18 Oktober 2011

Mengintip Keintiman Sastra




BAHASA & SASTRA adalah dua buah nomina yang mengejala secara asosiasi. Bahasa; entah ia sebagai fakta sosial, sebagai langue dan parole, sebagai sistem tanda, atau -sesuai fungsionalnya- sebagai sarana representasi-komunikatif, seringkali bertaut dengan bahasan lain, yakni sastra. Sedangkan sastra sendiri adalah sebuah gejala kebahasaan. Jika saya ibaratkan, keduanya selayaknya awan mendung dan air hujan. Pada mulanya adalah pengetahuan tentang bahasa, selanjutnya barulah sastra.

Namun dalam dinamikanya, Bahasa justru tunduk pada sastra. Sebagaimana yang pernah diusung oleh Putu Wijaya dalam sebuah seminar, bahwa sastra bukan alat bahasa tetapi bahasa adalah alat sastra. Sastra menjadikan bahasa sebagai medium yang ‘membahasakan’ sekelumit kabut gagasan yang bersifat ‘mental’, berupa petanda dan penanda bahasa. Pendeknya; bahasa mengantarkannya menjelma sebagai Karya.

Bahasa sastra sendiri menggunakan sistem tanda bahasa kedua. Yang dalam perspektif psikoanalisis Freud, bahwa sebuah karya seni (termasuk sastra) adalah sebentuk ruang penyampai represi dan ekspresi kejiwaan -seringkali dalam alam bawah sadar si pencipta karya- yang tak mungkin disampaikan dengan cara biasa. Memungkinkan, sastra tidak bisa dipahami dengan cara biasa pula. Karena ia kerap kali berupa metafor-metafor simbolik. Padahal, sebuah karya itu selalu berdiri diantara pencipta karya dan pembaca. Hal ini tentunya berakibatkan terjadinya Space yang diderita oleh bahasa sastra. Tetapi juga memicu terjadinya sebuah keintiman.


Eksplorasi, rekayasa, dan permainan sistem tanda bahasa pada bahasa pada sastra barang tentu membuat sekian pembaca mengeluh. “Saya tidak mengerti dengan maksud puisi ini. atau Novel itu jelek, bahasanya sastra banget. susah dipahami.” Inilah yang saya sebut sebagai keintiman sastra. Sastra sebagai sistem tanda kedua atau cenderung sebagai makna konotasi -terutama pada puisi atau sajak- mengharuskan pembaca melakukan tafsiran-tafsikan dalam skala tertentu untuk bisa memahami –bahkan menikmati- sebuah karya sastra. Yang tak kan jauh pula dari sejauh mana pengetahuan pembaca akan sastra itu sendiri.

Gunawan Muhammad (GM) dalam seks, sastra, dan kita pernah pula menyinggung keintiman ini lewat analisa trans-historikal kesusastraan indonesia. Kesusastraan modern kita yang bersifat self-conscious mengalami frustasi dan kehilangan keintimannya -sebagai bacaan kalangan terbatas- ketika dibukanya keran kapitalisme berupa percetakan dan distribusi. Adanya masyarakat umum sebagai khayalak luas ‘penikmat baru sastra’ memungkinkan terjadinya dialog antara pencipta sastra dan para pembaca sastra. Yang pada akhirnya pula menjerat sastra dalam mekanisme ‘pasar’. Dan ketika karya menjadi ‘barang dagangan’, ia selalu ambil sikap sebagai ‘laku’ atau ‘tidak laku’.

Saya kira disini seorang sastrawan, entah sebagai pengarang atau penulis –Roland Barthes membedakan keduanya- berupa Novel, Cerpen, atau Puisi menemui paradoknya. Berdiri pada posisi dilematis. Apakah ia menjadikan dirinya sebagai otoritas otonom yang memiliki ‘hak’ penuh atas karyanya. Dalam hal ini dia memposisikan diri sebagai pihak yang ‘acuh tak acuh’, dan tak mau tunduk pada mekanisme pasar yang ada. Atau dia menjadikan dirinya sebagai seorang pencipta karya sastra yang ‘peka’ terhadap selera publik dan memilih untuk mencoba masuk kedalam lingkaran yang sudah ada. Kemudian berharap (lebih) karyanya dapat diterima dengan hangat oleh banyak pembaca.

Andrea Hirata sedikit menjawab pergulatan sengit ini, setidaknya ia meyakini bahwa ada tiga kategori penulis. Pertama, penulis yang karyanya bemutu tapi tidak laku. Kedua, penulis dengan karya yang bermutu dan laku. Dan ketiga, penulis dengan karya yang tidak bermutu tetapi bisa diterima masyarakat. Andrea menambahkan, Sebagai penulis seharusnya mampu mengarahkan kemana tulisan yang akan dibuatnya. Apakah ingin membelokkan tulisan itu pada karya sastranya tapi pembacanya terbatas, atau menulis dengan harapan mampu menyapa pembaca dari semua kalangan. Ia pun mengakui yang memahami sastra itu sangat sedikit dan menjadi sebab-musababnya ia tak berani disebut sastrawan.

Dan agaknya bahasa sastra tak semestinya dijadikan perdebatan. Karena bahasa dan sastra akan terus mengejala dengan dinamikanya. keduanya telah menjalin relasi unik yang senantiasa mengelisah. Dan hanya akan menimbulkan frustasi ketika mencoba mempertemukannya dengan kepuasan absurd pembacanya. Sastra membutuhkan bahasa agar pesan dalam sebuah karya sastra bisa tersampaikan kepada pembaca. Akan tetapi sastra juga memiliki sistem langue atau ‘buku pedoman’ tersendiri yang menginginkan kita untuk ‘menikmatinya’ sebagai identitas: inilah ‘sastra’.

Pada ujungnya; pilihan dikembalikan pada kita. Seorang sastrawan yang ‘cerdik’ tentunya dapat menakar sebarapa kadar kepekatan ‘sastra’ tanpa menghilangkan self-conscious dan keintiman kesusastraan itu sendiri. Sehingga sebuah karya sastra menemui ruangnya dan dapat diterima oleh para pembaca sastra tanpa ‘keluhan’ atau protes. Pula tentunya para penerbit sastra ikut ambil peran mengatur ‘irama’ didalamnya, dalam skala; mendamaikan antara sastrawan, pembaca dan karya sastra itu sendiri.
***