28 Juni 2013

Guru dan Kurikulum Sentralistik

SUDAH SEMESTINYA kita memahami masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh praktik pendidikan hari ini. Bagaimana generasi saat ini dididik merupakan cerminan generasi di masa yang akan datang. Disinilah titik tolak dimana guru memegang peranan penting. Tak berlebihan jika dikatakan hidup matinya bangsa ada di tangan para guru. Akan tetapi apa yang dibangun dalam pendidikan kita justru mendiskreditkan guru, semenjak dalam penyiapan calon guru maupun ketika telah menjadi guru.

Salah satu faktor yang menciptakan kondisi ini adalah kekeliruan persepsi dan pemahaman penyelenggara pendidikan kita mengenai cara membangun sistem pendidikan yang baik. Segala sesuatu perihal pendidikan disikapi dengan pendekatan top down, bukannya bottom up, sehingga sering terjadi disparitas antara kebijakan dengan realitas persoalan pendidikan. Ini pula yang menjadi sebab mengapa guru-guru tak pernah dilibatkan penuh dalam kebijakan pendidikan semisal dalam pembuatan kurikulum. Padahal, guru lah yang tahu benar bagaimana kondisi pendidikan kita, proses belajar di kelas, dan apa persoalannya.

Apa yang terjadi saat ini adalah menyederhanakan persoalan pendidikan dengan menganti kurikulum yang justru merupakan kekeliruan fatal. Ditambah tanpa adanya dasar pedagogis yang jelas maupun evaluasi terhadap kurikulum yang ada (KTSP). Sebab bagaimanapun kurikulum hanyalah sebuah instrumen, kualitas pendidikan itu sendiri nyatanya tetap bergantung bagaimana guru mendidik di kelas. Artinya sebaik apapun kurikulum dibuat, apabila guru tak mampu menafsirkan isi kurikulum dalam pembelajaran dan mendidik dengan baik, akan menjadi percuma.

Pandangan yang keliru ini nampak sekali dalam kebijakan kurikulum baru 2013. Beberapa poin dalam dokumen kurikulum baru sangat menyudutkan posisi guru dan harus dikritisi. Disebutkan bahwa guru- guru tak lagi harus membuat silabus bahkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), materi dan bahan ajar pun nantinya akan dibuat dari pusat sebagai buku babon para guru. Kurikulum nanti bertendensi retrogresif dengan sentralisasi seperti itu.

Dengan mekanisme yang mana semua telah disediakan, disama-ratakan dan dikontrol oleh pusat, Kurikulum 2013 telah melupakan dan meniadakan aspek keindonesian yang beragam. Seakan alpa pada heterogenitas dan diversitas sosiokultural bangsa, para siswa yang berasal dari berbagai suku, ras, budaya, lingkungan agama, dan kelompok masyarakat. Kurikulum tidak menilik ketimpangan antara sekolah yang ada di kota dengan di desa atau daerah.

Untuk menghasilkan praktik pendidikan yang merata, kurikulum harus disusun dengan memberi “ruang gerak” yang lebih luas kepada para guru, tidak dipenuhi dengan perintah- perintah yang seragam dan bersifat mutlak bagi semua guru. Kurikulum juga tidak boleh meniadakan prinsip sosiokultural, sebab bagi seorang guru mendidik merupakan pembudayaan, mendidik sebagai proses humanisasi yang lekat serta tak bisa dipisahkan dari aspek sosiokultural, dan bukan semata upaya mencapai kompetensi- kompetensi akademik yang tercantum dalam kurikulum.

Implikasinya lain adalah kurikulum baru memandang guru semata sebagai pelaksana pendidikan. Dalam pandangan saya ini sama halnya memposisikan guru sebagai tukang. Pekerjaan tukang identik dengan jongos, kacung, sebuah pekerjaan yang cenderung lebih banyak kerja otot, daripada kerja otak. Guru-guru seakan- akan dianggap tak bisa kerja otak, konteknya tak mampu membuat silabus dan RPP, tapi guru hanya pesuruh dantukang ngajar.

Pandangan guru sebagai tukang atau operator ini bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh pedagog kritis Henry Giroux, bahwa guru adalah intelektual transformatif. Kata intelektuamengafimasi bahwa guru adalah pekerjaan cendikiawan, orang yang memiliki kapasitas dalam pengetahuan. Pekerjaan yang tidak tepat untuk disamakan dengan tukang. Sebagai intelektual dalam praksisnya guru tidak sekedar sebagai penyampai, tetapi juga sebagai konseptor dalam membuat perencanaan pembelajaran.

Tugas guru sebagai intelektual transformatif adalah mengubah muridnya dan masyarakat dalam konteks sosial maupun politis, atau dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara, tugas guru adalah untuk memerdekakan. Guru tut wuri handayani membimbing muridnya menjadi manusia yang merdeka, yaitu manusia yang hidupnya lahir dan batin tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.

Penyelenggara pendidikan kita sepertinya tak melihat hal ini. Guru-guru semata dijadikan alat birokratis. Kurikulum baru nanti mengkondisikan guru hanya berpegang kepada apa yang telah ditentukan oleh kurikulum. Dalam keadaan seperti ini sangat sukar bagi guru untuk berinovasi dan mengembangkan pembelajaran yang kreatif-kritis. Dampaknya guru yang tak merdeka, akan melahirkan murid-murid yang tak merdeka pula, dan guru yang kreativitasnya dimatikan akan melahirkan generasi yang miskin kreativitas. Kurikulum yang digadang sebagai turning point jusru akan membawa pendidikan kita ke titik nadir.