20 Maret 2014

Momong

Kita mendapati akhir-akhir ini kasus tawuran antar sekolah belum berakhir. Kita juga mengeluhkan berita anak muda bertindak asusila. Pandangan kita, mengaitkannya dengan kesalahan pola asuh keluarga, mengecap para orang tua telah lalai mendidik anaknya. Mungkin kita sepakat, namun bukan berarti menyederhanakan persoalan. Kita pun semestinya curiga, apa yang orang-orang saat ini pikirkan mengenai mendidik anak. Lebih jauh, apa yang sekolah telah berikan pada anak-anak?

Cara mendidik sebenarnya suatu hal yang bersifat kultural. Bangsa Barat mengenal kata  otoritarian, demokratis, dan permisif. Keluarga yang berkuasa, yang membuka suara, dan yang liberal. Sementara masyarakat kita sendiri, semisal orang jawa mengenal bahasa momong. Dalam karya para priyayi (1992) Umar Kayam mengajak menemukan keluarga Sastrodarsono menjadi gambaran orang jawa dalam momong anak. Menanam etika melalui tokoh dalam cerita pewayangan seperti pandawa lima dan punakawan, dari nilai luhur yang terkandung di dalam tembang-tembang macapat.

Anak jawa dididik untuk menjadi bagian dari masyarakat. Sebaliknya seorang anak jawa akan sangat isin atau malu ketika berperilaku yang menyalahi nilai atau norma. Itulah, mengapa tradisi jawa maupun masyarakat Timur pada umumnya melahirkan nilai-nilai kolektif ketimbang masyarakat Barat yang lebih individual. Jelas, seperti yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno (2013), kebudayaan-kebudayaan di Indonesia menjadi kontrol sosial dalam masyarakat.

Tentu saja tradisi semacam itu tumbuh dalam masyarakat masa lalu, pada masa Indonesia pramodern. Zaman terus bergerak, nilai dan etika tersebut telah banyak bergeser dan berubah. Dalam masyarakat modernis sekarang, setiap perkara hidup disetir oleh rasio konsumsi-produksi. Oleh logika bagaimana menimbun kebendaan. Begitu pula dalam hal ihwal momong anak, mengenai cara-cara mendidik anak. Banyak cerita anak dipukuli, dilarang bermain, dipaksa menjadi seperti kemauan orang tuanya. Konsekuensinya, anak pun seolah dianggap benda, bukan jiwa.

Telah terjadi pergeseran peran dan mengenai cara-cara momong anak. Menganggap sekolah sebagai tempat paling baik mendidik anak. Dalam buku Deschooling Society (1971), Ivan Illich membaca kondisi masyarakat yang tergantung terhadap lembaga pendidikan. Orang-orang yang terbelenggu oleh sekolah berkeyakinan bahwa belajar sendiri itu tidak cukup. Orang tua merasa tidak cukup cerdas untuk membantu anaknya belajar. Maka dimasukkan anak-anak mereka ke sekolah, ke tempat bimbingan belajar.

Sementara itu kita membuka sistem pendidikan yang kita adopsi dari warisan kolonial. Sebuah model persekolahan seperti ruang kelas, kurikulum, jam matapelajaran, dan lengkap dengan kurikuler tersembunyi. Anak-anak dikenalkan logika standarisasi melalui test, diajari bagaimana berkompetisi. Guru-guru melarang menghabiskan waktu dengan bermain, mengatakan bermain itu bukan belajar. Guru tersebut seolah tak penah kenal dengan Frobel, tokoh pendidik itu.

Sekolah seolah tempat satu-satunya pendidikan anak. Orang melupakan adanya pendidikan nonformal dan informal. Permasalahannya, sekolah pun nyatanya jauh dari esensi belajar, dari pendidikan itu sendiri. Sekolah menyamakan pengajaran sebagai pendidikan, menganggap nilai raport sebagai gambaran proses belajar, dan menjadikan pemberian hukuman sebagai cara mendidik, yang bahkan dianggap paling tepat dan luhur.

Sulit disangkal bahwa sekolah  menjauhkan setiap orang dari masyarakat. Guru lebih suka anaknya bertanya tentang rumus, daripada mempertanyakan kemiskinan di jalah-jalan. Lebih suka anak-anak pandai bahasa asing ketimbang bahasa ibu. Ruang kelas justru menjadi ruang pemerkosaan jiwa anak, mencabut anak dari alam kehidupannya. Lantas mengapa masih mengeluh ketika generasi kita lupa akar budayanya?

Kita semestinya memahami bahwa sekolah punya banyak keterbatasan sebagai istitusi pendidikan. Mulai berpikir guru-guru tak akan cukup mampu untuk mendidik empat puluh kepala dalam satu kelas. Dan sekolah tidak selayaknya dianggap sebagai agama baru yang menentukan masa depan anak-anak. Kita harus membebaskan masyarakat dari belenggu sekolah, dari pikiran sekolah sebagai tempat paling baik momong anak-anak.

Kita melupa pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan dan keluarga. Tentang gagasan Tri-pusat pendidikan, yakni keluarga, perguruan, dan pergerakan pemuda. Menempatkan keluarga sebagai pilar pusat pendidikan, tempat lahir dan tumbuhnya budi pekerti. Ki Hajar Dewantara telah mengingatkan untuk meragukan sistem sekolah, yang dia katakan hanya semata mengusahakan cerdasnya intelektual (1935).


Tuntutan zaman yang ekonomistik bukan berarti menelantarkan anak-anak. Tetapi menyelamatkan anak-anak dari sinetron-sinetron, dari gadget-gadget mereka, dari merek-merek dan iklan-iklan. Setiap orang tua semestinya berpikir ulang untuk menyerahkan pendidikan anaknya kepada sekolah. Kita, orang-orang yang momong, sekiranya mengingat perkataan Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang adalah guru, setiap rumah menjadi sekolah.”