarakat kita kembali mendapatkan haknya untuk berpolitik. Pemilihan umum menjadi ritus sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Lewat pemilu, masyarakat menemukan dirinya sebagai warga negara. Melihat dirinya punya suara dalam andil memilih calon legislatif yang diimajinasikan sebagai wakil rakyat. Akan tetapi demokrasi dalam pandangan Habermas, tidaklah cukup dibatasi dengan sukses pemilu, melainkan melalui adanya diskursus warga negara dalam ruang publik politis.

Etika politik Habermas berbicara tentang demokrasi radikal dalam masyarakat, bukan demokrasi instrumental. Sebuah demokrasi tidak dapat disederhanakan lewat keikutsertaan seorang warga negara dalam pemilu belaka. Pemilu semata kita lihat sebagai bagian dari proses demokrasi. Warga negara memiliki tanggungjawab politisnya dalam proses demokrasi, agar tidak ada kesenjangan antara janji-janji pemilu dengan keputusan konkret wakil rakyat dikemudian hari.

Kita menginginkan warga negara memiliki hak-hak komunikatifnya. Pemilu dapat dianggap sebagai salah satu locus publik mendapatkan hak-hak komunikatifnya. Dalam pemilu kita menilai, memilih, memberikan suara politik. Selepas pemilu kita menggunakan hak komunikatif untuk mendukung atau mengkritisi. Apakah arah pembangunan berpihak kepada keadilan dan solidaritas sosial, atau malah berpihak pada kekuasaan. Komunikasi politik ini memungkinkan adanya diskursus sebuah konsensus, dialog antara rakyat dengan negara.

Lewat itu, warga negara memiliki haknya mendapatkan sebuah ruang publik politis. Ruang publik politik tidak lain memungkinkan warga negara untuk bebas menyatakan sikap. Keikutsertaan publik dalam diskursus tidak hanya untuk mencapai konsensus antara rakyat dengan negara, namun berbicara tentang kepentingan. Sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis tidak melakukan kontrol keras terrhadap berbagai keran opini publik seperti media, mengsubordinat pihak yang berbeda sebagai subversif, atau meniadakan aspirasi kaum minoritas.

Dalam ruang publik politis aspirasi warga negara tidak cukup diartikan dengan adanya lembaga-lembaga perwakilan negara, tetapi adanya aspirasi dimaknai dengan terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan warga negara. Aspirasi yang menjadi tanggung jawab atas janji-janji politik para wakil rakyat dulu. Juga sebuah ruang publik yang berfungsi politis berciri otonomnya dari kekuasaan politik transaksional dan dari  kepentingan pasar kapital.


Karena itu kita menginginkan para wakil rakyat yang berjiwa kuat. Bukan orang-orang yang biasa membungkuk, bukan wakil rakyat berjiwa bimbang seperti boneka jejaring kekuasaan. Kita menginginkan wakil rakyat yang mengakuai hak-hak komunikaf warga negara, membuka dialog politik yang inklusif, dan yang terpenting yakni memenuhi setiap aspirasi politik yang ada. Kita menanti sebuah ruang publik politis.