27 September 2015

Kerja Menulis (Esai), Perihal yang Intim

Setiap orang semenjak pertama kali di bangku sekolah telah dikenalkan dengan kerja menulis. Selain aktivitas lain yakni membaca. Artinya belasan tahun sebenarnya kerja menulis telah dituntut menjadi sehari-hari, setidaknya dalam ruang kelas. Akan tetapi, dalam situasi tertentu, kerap seorang mahasiswa “gagap” ketika diminta untuk menulis, katakanlah esai. Kalaupun mencoba menulis,  merasa tulisannya gagal atau buruk. Mengapa ini terjadi?

Ada persoalan mendasar dalam gelagat kita mendikotomikan antara menulis untuk tugas akademik dengan menulis sebagai keterampilan yang penting tanpa pretensi. Seolah dua hal itu merupakan kerja yang berbeda. Kita seringkali gagal untuk mengantongi jawaban atas keharusan menulis tanpa perintah. Kita akhirnya menyadari, perihal menulis masih sebatas tuntutan akademik. Menulis, menjadi sesuatu yang asing. Kita miskin imajinasi bagaimana merasakan keriangan berhuruf.

Persoalan menulis dapat kita telusuri dari ruang kelas. Pada dasarnya ruang kelas tidak pernah benar-benar membuat kita memiliki hasrat untuk menulis. Kita mengenyam pendidikan penghamba pilihan ganda yang menumpulkan imajinasi dan nalar. Pengalaman menulis kita di ruang kelas dipenuhi ingatan merangkum buku paket yang tebal, membuat makalah yang ambil-tempel huruf sana sini. Pengalaman menulis kita adalah pengalaman yang menjemukan.

Guru atau dosen pun bukan tanpa dosa. Mereka selalu beranggapan, urusan keterampilan menulis ada di pelajaran bahasa Indonesia. Celakanya, pelajaran bahasa Indonesia kering kegiatan berliterasi seperti menulis esai, cerpen, dan puisi. Atau pengisahan novel dan buku-buku sastra. Kita lebih banyak dijejali untuk menemukan pokok pikiran, jenis-jenis paragraf, unsur-unsur intrinsik dalam teks, dan proses belajar lain yang mematikan hasrat kita untuk bermesraan dengan huruf dan kata. Bertahun-tahun.

Saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Eka Kurniawan. Menulis bukanlah sekadar menyusun kata-kata menjadi kalimat, bukan sekadar menyusun beberapa kalimat menjadi paragraf (yang bahkan seringkali banyak yang tak mampu), tapi terutama adalah sebagai disiplin berpikir. Bukankah pada dasarnya menulis merupakan perwujudan apa yang ada di dalam kepala kita ke dalam bentuk tulisan? Jika hasilnya ingin baik, maka perbaiki lebih dulu apa yang ada di dalam kepala. Jika ingin menjadi penulis yang baik, pertama-tama jadilah pemikir yang baik.



***
Perihal menulis sebenarnya suatu hal yang sehari-hari kita hadapi. Kemalasan dan ketumpulan kita dalam menulis sebenarnya berakar dari bagaimana kita menyikapi hidup. Saat ini kita hidup dalam situasi yang dituntut serba cepat. Kita akan mudah mengeluh ketika harus berlama-lama mengantre, lama menunggu kereta, ketika jaringan internet kita lemot, dan seterusnya. 

Tanpa sering kita sadari, kita terobsesi dengan kecepatan. Segala sesuatu haruslah cepat. Lebih cepat lebih baik. Tidak ada ruang untuk sesuatu yang lambat, sebuah keterlambatan sering kali tidak dapat kita tolerir. Maka banyak hal kita lakukan seolah-olah memang seperti itu adanya. Kita kerap merasa tidak memiliki opsi lain. Dan lebih sering tidak terpikirkan untuk mempertanyakannya.

Obsesi pada kecepatan sering kali membuat kita melupakan hal yang sebenarnya paling mendasar dalam hidup; bertanya. Kita jarang memiliki waktu untuk sejenak mengambil jarak dari rutinitas hidup, melakukan semacam refleksi dan bertanya atas apa yang kita pilih dan lakukan.

