18 Juni 2011

Pendidikan Konyol

Oleh : Muhammad Khambali


Alangkah malangnya penghuni bumi saat ini, ia hidup di zaman yang aneh. Mungkin juga konyol. Tak tau kenapa tiba-tiba ada yang hilang---mungkin lupa---entah kenapa. Padahal ‘sesuatu yang hilang’ itu merupakan hal esensi, sebuah eksistensi kita sebagai makhuk bumi yang berakal budi. Taukah, sesuatu yang hilang itu bernama ‘nilai’, entah itu nilai budaya, etik, moral, juga agama. Celakalah kita.
Sebab, nilai setidaknya memberi kita sebuah keniscayaan. Menunjukkan kita akan garis-garis imajiner yang membekali kita dalam laku juga pijakan berfikir. Konon, akibat ‘sesuatu yang hilang’ itu, kini manusia memandang hidup ini sebagai sesuatu yang absurd, tanpa batasan-batasan yang jelas.  Bingung menentukan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Lalu tumbuhlah partikularisme, egoisme, juga sinisme. Pada akhirnya, entitas akan altruisme pun perlahan memudar. Mungkin juga hilang.
Tak sebatas itu, kemudian muncul anomali nilai yang mengagas sebuah semantika baru dalam ranah pendidikan. “Nilai” baru itu tereduksi dalam ruang sempit yang kita kenal sebagai nilai ulangan, nilai UTS, nilai UAS, nilai Raport, atau nilai ijazah. Ia telah menjadi Neo-keniscayaan yang mengukuhkan diri sebagai batu pijakan tunggal dalam dunia pendidikan kita. Maka, lahirlah kolonialisme, serta Komunalisme pecinta ‘nilai’.

Permasalahan lalu muncul, ketika nilai dijadikan sebagai Absolute value untuk mengukur keberhasilan teatrikal ruang kelas, maka terbentuklah pemikiran kerdil yang mencari jalan pintas. Muaranya adalah drama Ujian Nasional, siswa moncontek saat ulangan, makelar soal, jual-beli Ijazah, dan entah apa lagi. Weber dengan muram menyebut ini sebagai ”nalar instrumental”, bagian dari modernitas yang akhirnya akan membawa manusia ke dalam ”kerangkeng besi”.
Selanjutnya pertanyaan terbesar---barangkali sebuah kebodohan---adalah siapa yang patut dipersalah? Lantas apakah ini sebagai bentuk kompromi dari ‘sesuatu yang hilang’ itu. Entahlah. Tapi mungkin ini sebabnya, dalam buku Arete, Sokrates pernah berkata; bila ada orang jahat, kejahatanya tidak pernah bersifat sengaja, sebab kejahatan itu muncul dari ketidaktahuan atau ignorance.
Manusia tidak pernah menginginkan kejahatan karena kejahatan akan memberikan keburukan kepadanya. Apa yang disebut jahat, seringkali dilakukan orang justru karena ia menganggap hal tersebut sabagai baik. Hal ini menjadi sebuah realitas ketika seorang guru menyuruh muridnya yang dianggap pintar agar “membantu” teman-temannya yang “bodoh” ketika ujian. Karena guru tersebut “tahu” itu merupakan hal yang baik.
Lalu ini diperjelas oleh muridnya, Plato. ia mengutarakan dua alasan. Pertama, yang namanya kejahatan dan kekeliruan itu tidak bisa dipisahkan. Orang jahat biasanya adalah orang yang keliru, itu sebabnya kebaikan selalu dekat dengan kebenaran. Seorang murid atau mahasiswa yang mencontek ketika ulangan dikarenakan kekeliruan ia dalam menafsirkan sekolah atau kuliah. Ia sekolah untuk mengejar nilai atau IP, bukan untuk mengali ilmu sebanyak-banyaknya.
Yang kedua, bahwa bila hasrat manusia sudah terdidik dengan baik, maka otomatis ia akan cenderung mengikuti pemikiran (pengetahuan akan kebaikan). Baik Sokrates maupun Plato yakin bahwa Right action follows inevitably from right knowledge. Artinya, bila orang mengetahui benar-benar apa yang baik, maka  tindakannya akan mengikuti hal-hal tersebut, mengingat semua orang selalu menginginkan apa yang terbaik baginya.
Disinilah pendidikan menjadi titik permasalahan dari proses pemberian “pengetahuan”. Pengetahuan yang dimaksud bukanlah teori-teori abstrak objektif, akan tetapi ia adalah entitas sebuah kebijaksanaan (wisdom). Pendidikan kita saat ini hanya sekedar pengajaran. Memberi ilmu, tak mendewasakan. Melahirkan homo sapiens, bukan homo significan dan homo luden. ia tak mampu menjernihkan, akan mana yang keliru dan tidak keliru, tetapi justru membuatnya keruh, sehingga muncul ignorance.
Radhar Panca Dahana dalam esai sarjana lahir dari sebuah mumi mengungkapkannya dengan sangat apik. Konon, Pendidikan telah membungkus kenyataan lewat selimut kata-kata dan retorika saintik. Dan manusia tak lagi mengenali daun dari kelembutan bulunya, atau embun yang membasahi permukaannya. Daun telah mengalami metamorfosa, secara semantik maupun gramatik, kita sudah tak lagi memiliki daun, sebagaimana kita sudah tak lagi memiliki dunia ini.
Pendidikan justru membuat kita merasa kian bodoh. Tak memberi kita “pengetahuan”. Pendidikan telah dikhianati oleh misi awalnya sendiri. Sebab pendidikan saat ini bukan lagi dipergunakan untuk membuat manusia mengenal dirinya sendiri dan lingkungannya. Namun, ia telah menjadi ruang untuk pencarian kemenangan-kemenangan akan nilai atau philonikon, juga untuk mengejar nama besar dan rasa hormat akan gelar atau Philotimon. Dan akhirnya pendidikan melahirkan mumi yang gerak hidupnya terpusat untuk menimbun uang dan harta benda atau philokhrematon.
Seharusnya pendidikan layaknya tarian Syiwa-Nataraja bagi Sanusi Pane dalam Caping-nya Goenawan Mohamad. Ia adalah ‘jalan ringkas mencapai kemerdekaan’. Jiwa akan merdeka jika kita membiarkan diri menari dan ‘membakar segala ikatan buta’ yang kita buat, jika dalam gerak itu, sang penari tak dijajah oleh hasil, oleh ‘tujuan’. Jika kita sekolah atau kuliah tak sekedar hal konyol untuk mengejar nilai, gelar, atau harta, maka pendidikkan akan kembali hakikatnya sebagai ruang untuk memanusiakan-manusia. Lebih dari itu, pendidikan akan menjadikan kita seorang Philomates, cinta akan belajar.
***