25 Februari 2014

Sekolah Berliterasi

Menyesakkan adalah perasaan yang hadir ketika kita melihat wajah perpustakaan sekolah. Perpustakan kini tak lain ruang dengan tumpukan buku-buku tua berdebu. Buku-buku yang tercatat di sampul belakang telah sekian tahun terakhir kali dipinjam dan dibaca. Ruang senyap tanpa anak-anak sekolah yang asik berdiskusi membicarakan buku-buku dongeng, cerita rakyat atau puisi kesukaan mereka.

Perpustakaan sekolah seolah jadi museum pengawetan buku-buku. Tempat angker bagi anak-anak sekolah untuk mengabiskan waktu istirahatnya. Mereka lebih memilih duduk dan jajan di kantin. Lebih suka sibuk dengan gadget di tangan ketimbang membaca buku. Miskin literasi, seperti itulah wajah anak-anak sekolah.

Anak-anak tanpa literasi gampang mengeluh ketika diminta gurunya menulis karya sastra. Ketika diberi tugas dalam bentuk esai. Tak ayal lagi, anak-anak generasi pertanyaan pilihan ganda tak diasah mengembangkan imajinasi maupun kemampuan bernalar. Padahal itu dua aspek yang jadi bekal penting dalam memecahkan persoalan hidup ketika dewasa  nantinya.

Tanpa literasi anak-anak kini seakan kebingungan menemukan dirinya dalam kehidupan. Mereka kehilangan identitas dan seolah membenci diri mereka sendiri. Ketika setiap hari mereka mendapatkan nilai-nilai budi pekerti di sekolah akan tetapi gemar mencontek, tawuran, dan pendangkalan karakter lain.

Teringat apa yang Sindhunata (2004) katakan, anak-anak seolah tak berkaki. Bahwa membaca adalah kaki-kaki itu. Melalui membaca anak-anak memiliki kaki-kaki yang menuntun mereka berpijak dan menetukan pilihan hidup. Melalui membaca mereka menyejarah, mengubah diri, melawan, dan juga mencintai manusia lain.

Tentu saja menyedihkan apabila sekolah tak berliterasi. Tempat dimana semestinya tradisi membaca dan menulis itu disemai. Perlu usaha keras untuk menjadikan sekolah berliterasi. Anak-anak berliterasi tidak mungkin tanpa guru-guru yang berliterasi pula. Minimnya budaya literasi di sekolah bisa jadi karena guru-guru kita yang gagap literasi.


Guru-guru tak usah latah teknologi dengan menugaskan anak sekolah untuk googling di internet. Lebih baik guru mengajak anak sekolah ke perpustakaan. Bertemu dengan Buya Hamka, Chairil Anwar, dan Pramodya Ananta Toer lewat karya-karyanya. Guru memperkenalkan dan membiasakan tubuh dan jiwa anak-anak hidup sehari-hari bersama buku dan tulisan. Berliterasi di sekolah.