16 Mei 2012

Bisu



APA SALAH jika aku tidak peduli nilai. Setidaknya dengan hasil. Apakah kuliah hanya sekedar mengejar nilai, kemudian merawatnya baik-baik. Rela melakukan apa saja, hanya demi selembar kertas yang tak memanusiakan manusia ini. Demi nilai aku belajar semalam suntuk, menghafal, membeo, membuat catatan kecil, catatan pinggir, lalu mencontek. Ah, aku jenuh dengan kata terakhir tadi.

Pertanyaan-pertanyaan ini, terus berputar-putar di otakku. Menghujamiku bak hujan meteor yang membakar hangus semua ingatan tentang nilai. Menghakimiku, menyudutkanku, lalu menelanjangiku. Seolah-olah akulah seorang terdakwa si pengikut nilai. Lantas, aku pun tak berdaya, aku rapuh, dan akhirnya hanya termenung. Bisu. Nilai benar-benar pernah menjadi Tuhan bagiku. Cih!

Tapi kini tak lagi. Aku jenuh. Aku bosan. Dan aku muak. Jenuh menjadi botol kosong yang terus dijejali aksara-aksara tak bermakna selama bertahun-tahun. Bosan membohongi orang tua, memberikan mereka kebahagian utopis. Dan muak karena sekolah justru membuatku merasa kian bodoh. Bahagiakah aku berada di ruang kelas selama ini? Entahlah. Semua ini membentukku menjadi manusia yang skeptis. Pula memaksaku melawan kehendak Bapak.

AH, Bapak tak pantas dipersalahkan. Ia sama halnya lelaki melarat kebanyakan. Berwatak keras, sulit menerima hal apapun yang bertentangan dengan pola pikirnya. Bagi mereka, Kebenaran hakiki adalah kebenaran yang telah ditanamkan para pendahulu kami, para kaum melarat. Aku bisu. Nasib menjalani kerasnya kehidupan telah membentuk karakter yang keras pula.

Masih kurekam jelas sore itu. Aku seorang anak yang baik, patuh dan selalu menuruti perkataan bapak, tiba-tiba melawan. Entah setan apa yang merasukiku. Ku berontak, dan membantah semua perkataannya. Tak ada yang mengalah. Berselisih tentang nilai, tentang kuliah, juga tentang masa depan kami.

Kami terpaku. Mata kami saling menatap dengan sorot yang tajam dan menusuk. Juga nafas yang mengendus. Tapi tak lama berlalu, aku pun lalu menunduk. Terdiam dengan tatapan kosong. Suasana hatiku kalut, tak tahu apakah aku harus menyesali. Ruang sempit tempat kami biasanya makan bersama itu pun hening tanpa suara. Bisu. Sesaat kemudian, aku berpaling, melangkah keluar. Pergi.
Nilai lah yang salah. Sekolahlah yang harus bertangggung jawab atas pertengkaran ini. Bukan aku.


∑ ∑ ∑

Kesadaranku pulih. ketika seorang gadis berjilbab, dengan tinggi semampai mengenakan blues putih panjang, dibalut rok hitam bermotif bunga-bunga. menghampiriku sambil menenteng tas kecil berwana merah. Ia tak menyapa, tapi tersenyum kecil. Lalu ia duduk di sampingku. Merasakan dinginnya jeruji-jeruji besi tempat kami duduk.

Tak ada hal berarti yang kami berdua lakukan setelahnya, selain hanya diam. Menatap rerimbunan pepohonan. Memperhatikan dedaunan kering yang berserakan, ia diterbangankan oleh angin, melayang-layang sejenak, lalu terjatuh lagi. Berulang-ulang seperti itu.

Kami juga mendengarkan kicau burung-burung emprit. Mereka menari-nari di dahan, melompat-lompat dari satu ranting ke ranting lain. Seakan-akan pepohonan taman ini telah menjadi rumah yang hangat bagi mereka. Aku tersinggung.

Namun suasana ini tak lama. Lusi menolehkan pandangannya padaku. Menatapku penuh arti. Ku tangkap ia dapat membaca kegelisaan hatiku. Tapi dia hanya diam. Bisu. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Hanya kudapai bola mata yang indah, bulu-bulu mata yang lentik, juga bibir yang marum. Paras cantiknya itu; memintaku untuk bercerita.

“Sayang...Pernahkah kamu merasa bosan, atau jenuh dengan ruang-ruang kelas? Pernahkah kau berfikir apa yang kita jalani dan lakukan disana adalah hal yang sia-sia?”

Lusi hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari mulut dan bibirnya. Ia masih menatapku, lalu menganguk pelan.

“Terkadang aku merasa demikian. Aku merasa tak bahagia. Entah mengapa. Ada sesuatu yang tak ku dapatkan. Aku tak merasa bebas untuk berbicara, berteriak, menjerit, mungkin juga menghujat. Di ruang kelas; aku merasa tak menjadi manusia, yang merdeka seutuhnya. Tapi.. mungkin aku salah.”

Lusi hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari mulut dan bibirnya, begitu pula aku. Kami kembali memperhatikan dedaunan kering yang berserakan. Ia diterbangankan oleh angin, melayang-layang sejenak, lalu terjatuh lagi. Begitu berulang-ulang.

