11 Maret 2012

Bakat, Posisi dan Hal-hal yang Belum Selesai




...Ketika kami memeluknya satu persatu tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah... (laskar pelangi)

Sastra yang baik adalah yang tidak intim, akan tetapi mendekatkan kita pada realitas. Laskar pelangi Andrea Hirata barangkali satu diantaranya. Novel yang menjadikan Belitong, tanah tambang timah sebagai latar dari kisah tragis yang dialami oleh Lintang. Seorang bocah pesisir anak nelayan kampung yang cerdas luar biasa, harus putus sekolah karena benturan biaya setelah Ayahnya, si pria cemara angin meninggal.

Baik novel maupun filmnya, sedikit banyak mengambarkan potret kecil dunia pendidikan kita. juga tentang bakat. Lintang adalah satu contoh kecil, karena penulis fikir masih banyak lintang-lintang lain, yang tak pernah tersingkap, anak yang memiliki bakat luar biasa akan tetapi bakatnya tersebut harus terkubur karena keterbatasan.

Bakat dan pendidikan merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dengan pendidikan yang baik, entah itu lewat pendidikan formal maupaun formal, akan menyebabkan bakat dari seseorang dapat dikembangkan secara optimal. Namun kenyataannya, pendidikan kita saat ini, khususnya pendidikan untuk anak berbakat masih menyisakan berbagai persoalan pelik. Pendidikan kita belum bisa mengakomodir kebutuhan akan layanan pendidikan khusus untuk anak berbakat.

2 Maret 2012

Kluyuran: di jalan-jalan dekat kampus UPI


Bermula pada satu hari yang hangat, november 2011. Ini kisah tentang perjalanan. Agar lebih dekat, sebut saja dia si kluyuran.[i] Musababnya jelas, dia suka kluyuran atau jalan-jalan. Kemana saja, kapan saja, dan kadang tanpa sebuah ikhwal apapun, hanya berjalan. Karenanya kisah ini mungkin akan terkesan sepotong-potong, tak mendalam, hanya sekilas, dan kadang tidak jelas maksud yang hendak diutarakan. Hanya, bukan berarti tak  berpesan apapun.
***
“Baiklah, sudah semua. Kita sampai!”
Bus meluncur. Si kluyuran dan beberapa kawan sejawatnya, mahasiswa pengiat Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM)Universitas Negeri jakarta (UNJ) khidmat menundukkan kepala. Memanjat doa pada Tuhannya, agar lurus sampai yang dituju: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.

Sekitar pukul 9 pagi rombongan sampai. Kampus UPI sedikit banyak menuai tanggapan. “Gedung UPI bagus, rapi, luas dan berkarakter.” Ujar seorang. “ia, tapi harus tetep bangga dengan UNJ”, tukas yang lain. Hanya saja itu tak lama. Satu yang lebih tua diantara mereka, Naufal (22 tahun) mengajak sejenak berkumpul. Memberi sepatah kata, tentang maksud yang hendak mereka tuju: menimba ilmu dan pengalaman dari acara MITI Neuron Award, mencari kisah yang bisa dibagi, sesambil menikmati panorama dari waktu luang yang ada.

Si kluyuran pun bingung. Pada mencari kisah yang hendak dia bagi. Hari adalah minggu, sepi. Kampus rehat dari rutinitas kegiatan akademik maupun nonakademiknya. Kalaupun ada, itu tak seberapa dari acara kecil. Atau segelintir mahasiswa –yang si kluyuran pun tak tahu mereka hendak apa.  Pagi itu: kampus UPI Bandung miskin cerita.

Tapi kemudian semua telah diputuskan, pun setelah mendapat pesan singkat dari kawannya. Dia hendak keluar kampus, dan melakukan apa yang ia suka, kluyuran. Barangkali ada yang “lebih kaya” di luar sana. Padahal kala itu matahari sudah mulai meninggi, sinarnya pun cukup terik, namun angin sejuk berhembus menerpa tubuhnya yang ringkih, hingga sedapatnya menghangatkan perjalanan si kluyuran. Dan dia pun berjalan, sendirian.

