30 Januari 2011

APATIS ATAU IDEALIS?



"Jika kita dalam perjuangan revolusioner tidak mengambil inisiatif duluan, maka lawan mendapatkan keuntungan menguasai kemauan dan perbuatan kita sehingga kita dipaksa dalam keadaan pasif melumpuhkan." (Tan malaka:Naar de 'Republiek Indonesia')
Saat ini penegakan hukum bangsa kita tengah compang-camping. kehilangan kekuatanya, sehingga borgol-borgol tak mampu lagi mengikat para tikus-tikus gendut yang kian rakus saja mencabik-cabik hak orang-orang yang ‘sengaja dilupakan’. Mewabahnya dalang-dalang pewayangan yang pintar memainkan skenario cerita 1001 malam versi markus semakin melumpuhkan sendi-sendi eksistensi kita sebagai negara hukum.
Tengoklah kasus arthalita-urip, ballout century, Anggodo, dan sekarang Gayus tambunan. Itulah hanya sebagian kecil kasus yang ter-scaning didalam cerita 1001 malam tersebut. Masih banyak virus-virus yang tak terdeteksi. Mungin karena ganasnya Mr.virus tersebut, sehingga antivirus itu sendiri telah terkontaminasi virus sehingga bersekongkol untuk tidak membuka siapa dalang dibalik semua ini. Sehingga yang tertangkap hanyalah virus-virus ringan macam worm.
Hukum itu ibarat sebuah payung. Ketika kita ingin payung itu dapat memayungi dengan kuat dan kokoh, maka kita harus membuat pilar-pilar penyangga payung tersebut yang kuat dan kokoh pula. Pilar-pilar penegakkan hukum sebuah negara itu sendiri ada tiga, yaitu hukum itu sendiri (law), aparatur hukum (institution of law), dan rakyat yang dinaunginya (public).

Berbicara tentang hukum maka mata kita takkan terlepas pada sorot tajam kepada si pembuat hukum atau undang-undang yaitu DPR. Sampai sekarang ini UU tentang tindak pidana Korupsi masih terkatung-katung tidak jelas. DPR terlalu takut membuat UU untuk menghukum mati para koruptor dengan berbagai macam alibi, yaitu pelanggaran HAM dan sebagainya. Padahal jelas-jelas para koruptor telah melakukan pelanggaran HAM besar karena secara tidak langsung telah ‘mematikan’ jutaan jiwa bangsa ini. Banyaknya intervensi dari berbagai kepentingan politik adalah dalang ciutnya nyali para ‘yang katanya’ aspirator suara rakyat ini.
Pilar kedua adalah aparatur hukum. Kasus keluar masuknya Gayus tambunan dari sel tahanan ke bali, singapura, malaysia, hongkong dan macau sampai berkali-kali, serta pengakuan dari dirinya telah menyogok sebesar 20 milar kepada para aparat polisi dan jaksa merupakan sebuah tamparan keras terhadap kedua institusi tersebut. Tidak bersihnya antivirus yang bernama polri dan kejaksaan dari Mr. Virus, merupakan sinyal besar bahwa sistem pemerintahan dan hukum kita telah crash and corrupt. Dan jika meminjam lagi kata-kata dalam IT maka jalan satu-satunya harus dilakukan install ulang, atau dengan kata merestrukturisasi semua jajaran polri dan kejaksaan dari atas sampai bawah. Dengan catatan meremove seluruh jajaran yang telah menjadi budak markus tanpa pandang bulu dan sistem tebang pilih seperti selama ini. Pertanyaanya, berani kah?
Ketika pilar pertama dan kedua sudah goyah atau bahkan roboh, maka tumpuan kita satu-satunya hanyalah pada pilar ketiga atau terakhir yaitu rakyat. Fungsi pilar ketiga ini bukanlah the tower of law maintenance, akan tetapi sebagai rescuer dari tegaknya supremasi hukum bangsa ini. Sebagai negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, seharusnya kita jadikan power of people untuk melawan, berontak atas segala ketidakadilan yang sangat nyata dan mencekik. Tan malaka mengatakan Ujud perjuangan yang dilakukan inisiatif ialah offensif. Mereka yang menyerang duluan, mempunyai inisiatif dan menguasai kemauan dan perbuatan lawannya (Naar de 'Republiek Indonesia: 1925).
Namun ketidakbecusan pemerintah selama ini dalam menyelesaikan berbagai kasus korupsi dan makelar kasus telah melahirkan bibit sikap-sikap apatis yang mengerogoti hati rakyat. Rakyat kini mulai jenuh dan bosan dengan otak sampah para elit politik negeri ini. Ketika rasa kepercayaan semakin luntur, maka muara dari sikap apatis, acuh, masa bodoh adalah terbentuknya manusia-manusia individualis materialis. Homo hominilupus yang mementingkan dirinya sendiri, dimana menggunakan cara-cara busuk demi meraih tujuan mereka yang berorientasi pada materi.
Maka sesungguhnya kemana arah perahu candik ini berlayar, demi mencapai cita-cita dan tujuan para building father kita dulu, bukan ditangan Nahkoda. akan tetapi pada para awak perahu bangsa ini. Karam tidaknya perahu kitalah yang menentukan. Namun tak adil rasanya, karena mereka juga masih punya pilihan. kalau kata Soe Hoek Gie kita hidup hanya ada dua pilihan yaitu apatis atau idealis?. Terserah kita mau memilih yang mana.