27 Februari 2011

Sebelas Februari


“huuaahh....”
“berisik amat nih, gangguin orang tidur aja.”
Aku maki alarm yang ku setel sendiri. lalu sambil mencoba membuka mata yang masih berat, tanganku jelalatan mencari-cari handphone yang dari tadi tak berhenti berdering. Tak lama ku temukan handphone tepat berada dibawah bantal, ku lihat di jam handphone sekarang sudah pukul 05.00 pagi. Dengan mata yang masih setengah tertutup ku buka pesan baru yang tadi malam belum sempat ku baca karena ketiduran, ternyata sebuah kartu nama.

Nama
Riska Aurelia
Ponsel
+6287733478633
Singkronisasi                           
Pribadi

Aku kaget dan langsung berdiri dengan perasaan setengah tak percaya ketika membacanya. ku coba membuka mata lebar-lebar untuk memastikan bahwa  aku benar-benar sudah terbangun dan tidak sedang bermimpi. lalu ketika menyadarinya aku pun terkulai lemas, ku rebahkan tubuh ke tembok kamar.
hatiku benar-benar masih tak percaya dengan semua ini, setelah penantian panjang selama ini. Dan tanpa ku sadari linangan air mata telah membasahi wajah kusamku.
Delapan tahun lamanya aku terpisah dengannya, tak tahu dimana keberadaanya. Delapan tahun pula aku mencarinya, bertanya kepada teman-teman SMPku, menanyakan kabarnya, keberadaanya, rumahnya, atau hanya sebatas nomor handphone. Tapi tak pernah ada hasil.
Wilda, dialah yang mengirimiku kartu nama Riska semalam. Dia adalah sahabat Riska saat SMP dulu. Tempo hari aku menanyakan keberadaan Riska dan bertanya apakah dia memiliki nomor handphone Riska yang bisa aku hubungi. Tapi saat itu dia mengaku tak memilikinya.
Kini setelah hari-hari panjang yang ku lalui, begitu tiba-tiba, disaat aku mulai belajar untuk merelakan kepergiannya. Hari ini, ku temukan dia, Setidaknya membuka lagi harapan yang telah ku simpan rapat-rapat.
Ku terbangun dari lamunanku saat teringat bahwa hari ini aku berencana akan pulang ke kampung halamanku mengikuti tradisi mudik saat lebaran tiba. Jam dinding kamar menunjukkan sudah pukul enam lewat. Ku usap air mata yang belum mengering, lalu segera bergegas untuk menuju ke terminal Bus pulogadung.



***

Selama perjalanan pulang fikiranku terbawa saat-saat ku SMP dulu. Saat dimana aku diam-diam mengagumi sosok cewek cantik dan pintar bernama Riska. Dia adalah gadis keturunan jawa asli, tubuhnya mungil, dengan rambutnya yang tak ia biarkan terurai, ia ikat rambutnya hingga tampak seperti ekor kuda. Saat itu aku adalah cowok pendiam dikelas. Ku teringat kapan pertama kali ku mulai menyukainya, saat dia dengan senyum manisnya mengajari ku mengerjakan soal matematika. memang sebuah cinta monyet yang begitu biasa. Tapi dari yang biasa itu tertanam rasa dan kerinduan ku yang luar biasa kepadanya.
Entah sudah berapa kali, untuk kesekian kalinya ku baca lagi pesan singkat dari Wilda tadi malam. Sejenak aku pun terdiam, lalu jari tanganku mulai memencet tombol-tombol di handphone ku.
087733478633
Panggil...
Tut...tut...tut...tut...
“halo..”
“ia, halo.. assalamuakaikum. ini riska bukan?”
“waalaikumsalam, he’em. Sampeyan sopo?”
“aku Aries, temen SMP Riska dulu..”
“Aries...?”
Lalu kami pun ngobrol panjang lebar, menurutnya dari suaraku di telpon, aku sudah berubah tak seperti dulu yang pendiam, tapi dia masih tak percaya kalau ini aku, karena begitu lama kita terpisah, delapan tahun lamanya. kami bercerita saat-saat SMP dulu. Saat kami berdua digosipkan saling berpacaran oleh anak-anak sekelas dulu. Indah rasanya mendengar suaranya lagi. Namun Perjalanan delapan jamku pun terasa singkat, ku sudahi perbincangan penuh kerinduan kami berdua saat bus yang aku tumpangi telah merapat di terminal bus ponolawen.