Autisme dan Lelucon Kita



Kita ada di zaman ketika lelucon menjadi sebuah budaya. Lelucon lahir, dengan sindiran-sindiran yang mengundang senyum, anekdot-anekdot yang mengelitik, mengocok perut kita hingga kaku. Berangkat dari hal yang ragam rupanya, dari “upil” sampai “puding”, tak pernah habis atau basi. Objeknya pun tak kenal muka, dari “sopir angkot sampai presiden”. Semua bisa kena! Lelucon seakan telah menjadi selingan yang paling menarik di tengah rutinitas dan keseharian kita yang menjenuhkan.

Tapi, lelucon sering menjurus ke olok-olok, cemooh atau maki. Tak sekedar guyonan renyah, tapi hina dan cela pada “yang kurang atau beda” lebih kerap hadir dan kadang justru dianggap paling menggoda untuk “dileluconkan”. Sebabnya, kita tak lagi asing dengan lelucon ini, “Buta Lu! Budeg lu! Bego lu!” atau yang lebih renyah dan hangat, “Autis Lu!”. Dan dewasa ini, celoteh atau bahkan celaan ini kerap muncul dalam sela-sela obrolan kita. Dalam sebuah narasi keseharian yang sering kita jumpai:

Segerombol remaja tengah asik bercanda di sebuah kafe. Satu diantara kawan mereka tak ikut dalam perbincangan, asik dan sibuk dengan BB-nya. Lantas satu diantara lainnya pun jenuh melihatnya, “heh, diem aja ni, ikutan ngobrol dong, jangan berkicau aja di twitter, berkicau disini lah.” Seorang teman lainnya pun menimpa, “sudahlah, biarin aja, dia kan autis..!!”, haahaahaa...“ -kafe itu pun riuh oleh gegap tawa mereka.

Narasi tadi sedikit memberi pesan, bahwa terkadang kita tidak sadar, larut dalam apa yang telah membiasa dalam kerangka kewajaran. Menafikan yang baik dan yang buruk. Hingga batas-batasnya seakan menjadi bias, bahkan absurd. Termasuk dalam hal berbahasa. Ujaran yang mengandung SARA atau diskriminasi pada “Yang lain”, kini tak lagi ditanggapi dengan nada lantang dan keras. Kita melunak.

3 Manusia 2 Dunia 1 Harapan


Malam kian larut, sementara aku tersudut disini, di ruang-ruang kegelisahanku. Entah kenapa kedua mata ini tak mampu ku pejamkan, Termenung memikirkan kejadian tempo hari. Pertemuan tiga orang manusia, dengan dua dunia dan satu Harapan.
***
Sebuah pertemuan singkat. Antara aku dengan salah seorang tuna netra bernama Juanda. Beberapa patah kata kita berbicang, mengurai satu demi satu rasa penasaran. Tiap kata yang terucap, tiap lakunya, mungkin juga hati yang membisikkan harapannya. Kulakukan dengan sejuntai asa, bisa mengerti secuil tentang kisah hidupnya. Terlebih dunia tuna netra.
Walau sejujurnya pengetahuanku akan dunia mereka sangat awam. Hingga akupun malu untuk mengutarakannya. tapi jika boleh berceloteh; Juanda adalah salah seorang tuna netra yang hidupnya cukup beruntung. Ahpasti kalian berfikir; engkau sungguh kejam, Tidak kah engkau berfikir betapa sulitnyanya menjalami hidup sebagai seorang tuna netra?. Akupun lalu hanya diam. Menunduk. Kerena sekali lagi aku hanya awam. Awam yang ingin sekedar berujar. Maka izinkanlah aku kiranya menjelaskan maksudku. Dengarkanlah.
Alkisah, Juanda mengalami gangguan tuna netra sejak kecil. Akibat step dan panas tinggi yang mendera kedua bola matanya. Sebuah diary awal yang tak mudah bagi juanda kecil. Ia ringkih, tertatih-tatih dalam kegelapan yang kadang terasa tak adil. Hingga pada suatu malam ketika Juanda tengah terlelap, ia didatangi  seorang filsuf bijak. Berbisik; “Sesungguhnya gelap itu tidak ada nak.”
Syahdan, sejak malam itu Juanda berubah. Ia begitu semangat menjalani hidupnya. Entah kenapa. Lalu ia pun mengenyam Sekolah. belajar tentang huruf braile, orientasi, juga mobilitas. Hal yang membuatnya tumbuh menjadi seorang tuna netra yang ‘berbeda’ dan lebih beruntung.