Hingga Lusi menyiratkan memintaku memperhatikannya. Kedua tangan dan jemarinya yang lentik ia gerak-gerakkan, mengisyaratkan simbol-simbol yang agak sulit ku mengerti. Ia mengulang-ulang gerakkannya, bibirnya mencoba mengejakan sesuatu. Ia tampak berusaha keras.

Tangan kanannya dengan telapak tegak, menghadap kedepan dihadapan bahu kanan. Digerakkan lurus kedepan. Lalu jari-jarinya ia genggam, kecuali jari telunjuknya, berdiri melengkung. Ia gerakkan lurus kebawah dengan kaku. Kemudian tangan kanan dan kirinya dengan jari telunjung dan tengah saling mengapit, sedangkan lainnya menelungkup. Ia gerakkan melingkar ke atas belakang saling mengelilingi.

Penuh arti aku menatap setiap gerakan yang ia tunjukan. Hingga perlahan ku dapati maksudnya. Aku tersenyum kecil, tapi juga tak tega melihatnya. Ku rengkuh kedua tangan mungilnya, dan meletakannya tepat dipangkuannya sambil eratku gengam. ku tatap matanya dalam-dalam, lalu berbisik, “Ayo ikut denganku. Aku ingin mengenalkanmu dengan bapak.”

Mulanya ia tampak ragu. Tapi akhirnya Lusi pun mengangguk pelan dan tersenyum padaku. Manis sekali senyumnya.
∑ ∑ ∑

SEPANJANG PERJALAN pulang aku terbayang saat pertama kali bertemu dengan Lusi. Di taman dekat kampus ku lihat ia tengah terisak-isak sendirian. Hatiku pilu melihatnya. Aku memutuskan mendekatinya, duduk disampingnya. Berharap; ia mau membagi kesedihannya denganku.

Ia terkaget. Menghentikan tangisannya. Lalu menatap mataku, sorot matanya tajam penuh curiga. Aku tersenyum, lalu memberikannya sebuah sapu tangan. Ku katakan padanya bahwa sapu tangan ini adalah peninggalan dari ibuku satu-satunya. Dulu ia meminta agar meminjamkannya pada temanku yang sedang bersedih hati.

Sapu tangan itu pun ia rebut dari tanganku. Dan entah kenapa, kemudian ia menangis sejadi-jadinya. Suara tangisnya dalam, ada rintih. Ia seperti menumpahkan sesuatu yang lama ia pendam dan kekang didalam dirinya. Aku yakin; Ada luka pada hati gadis itu. Tangis itu membuat yang mendengar hatinya tersayat. Juga hatiku.

Aku larut dalam perasaanku yang mendalam. Hingga tanpa ku sadari pabrik-pabrik dengan asap mengepul, pasar ikan yang berderet di kanan kiri jalan, dan gang-gang sempit menuju rumahku, telah ku lewati. Dan kini kami telah sampai di depan pekarangan rumahku. Sesegera pula ku parkir motorku.

Lusi tampak agak ragu ketika ku ajak beranjang dari jok motorku, juga langkah kakinya terasa berat ketika kami berdua menyusuri pekarangan bunga. Ku tahu ia sedang gugup. Tapi ku berhasil yakinkan hatinya sebelum ku ketuk dahan pintu yang catnya sudah agak kusam.

Tapi setelah berkali-kali ku ketuk, tak ada suara yang menyahut dari dalam rumah. pintu rumah juga dalam kondisi terkunci. Apakah bapak sedang ke luar rumah? Fikirku. Tapi tidak ah, sore-sore seperti sekarang bapak biasanya sudah pulang dari bengkel. lama kami sabar menungu, tapi tak juga ada tanda-tanda sahutan dari dalam rumah. Wajah gelisah pun tampak menyelimuti kami berdua. Dan akhirnya kami memutuskan mencoba masuk lewat pintu belakang.

Ternyata pintu belakang tengah terbuka. Dibiarkan mengangga begitu saja. Tak biasanya bapak seceroboh ini, fikirku. Dengan keringat dingin yang mulai membasahi wajahku. Begitupun Lusi, tubuhnya tampak gemetaran melihat kondisi dapur yang berantakan, dengan panci dan piring yang berserakan di lantai. Sementara aku tak begitu peduli dengan hal itu dan bergegas menuju pintu kamar bapak.

Sekujur tubuhku terasa lemas, seluruh otot sendiku kaku. Ketika menatap tubuh bapak tengah tergolek lemah di pembaringan kasur kamarnya. Dengan air mata yang mulai mengalir ku dekati bapak, ku usap darah yang mengalir dari kedua lubang hidungnya yang sudah mengering. Sesegera ku dekatkan telingaku di dadanya, juga ku remas-remas otot nadi di pergelangan tangan kanannya. Dengan suara sesak ku pangil-pangil nama bapak, tapi ia tak jua menyahut. Di sampingku, lusi berusaha menguatkanku ketika tangis bisuku memekik di sore yang sendu.
∑ ∑ ∑