20 Mei 2012

Sekolah, Pesakitan dan Frustasi



Membaca kondisi pendidikan kita saat ini sepertinya mencoba membuka diskursus yang usang dan kusam. Banyak tafsir dan intepretasi, tarik ulur benang kusut, yang terkadang hanya menimbulkan frustasi di belakang. Sebenarnya, ekspresi yang tersingkap adalah pendidikan telah mengecewakan kita. Terlebih pada simbol dimana pendidikan itu dihegemonikan semacam tempat ibadah, sekolah.

Pendidikan yang ditraktat sebagai jalan untuk memanusiakan manusia tengah menemukan jalan buntu, mungkin juga berbelok arah. Secara parsial pendidikan kini menjadi ajang adu prestis antar sekolah: Sekolah kami berpredikat “lulus 100”, sekolah kami ber-AC, atau sekolah kami menawarkan paket “bilingual” atau “internasional”. Pada kondisi ini, sekolah tak lagi memposisikan diri sebagai kawah candradimuka para civitas akademika, tapi sebagai sebuah sekolah kapitalis.

Kehadiran sekolah kapitalis ini kemudian melegitimasikan cara berfikir borju kepada para orang tua yang menyekolahkan anaknya. Pendidikan dan sekolah menjadi ajang adu gengsi antar orang tua: anakku sekolah di sekolah favorit, atau anakku sekolah di sekolah internasional. Pada akhirnya sekolah kapitalis menciptakan kelas-kelas sosial baru. Memetakkan mana sekolah bagi si kaya dan mana sekolah bagi si miskin.

16 Mei 2012

Bisu



APA SALAH jika aku tidak peduli nilai. Setidaknya dengan hasil. Apakah kuliah hanya sekedar mengejar nilai, kemudian merawatnya baik-baik. Rela melakukan apa saja, hanya demi selembar kertas yang tak memanusiakan manusia ini. Demi nilai aku belajar semalam suntuk, menghafal, membeo, membuat catatan kecil, catatan pinggir, lalu mencontek. Ah, aku jenuh dengan kata terakhir tadi.

Pertanyaan-pertanyaan ini, terus berputar-putar di otakku. Menghujamiku bak hujan meteor yang membakar hangus semua ingatan tentang nilai. Menghakimiku, menyudutkanku, lalu menelanjangiku. Seolah-olah akulah seorang terdakwa si pengikut nilai. Lantas, aku pun tak berdaya, aku rapuh, dan akhirnya hanya termenung. Bisu. Nilai benar-benar pernah menjadi Tuhan bagiku. Cih!

Tapi kini tak lagi. Aku jenuh. Aku bosan. Dan aku muak. Jenuh menjadi botol kosong yang terus dijejali aksara-aksara tak bermakna selama bertahun-tahun. Bosan membohongi orang tua, memberikan mereka kebahagian utopis. Dan muak karena sekolah justru membuatku merasa kian bodoh. Bahagiakah aku berada di ruang kelas selama ini? Entahlah. Semua ini membentukku menjadi manusia yang skeptis. Pula memaksaku melawan kehendak Bapak.

AH, Bapak tak pantas dipersalahkan. Ia sama halnya lelaki melarat kebanyakan. Berwatak keras, sulit menerima hal apapun yang bertentangan dengan pola pikirnya. Bagi mereka, Kebenaran hakiki adalah kebenaran yang telah ditanamkan para pendahulu kami, para kaum melarat. Aku bisu. Nasib menjalani kerasnya kehidupan telah membentuk karakter yang keras pula.

Masih kurekam jelas sore itu. Aku seorang anak yang baik, patuh dan selalu menuruti perkataan bapak, tiba-tiba melawan. Entah setan apa yang merasukiku. Ku berontak, dan membantah semua perkataannya. Tak ada yang mengalah. Berselisih tentang nilai, tentang kuliah, juga tentang masa depan kami.

Kami terpaku. Mata kami saling menatap dengan sorot yang tajam dan menusuk. Juga nafas yang mengendus. Tapi tak lama berlalu, aku pun lalu menunduk. Terdiam dengan tatapan kosong. Suasana hatiku kalut, tak tahu apakah aku harus menyesali. Ruang sempit tempat kami biasanya makan bersama itu pun hening tanpa suara. Bisu. Sesaat kemudian, aku berpaling, melangkah keluar. Pergi.
Nilai lah yang salah. Sekolahlah yang harus bertangggung jawab atas pertengkaran ini. Bukan aku.