***

Sore itu, ku keluarkan sepeda ontel kesayanganku dari garasi rumahku. Hari ini aku berencana menemui gadis yang delapan tahun lamanya ku rindukan. Gadis yang tak pernah pergi dan selalu singgah di hatiku. Dia yang telah menyiksaku, tak membiarkanku berpaling ke gadis lainnya. Lalu bersama degug jantungku yang kian kecang, ku kayuh sepedaku meninggalkan rumahku menuju Jl. Rambutan no. 19
Langkahku terasa berat saat berjalan di pekarangan menuju pintu rumahnya. Ku susuri rangkaian tanaman hias dengan berbagai jenis bunga yang cantik dan tertata rapi dengan perasaan sedikit canggung dan ragu. Namun ku mantapkan hatiku begitu sampai dan ku ketuk pintu dengan pelan.
Tok..tok..tok...
Terdengar suara gadis yang rasanya tak asing bagiku menyahut dari dalam rumah, sontak hatiku berdebar-debar. Tak lama kemudian di balik pintu muncul gadis mungil cantik sambil tersenyum kepadaku, senyuman manis yang masih sama seperti dulu.
“Aries yah..?”
“iah..” balasku dengan gugup.
“jangan diam aja disitu, ayo pinarak mas.”
“iah..”

***

Kemudian Riska mempersilahkan ku untuk duduk, sementara ia pamit sebentar ke dapur untuk membuatkanku minuman. Nafasku masih belum teratur, rona gugup masih menyelimuti wajahku. Lalu ku coba mengalihkan pikiran dengan melihat-lihat sekeliling ruangan.
Rumah riska bisa dibilang sangat sederhana. Bangunan orang jawa tempo dulu dengan lantai yang tinggi dan daun-daun jendela yang panjang dan lebar. Namun rumahnya tampak tertata dan rapi. Dindingnya dihiasi beberapa hiasan dari tangan dan album foto keluarga. Mataku yang mondar-mandir kini tertuju pada sebuah foto yang digantung di atas daun pintu. Sebuah foto Riska dan laki-kaki yang umurnya setingkat diatasku. Tapi ku tak mengenalnya, mungkin itu kang mas nya batinku. Sesaat berselang Riska datang membawakanku secangkir kopi hangat dan beberapa kue.
“monggo mas, diunjuk kopi nipun, kaleh dikersakke roti ne. Namung niku sing enten.”
“iah makasih ris, maaf udah ngrepotin.”
Awalnya kami berdua masih agak canggung. Namun tak lama kemudian kami mulai terbiasa dan suasana lebih mencair.
“baru mampir sekarang, kemana aja selama ini mas.” goda Riska.
“nggak kemana-mana kok, cuma melaksanakan perintah rasululllah, nyari ilmu di Jakarta.” Jawab ku sambil tersenyum.
“oh, mas kuliah di Jakarta. Mas hebat yah.” Lagi dia menggodaku
“biasa aja ris, hebat itu kalau aku datang kesini bawa mobil. Ini, ku kemari cuma bawa ontel.”
“yang penting itu niatnya mas. Tapi dulu aku sempat merantau ke jakarta juga mas.”
“beneran?”
Kemudian riska pun mulai bercerita. Waktu itu setelah kami lulus SMP dulu, sama seperti lainnya riska berniat meneruskan ke SMA. dengan prestasinya yang menonjol, ia tak kesulitan diterima di SMA paling favorit di kota. Namun nasib berbicara lain. Ayahnya mengalami kecelakaan dan meninggal tepat di hari pertama ia masuk sekolah. Riska pun akhirnya harus merelakan mimpinya merasakan bangku SMA karena ibunya tak mampu menanggung beban ia dan ketiga adiknya. Lalu beberapa bulan kemudian, riska memutuskan mengadu nasib ke jakarta bersama seorang teman dikampungnya.
Miris hatiku mendengarnya. Gadis paling pintar di kelasku dulu, gadis yang mengajariku menyelesaikan soal persamaan kuadrat dulu, gadis yang ku cintai meski bertahun-tahun tak bertemu harus putus sekolah lebih awal. Hal yang tak pernah terfikirkan olehku. Ku bayangkan betapa hancurnya hati riska saat itu. kematian ayahnya yang juga mengubur mimpi riska dalam-dalam.
“sabar yah yang..”
“maaf, tadi mas bilang apa?”
“eh, maksud aku sabar yah, yang berlalu biarkan berlalu”
“iah, makasih yah aries.” Sambil ia tersenyum.
“sama-sama.. Eh gimana kalau kita jalan-jalan aja pake ontelku?”
“hah, kemana?”
“ke pantai aja, mau ya?”
Kemudian riska mengiakan ajakkan.