Menulis hanyalah contoh kecil dari situasi yang kita hadapi saat ini. Mengapa kita menulis? Kita jarang benar-benar mempertanyakannya. Atau kalaupun mencoba, kita kerap kali gagal untuk mengantongi jawaban yang memuasakan. Jawaban yang dapat membuat kita untuk terus menulis. Dalam obsesi kecepatan, kerja menulis rawan dianggap menghabiskan waktu. Kita kerap merasa tidak ada waktu untuk menulis.

Kini zaman serba pragmatis, segala sesuatu yang kita lakukan selalu dilihat atas nilai gunanya. Maka bagi saya, sulitnya mengantongi jawaban mengapa kita menulis adalah hal yang wajar. Setiap kali kita mencoba mengajukan mengapa kita menulis, segeralah kita diruntuhkan dengan segala tuntutan kuliah, pekerjaan, dan pelbagai pengganjal beratasnamakan “tanggungjawab”.

Menulis harus memiliki kepentingan. Tentu mudah untuk saya mengatakan misalnya bahwa menulis itu kerja intelektual, menulis itu tanggung jawab kemanusiaan, dan mengutip kata-kata Pram, “Orang boleh berilmu setinggi langit, tapi tanpa menulis ia akan hilang dari sejarah.” Atau saya akan bilang kalau dengan menulis kita akan mendapatkan honor, kita dapat membeli buku-buku baru, dan seterusnya.

Tetapi itu bisa jadi akan percuma. Sebab seseorang menulis mesti berangkat dari kesadaran diri sendiri. Bagi saya, menulis (terlebih esai) hanya dilakukan oleh orang yang memiliki kesadaran kritis. Kerja menulis adalah perihal yang sifatnya intim dan pribadi. Maka untuk menulis, setiap orang harus mencari dan menemukan jawabannya sendiri; mengapa saya menulis?



***



Esai kerap kali dipersoalkan pada keruwetan yang tidak perlu. Bagi saya esai adalah cara yang paling mudah untuk menuliskan sebuah ide, refleksi, kritik, atau gugatan. Ketimbang menuliskannya misalkan dalam cerpen atau puisi. Karena esai memberi ruang bagi kita untuk ‘berterus terang’ dalam tulisan. Esai adalah tulisan yang paling jujur dari seorang penulis -karenanya disebut opini. Sayangnya kita kerap kali terjatuh dalam keruwetan yang tidak perlu dalam anggapan menulis esai.

Arif budiman dalam esai tentang esai memberi penjabaran singkat tentang esai: “Esai adalah karangan yang sedang panjangnya, biasanya dalam bentuk prosa, yang mempersoalkan suatu persoalan secara mudah dan sepintas lalu – tepatnya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis”.

Menulis esai adalah upaya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis, sejauh itu menarik pikiran untuk dituliskan. Mengapa menarik untuk dituliskan adalah cara penulis mengambil segi atau angel, dari persoalan yang menarik pikiran tersebut. Dengan menunjukkan segi baru, atau mengambil perspektif lain. Banyak tulisan esai kerap mencari “celah” suatu persoalan yang jarang terpikirkan.

Harus dicatat, tidak ada definisi mutlak apa itu esai. Barangkali hanya semacam “kira-kira”. Sebuah esai tidak se-objektif sebuah tulisan karya tulis yang menuntut data dan fakta dalam kerangka metodologi ilmiah yang ketat. Esai tidak hendak mengecapkan sebagai “ilmiah”, tetapi sejauh bisa diterima pembaca secara logis. Sebuah esai juga tidak se-subjektif sebuah puisi dengan metafor yang memberikan keleluasaan interpretasi. Esai bukan seperti karya tulis maupun puisi, tetapi berada di tengah-tengah keduanya.

Sebabnya dari sebuah esai kita tidak akan mengantongi sebuah jawaban mutlak seperti dalam karya ilmiah. Sebuah esai tidak menjanjikan sebuah jawaban besar dan gamblang tentang solusi sebuah persoalan dalam masyarakat. Selain karena panjang tulisan, sebuah esai sebatas berupaya menyingkap wacana, memberi gagasan yang masih kabur, dan sebatas untuk menggugah hati pembaca setelah membaca tulisan.

