19 Juli 2012

Demokrasi dan Histeria

Dekat ini Jakarta menyongsong pesta demokrasinya pemilihan DKI-1. Enam calon bersaing untuk saling sikut memperebutkan kursi. Dari nama calon yang muncul, persaingan ditaksir bakal ‘panas’. Fauzi Bowo memimpin dalam perhitungan elektabilitas, tapi  lawan-lawan politiknya diprediksi dapat menikam diakhir. Sebut saja Jakowi yang namanya melambung semenjak “esemka”, Alex Noerdin yang dianggap sukses di Sumatera selatan, atau Faisal Basri sebagai calon independen yang belakangan merangsek sebagai calon kuat.

Akan tetapi persaingan ‘panas’ Pilkada DKI seperti hanya terjadi pada lingkup antar calon terpilih dan tataran partai politik. Sebab muncul kesan paradoksal masyarakat Jakarta adem-ayem menanggapi pilkada DKI. Apa yang terlontar dari Mistar (35) seorang menjual gorengan, “saya enggak kenal calon-calon gubernur. Siapa pun yang terpilih, saya cuma mau harga bahan pokok murah”[1], mewakili suara rakyat yang sepenuhnya kecewa, pada demokrasi dan politik. Harga-harga barang yang mencekik rakyat miskin, Kasus-kasus korupsi, jual-beli kasus, dan tebang pilih hukuman, telah membuat rakyat tak lagi percaya adanya keadilan.

Goenawan Muhammad (GM) sebenarnya sudah mengurai secara gamblang kelesuan ini dalam demokrasi dan kekecewaan. GM memetakan sejarah demokrasi kita semenjak demokrasi awal kemerdekaan, demokrasi terpimpin Soekarno, demokrasi pancasila Soeharto, dan sekarang demokrasi ‘liberal’ era reformasi sebagai “harapan yang retak”. Kesemuanya mengarah pada tendensi bahwa demokrasi sebagai format, entah presidential atau parlementer, justru oligarki dan otoriter, menampikan platformnya: dari, oleh, dan untuk rakyat.