22 Mei 2014

20 Menit . .


Selasa, 20 Mei 2014, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) menginginkan keberhasilan “gerakan 20 menit orang tua mendampingi anak”. Aher meminta para orang tua mendampingi anaknya dari pukul 18.30-18.50, serentak di seluruh Jawa Barat. Agenda sengaja bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Kita lantas kebingungan mengenai esensi. Kita tidak yakin apakah gubernur bertanggungjawab mengurusi persoalan orang tua dalam mendampingi anaknya. Kita sulit menemukan kaitan gerakan tersebut dengan Hari Kebangkitan Nasional. Kita pantas curiga agenda tersebut bermisi politik populis.

Demi menyukseskannya, iklan-ilkan disebar di surat kabar dan media sosial. Dalam iklan di koran nasional, gerakan tersebut bertujuan untuk melindungi anak dari kekerasan, demi menyelamatkan masa depan anak.  Aher dan aparat pemerintah berdalih bahwa agenda 20 menit didasari maraknya kekerasan terhadap anak. Ada keinginan mencegah bertambahnya kasus kekerasan pada anak. Kita dapat merasakan nada kecemasan, kekhawatiran yang berlebihan terhadap anak. Kita dapat menilik ide dari gerakan ini semata tanggapan sporadis tanpa bernalar panjang.

Dari bahasa iklan tersebut saja kita disuguhi bahasa-bahasa warisan Orde Baru. Bahasa iklan seperti “melindungi” dan “menyelamatkan” mengisyaratkan nuansa bahasa Orde Baru. Ada misi birokratis. Persis seperti yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan upaya penyuluhan dan penertiban keluarga sesuai kemauan penguasa. Aher dapat dinyatakan memposiskan dirinya seperti Soeharto dalam politik-keluarga.

Kita belum tahu banyak mengenai tangapan para orang tua terhadap agenda berdurasi 20 menit. Apakah orang tua akan turut atau tidak akan mempedulikan. Tapi, kita sangsi jumlah  peserta yang terlibat. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana cara Aher dan aparat pemerintah memastikan semua orang tua menjalankan instruksi. Dinyatakan 20 menit digunakan untuk membacakan buku kepada anak. Kita pantas merasa aneh. Kita ragu apakah di rumah-rumah terdapat buku-buku bacaan untuk anak. Kita semakin ragu dengan kejelasan dan kewarasan dari gagasan 20 menit mendampingi anak.

Kita dapat mengingat corak keluarga Indonesia yang berbeda seperti yang ada dalam buku Dirumah dan Disekolah terbitan Chailan Syamsoe, 1954. Buku itu menjadi buku bacaan bagi anak-anak di masa 1950-an. Dalam buku itu disajikan kisah-kisah bergambar mengenai hubungan ibu, bapak, dan anak di rumah. Kisah ibu memandikan anak, bapak membacakan cerita. Membawa imajinasi orang tua memberikan pelukan, ciuman, dengan wajah keriangan anak-anak dan tawa seorang ibu. Kita merindukannya. Gambaran anak dan orang tua pada masa lalu tentunya berbeda dengan kondisi keluarga saat ini yang semakin penuh tantangan.

Kemunculan gerakan 20 menit maupun gerakan sejenis tak lain menggambarkan pemerintah mulai kehabisan akal dengan maraknya kekerasan terhadap anak. Kita menyadari saat ini orang tua punya sedikit waktu untuk mendampingi, memberi perhatian, kasih sayang terhadap anak. Kita tak dapat menampik telah kehilangan ikatan orang tua dan anak yang ada pada keluarga-keluarga di tahun-tahun lalu.

Hari ini komunikasi orang tua dengan anak adalah komunikasi instan lewat BBM, SMS. Orang tua lebih banyak menghabiskan waktunya dengan tumpukan kertas, memandangi layar komputer, ketimbang waktu bersama anak-anaknya. Mendapati anak-anak yang lebih “mengenal” bibinya ketimbang ibunya sendiri. Gerakan 20 menit lahir dari tidak adanya kesadaran waktu bersama anak.
***