Sampai sini sebenarnya pertanyaan mendasar menulis esai telah selesai. Tetapi kadang kita masih menyisakan pertanyaan: apakah esai sama dengan artikel? Apakah keduanya sama-sama jenis tulisan opini? Lantas bagaimana dengan kolom? Jika semuanya tidak sama, lalu di mana letak perbedaannya?

Di situ kita sering terjebak dalam pergulatan yang tidak semestinya. Sebab akan lebih mudah untuk menjawab: kita hendak menulis untuk apa dan di mana? Apakah untuk media, jika iya lantas media apa (tempo, kompas, sindo)? atau esai tersebut hendak sebatas untuk dibagikan ke sekitar? Jadi dalam menulis, bukan esai itu apa, bukan menulis itu apa, tetapi ketika hendak menulis, tulislah sesuai kebutuhan. Sekali lagi kita jangan terperangkap dalam jebakan persoalan teknis dan sistematika.



***


Dalam fase awal seseorang belajar menulis, kita sering terjebak dalam pertanyaan njlimet tentang teknis menulis. Yang sebenarnya ini jadi penyebab mengapa kita menjadi “gagap” untuk menulis, Takut menulis bila nanti hasilnya dianggap buruk oleh pembaca. Hingga kita tidak menggoreskan atau memulai tuts apapun. Akhirnya kita pun berhenti untuk belajar menulis.

Kekeliruan tersebut yang patut kita hindari. Menulis itu soal kemauan, bukan inspirasi. Yang kita sering namakan sebagai inspirasi sebenarnya adalah kemauan kita. Di mana ada kemauan, di situ ada ide. Menulis itu bukan bagaimana, tetapi menulis adalah menulis, menulis, dan terus menulis.

Menulis pada dasarnya tidak jauh beda dengan  aktivitas lain seperti memainkan alat musik, bermain drama, dan sebagainya. Kesemuanya membutuhkan latihan dan pengulangan, proses belajar terus-menerus sampai kita terbiasa dan terampil.

Manusia belajar apapun dari meniru. Demikian pula dengan menulis. Agar progres tulisan kita berkembang, maka itu tidak terlepas dari dua hal. Pertama dari kita sering melihat tulis-tulisan lain. Artinya, bila kita hendak belajar menulis esai, cobalah untuk melihat contoh tulisan-tulisan esai. Sederhana.

Kedua, aktivitas menulis tidak dapat terlepas dari aktivitas membaca. Seseorang ketika belajar menulis esai sering merasa tulisannya tidak berkembang, pasti karena tidak dibarengi dengan membiasakan diri untuk membaca. Sebab dari membaca, nalar dan logika berpikir kita akan terasah sekaligus memperluas cara pandang kita terhadap persoalan. Paulo Freire mengatakan, “Membaca kata, membaca dunia”.

Selebihnya, seperti yang sudah dikatakan di awal, belajar menulis adalah belajar mengenai disiplin atau tata-cara berpikir. Sementara kita berpikir melalui bahasa. Karenanya, bahasa adalah perkakas utama kita berpikir sekaligus dalam menulis. Kadang, kita merasa kesulitan menulis seperti esai karena kita terbiasa menulis dengan bahasa-bahasa makalah atau bahasa akademik yang kaku, njlimet, klise, dan bertele-tele. Menjadi penting, belajar menulis juga berawal dari belajar berbahasa, bagaimana menuangkan tulisan dengan ‘bahasa batin’ yang sederhana dan lugas.

Terakhir, saya ingin meminjam (lagi) apa yang dikatakan Eka Kurniawan tentang esai. Bagi Eka, esai merupakan perkawinan unik antara disiplin berpikir, keberanian berspekulasi, dan gaya menulis. Esai merupakan wilayah kreatif, wilayah main-main tanpa harus kehilangan hasrat intelektual. Wilayah penulisan penuh gaya tanpa kehilangan bobot.