5 Desember 2013

Konflik Pasca Orde Baru

Indonesia milenium ini dihadapkan pada beragam tantangan baru yang komplek. Apa yang terjadi dalam masyarakat kita saat ini adalah mencairnya identitas yang membangun negara-bangsa Indonesia. Terjadi pergesaran kekuatan elit kelompok dominan ke kelompok lain yang sebelumnya terdominasi. Semua tak terlepas dari corak demokrasi dan kebebasan yang lahir pasca runtuhnya rezim orde baru. Akan tetapi ini pula yang kemudian memicu lahirnya konflik dan prasangka baru yang nyaris tak terjadi pada era tersebut.

Persisnya konflik pada waktu orde baru sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Periode ini menjadi rezim kekuasaan otoriter yang represif terhadap isu-isu identitas, semua seakan ditabukan melalui “anti-SARA”. Kemajemukan masyarakat kita pun dimanipulasi demi kepentingan-kepentingan politik,  melalui slogan-slogan penguasa yang mengatasnamakan “kesatuan nasional” dan “stabilitas nasional”.

Situasi tersebut seolah runtuh dalam masyarakat indonesia pasca-otoritarian. Berbagai identitas menampilkan diri, terlebih kelompok-kelompok yang menjadi minoritas dan suaranya dibungkam pada Orde baru. Sebut saja kelompok islam radikal, yang sering menyita perhatian dengan aksi sweeping- yang menurut mereka-  tempat maksiat, melalui tindakan yang cenderung anarkis. Lalu penolakan dengan mengatasnamakan agama terhadap kontes kecantikan, tapi bungkam terhadap kontes serupa dengan tajuk “muslimah”.

Itu adalah contoh segelintir kasus yang  menunjukkan usaha dari kelompok pendukung identitas tertentu untuk menampilkan identitas mereka, sekaligus juga memperlihatkan pergesekkan antar identitas dalam masyarakat kita. Ariel Heryanto (2012) mengatakan ada empat kekuatan besar yakni Kejawen, Liberalisme, Islam dan Marxisme, yang membentuk negara-bangsa Indonesia.

Pasca runtuhnya Orba, keempat kekuatan ini seakan saling bersaing, saling curiga dan praksis menimbulkan konflik-konflik yang terjadi sekarang ini. Rezim orba yang menabukan kemajemukan Indonesia telah menciptakan masyarakat masa ini menjadi masyarakat yang antipati dan melakukan pengkotak-kotakan terhadap identitas lain.


Padahal dalam masyarakat global sekarang ini, prasangka terhadap identitas tunggal menjadi suatu barang yang aneh dan problematis. Sebab kita dihadapkan dalam identitas yang saling melekat, sehingga sulit untuk membedakan mana yang barat dan yang timur. Dalam konteks yang lebih luas, tidak ada yang bisa dikatakan sebagai Indonesia asli, lalu yang luar (global) dan yang dalam (lokal), serta ditengah  tumpang tindih identitas lain oleh berbagai lapisan kebudayaan seperti gender, etnis, ras, tuna, dan lain sebagainya.

Sebab Indonesia sendiri lahir bukan dari identitas yang murni-tunggal atas bangsa tertentu. Istilah bangsa punya kaitan dengan sejarah dan leluhur masyarakat pramodern. Tapi Indonesia sebagai negara modern merupakan sesuatu yang baru. Bukan reparasi, reformasi, revisi, atau kelanjutan dari tata sosial yang ada sebelumnya. Merupakan sebuah komitmen pada aspirasi, cita-cita, dan imajinasi untuk menghargai perbedaan yang majemuk dan plural, dengan berbagai identitas dan ragam lapisan kebudayaan yang mengitari masyarakat Indonesia.

Sehingga ketika ada orang atau kelompok yang mengklaim Indonesia sebagai identitas tertentu, negara islam  misalnya, pendapat itu hanyalah klaim politik. Sikap pemurnian identitas semacam itu merupakan sikap yang jumud, yang  memunculkan sikap eksklusif yang berlebihan yang akan berujung pada peminggiran, penolakan, diskriminasi dan pemusnahan terhadap identitas yang lain.