***

Jarak antara pantai dan rumah Riska tak begitu jauh, hanya sekitar 2 km. Sehingga tak butuh waktu lama, hembusan angin laut telah terasa, menerpa rambut hitam riska yang sedikit bergelombang dan membuatnya terurai indah. Begitu aku hentikan kayuhan sepeda ontelku, riska langsung turun dan melangkah ke sebuah batu besar yang tengah melawan terjangan debur ombak. Lalu akupun beranjak menghampirinya.
“tak banyak yang berubah ya ris”
“iah, tak banyak yang berubah di pantai ini, menenangkan hati.” Binar matanya kosong, menatap jauh ke laut lepas.
“terakhir kali aku kesini waktu kita perpisahan dulu kan, sekitar delapan tahun yang lalu. Kamu masih ingat kan ris?”
“masih mas.” sambil ia mengeser posisi duduknya sehingga kini kami duduk bersebelahan di batu besar tadi.
“tempat ini begitu berarti buatku.”
“sama mas.”
“sama halnya kau sangat berarti buat aku ris”
Lalu riska menolehkan pandangnya kearahku. Sedangkan aku memandangi ombak yang bergelombang.
“maksud mas aries” ucap riska pelan.
“kamu masih ingatkan ris dulu waktu perpisahan, kita dan teman-teman menuliskan sebuah mimpi kita masing-masing dikertas, lalu dimasukkan ke sebuah botol.” Sambil ku tersenyum
“masih mas.”
“kau tau ris apa yang aku tulis waktu itu?”
Riska hanya mengelengkan kepalanya.
“emm..”
du bist meine liebe, und ich moöchte, dass sie alle begleiten.
kau yang kucintai, dan ku ingin kau pun yang temani.
 “Mungkin kata itu amat sederhana. Sederhana sekali. Tapi itu adalah bahasa hatiku yang kusimpan. Teruntuk kasihku. Dia yang mengajariku mengerjakan soal matematika, dia yang memberiku semangat agar jangan mudah menyerah, dia yang ku cintai, dia yang kucari, dia yang delapan tahun ku rindu.”
“kau kau, kamulah gadis dalam tulisanku itu ris.” sambil ku pegang tangannya dan ku tatap matanya dalam-dalam.
Riska tak menjawab. Ia palingkan wajahnya dariku. Hanya menunduk.
“apakah kau juga tau kenapa tempat ini begitu berarti buat aku mas?” tanya riska sesengukkan.
“tidak ris..” aku sedikit bingung melihatnya
“setiap sore mas..” matanya tampak berkaca-kaca.
“iah, kenapa?”
“setiap sore aku disini, menunggu, dan menunggu. Tanpa sebuah kepastian.”
“menunggu siapa?” tanyaku pelan.
“menunggu seseorang. Dia adalah anak buah kapal dari seorang pemilik kapal, tuan sudibyo. Sudah sekitar delapan bulan ini mereka berlayar. Dan sampai sekarang tak ada kabar. Laki-laki itu... suami aku mas.” Suaranya memelan.
Lalu riska tak lagi sanggup mengekang air matanya keluar, ia keluarkan  bersama kesedihan yang selama ini ia pendam sendiri. Aku sendiri hanya membisu. Bingung, tak percaya, sedih, kecewa. Ternyata laki-laki di foto yang ku lihat tadi.. ahh..
“Hari ini tanggal 11 februari 2011, tepat dua tahun ulang tahun pernikahan kami. Sebuah pernikahan yang awalnya berat aku terima. Pekerjaanya sebagai seorang pelaut lah yang membuatku takut, karna ia akan membuatku sering khawatir dan kesepian. Tapi ia berusaha meyakinkanku. mas Rudi adalah laki-laki yang baik dan penyayang. Hal itu pula lah yang akhirnya meluluhkan hatiku waktu itu.”
Aku hanya menunduk, menatap tanpa arti pada anak-anak kepiting yang merayap dibebatuan. Aku bingung. Sejujurnya hatiku hancur mendengar kenyataan ini. Kenapa kami dipertemukan lagi kalau akhirnya akan seperti ini. Tapi disisi lain hatiku juga merasa sedih dan kasihan pada nasib pahit kasihku, gadis yang sangatku cintai.
“Maafkan aku mas ya..”
Aku tak menjawab, diam.
“bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“ia mas” sambil mengusap air matanya.
“apakah kamu juga atau setidaknya pernah ada rasa sama aku ris?”
“iah mas..”
“tapi aku masih ingin menunggu, mengunggunya sampai aku bosan. Meski aku tak yakin apakah aku akan bosan.”
“makasih ya” ucapku singkat.
Sejenak kami berdua terdiam, hanya ada suara debur ombak dan kawanan burung dikejauhan.
***