si Orto dan Juanda



Pada suatu hari di bulan maret, seorang mahasiswa dari kampung, sebut saja namanya Orto. Ditugaskan oleh mahagurunya sebuah misi. Ke sebuah tempat yang tak ia mengerti; rahasia, tersudut dan asing. Sebuah dunia kegelapan. Celakanya, ia disuruh mencari, bertanya, lalu berteman dengan makhluk-makhluk yang ada di tempat itu. Ah, sungguh mengerikan!
Untungnya, si Orto tak sendirian dalam misi tersebut. Tapi ditemani oleh gadis-gadis cantik. Mereka adalah Siti, Yuli, Ina, dan Puspita. Nama yang terakhir disebutkan tadi adalah orang yang akan mengantarkan mereka ke tempat misi mereka, dunia kegelapan. Dahulu, Puspita adalah bekas penghuni di sana!
Tanda-tanda tak mengenakan sudah terasa diawal misi mereka. Awalnya, kelima manusia itu berencana kumpul di halte Harmoni tepat pukul 8 pagi. Tapi, karena manusia pula, akhirnya molor sampai jam 9 pagi. Selebihnya adalah acara menunggu bus yang sangat menjengkelkan. Lama, lama sekali. Sampai-sampai si Orto punya ide brilian menyuruh Ina---berkacamata---untuk pura-pura menjadi seorang tuna netra, agar mereka diprioritaskan dalam antrian. Ah, dasar kau Orto.
Setelah berdiri di busway sekitar satu jam, ditambah perjalanan sekali naik angkot, akhirnya si Orto cs sampai di tempat misi tersebut. Suasana mencekam begitu terasa saat langkah-langkah kaki mereka kian dekat saja dengan lokasi. Rasa curiga, takut, asing dan penasaran campur aduk layaknya sebuah gadu-gado rasa. Dan akhirnya, sampailah mereka di tempat itu. sebuah papan bertuliskan “Mitra Netra” menyambut kedatangan mereka.

Plato




SAYA TERINGAT. Sekiranya satu tahun yang belakang. Samar-samar sepengal kesan itu tertuju pada seorang lelaki. Duduk dideret paling kanan, di sudut diamnya. Bila saya coba gambarkan, Ia sebenarnya tak begitu rupawan; kecil, kurus, dan kusut. Hanya saja, lelaki tadi memiliki mata yang menarik. Sebabnya lah masih lekat ingatan saya pada lelaki ini. Ia tengah mengikuti acara sebuah organisasi di kampusnya, sebut saja OCAB LKM. Dan sama halnya dengan rupa, gelagatnya di acara tersebut pun tak menjanjikan. Ia neurves ketika disuruh kakak-kakaknya berbicara, malu untuk bertanya, diam ketika acara diskusi, dan sekali lagi, tak menjanjikan. Barangkali, dari sini saya tahu kalau lelaki ingusan ini ternyata berasal dari kampung. Pendek cerita, acara usai dan asa baru terkembang. Lantas ia bersama kawan-kawan barunya kerap dipangil “PLATO”.
***
AH, entah kenapa saya jadi teringat Nietzche. Ia pernah bergurau tentang waktu. Waktu, menurutnya tidak membentang linier seperti antara hidup dan mati. Namun melingkar. Dan ia lebih suka menyebutnya sebagai ‘saat’. Bagi saya sendiri, waktu bukanlah seonggok kata yang ‘penuh’, tapi ia selalu terisi oleh ruang. Ruang dan waktu. Keduanya yang kemudian menciptakan ‘saat’. Ya, Tanpa saya sadari, Ruang G.305 dan waktu satu tahun belakangan ini telah menciptakan ‘saat-saat’ bagi saya dan juga teman-teman Plato. Saat dimana kita bersama-sama belajar, bergumal dengan publik speaking, kajian, dan penulisan. Menyatukan hati dan berbagi dengan teman-teman kecil kita di kampung Cikopak, pula saat ‘tugas’ reportase akhirnya mengikat kita menjadi sebuah keluarga arete di LKM.
Lantas apa yang menyoal dari perkatakan Nietzche; waktu tidak membentang linier tapi melingkar? barangkali ini menemukan titik tautannya dengan belajar, waktu yang kita jalani untuk belajar di LKM. Ternyata, tidak membentang linier sebagai si bodoh yang kemudian berhenti pada sebuah titik sebagi si cerdas, atau dari murid yang goblok kemudian menjadi guru yang maha tahu. Tapi waktu belajar di LKM adalah Bersama sahabat mengejar arete, begitu kata Anto kawan baik saya.
Wadah ini memberikan eros (hasrat) untuk menjadi manusia yang berpengetahuan, efeknya berguna bagi sahabat-sahabat yang lain di masa depan. Ingatlah, wadah ini tak ada guru, kita semua adalah murid-murid yang saling memberikan pengetahuan[1].

Surat[*]



Membongkar benda-benda berharga yang sudah lama kita simpan rapat-rapat, atau membaca kembali lembaran cacatan usang selalu menghadirkan cerita tersendiri. Karena dari situ; kita seringkali menemukan hal-hal kecil berupa surat-surat penting, benda-benda rahasia, foto-foto orang yang kita sayangi, sampai terkadang uang logam 25 perak pun ikut terselip. Lantas, kita bernostalgia, tentang kisah-kisah terdahulu. tanpa sadar kita pun tersenyum, tertawa sendiri, mengingat hal konyol yang pernah kita lakukan, atau malah sedih ketika mengenang masa lalu kita yang pahit.
Setidaknya, itu yang saya alami ketika packing. Dimana kondisi memaksa saya harus angkat koper dan ‘pulang’ lebih awal. Pula, menunda sejenak mimpi-mimpi kecil saya. Ya, idealisme kita seringkali bertolakbelakang dengan realitas yang ada. Padahal saya pun tak lebih dari lelaki tanggung kebanyakan, yang seringkali dikuasai oleh idealisme dan mimpi-mimpi konyol; Harus tetap bahagia walau hari esok agak terlihat kabur, tak cemburu ketika tahu IP kawan-kawan semester ini ternyata lebih tinggi, selalu mendukung Liverpool walau tidak masuk liga champions musim depan, dan yakin bisa melanjutkan study S2 di luar negeri meski bahasa inggris saya payah.
Akan tetapi, entah kenapa belakangan saya menjadi sosok yang negatif dalam menyikapi hidup. Ragu apakah ‘kebahagiaan’ itu benar-benar ada atau hanya idealisme semu manusia. bisa jadi akibat membaca novel galau: perang, yang saya pinjam dari kawan yang baik hati. Kini, saya sinin dengan petuah Plato bahwa untuk bahagia kita harus mengabaikan diri. Padahal I will never walk alone. Dan jika seperti itu, bukankah saya juga harus mengabaikan orang lain? Mengabaikan ‘keringat’ orangtua dan kakak-kakak saya? mengabaikan masa depan adik-adik saya?. Pada ujungnya saya lebih percaya dengan perkataan Sigmun Freud bahwa sejatinya manusia itu dikuasai oleh ego-nya, ‘sadar’ dengan realitas yang ada. Lantas saya memilih melanjutkan acara packing daripada terperosok dalam kegalauan yang absurd.

EL NINO: Pergi dan mencari



“Sahabat adalah seorang yang mengetahui lagu yang ada di hatimu dan dapat menyanyikan kembali ketika kamu lupa syairnya.”
- CS Lewis (1898–1963)-
Seorang bocah---bocah itu apa atau siapa?---pergi dari rumahnya. Dan itu bukannya tanpa alasan. Ia diusir karena nilai sekolahnya membuat perih mata orang tuanya. Dia diusir sebab mencuri uang milik tetangganya. Dia diusir akibat menghamili teman perempuannya. Dia tak diusir, tapi kawin lari dengan gadis yang dicintainya.
Tak, tak seperti itu. karena sekali lagi dia hanya bocah (membantah alasan pertama), hanya bocah (membantah alasan kedua), hanya bocah (membantah alasan ketiga), dan hanya bocah (membantah alasan keempat). Lalu, sebenarnya alasan itu ada atau tidak ada?. Lagi, bocah itu apa atau siapa?
Lalu sampailah ia disuatu tempat yang ramai. Tapi itu bukan tontonan orkestra para biduan yang sering manggung di kampungnya. Karena tak terdengar suara yang mendayu-dayu, yang ada malah bunyi kumbang bermesin yang terasa bising di telinga---kelak bocah itu tahu bahwa kumbang bermesin tadi bernama bajaj. Bukan pula pasar tempat ia dulu disuruh ibunya membeli lombok brambang. Karena ia tak melihat para laki-laki dan perempuan tua yang biasa ia lihat menjajakan dagangannya. Tempat apakah ini?