7 Juni 2014

Lelaki Jantan

Beberapa waktu lalu publik disuguhi pernyataan Artis Ahmad Dhani, “Lelaki jantan pilih Prabowo”. Dhani pun menambahkan, kalau tidak pilih Prabowo, patut dipertanyakan kejantanannya. Publik selayaknya memandang itu tidak semata bentuk dukungan Ahmad Dhani terhadap Prabowo sebagai calon presiden. “Lelaki Jantan” tak sekadar bermakna denotatif, tetapi konotatif. Itu menjadi bahasa simbolisasi atas visi, gagasan di baliknya.

Sudah lama “Lelaki jantan” menjadi referensi untuk mengidentifikasi tubuh dan citra maskulin.  Tubuh yang berotot, kekar, menjadi identitas yang dilekatkan sebagai lelaki jantan. Stereotipe bentuk tubuh tertentu berlaku. Ini sesuai dengan tuntutan setiap laki-laki harus mempunyai sikap mental seperti berani, gagah, tegas dan macho.

Bila kita membaca majalah laki-laki seperti majalah Hai, atau melihat iklan-iklan rokok di Televisi, kita akan disodori lelaki jantan ditampilkan sedemikian rupa. Citra lelaki jantan semacam itu juga dianggap dapat ditemukan pada para perwira, prajurit atau tentara. Konstruksi media massa, budaya maupun sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas.

Selain itu budaya maskulin dikonstruksikan, dilembagakan lewat institusi-institusi yang terlibat sehari-hari dalam kehidupan seperti keluarga, sekolah, masyarakat, agama, tempat kerja, sampai kebijakan dan kekuasaan negara. Dalam prosesi itu kita seringkali tidak menyadarinya, dan menerimanya secara sukarela.

Dalam pandangan seperti Ahmad Dhani, Citra lelaki jantan dianggap menjadi penting bagi seorang pemimpin. Gagah, pemberani, tegas menjadi kode-kode sifat kejantanan yang diidentikan dengan pemimpin. Sebaliknya sosok pemimpin yang dicitrakan seperti Ahmad Dhani, tidak menginginkan pemimpin yang bertubuh kurus, kerempeng dan tidak menampilkan tubuh wibawa. Melalui cara pandang semacam itu, imajinasi mengenai pemimpin menjadi imajinasi tentang tubuh, bukan ide atau intelektualitas.

Ahmad Dhani menyatakan sebagai mantan petinggi Kopassus, Prabowo merupakan sosok yang tegas, tidak ada keragu-raguan dalam bertindak. Entah sadar atau tidak disadari oleh Dhani, itu menujukkan “militerisme” yang masih melekat dalam masyarakat kita. Pernyataan Dhani menjadi cerminan masih kentalnya sisa-sisa kekuasaan orde baru mengenai representasi tubuh dalam politik berbahasa.

Generasi saat ini merupakan generasi yang tumbuh dan besar dalam politik berbahasa yang pernah dilakukan Orde Baru. “Penyempurnaan” bahasa menjadi agenda orde baru yang telah merenggut hak rakyat untuk berbahasa. Bahasa “lelaki jantan” tak hanya begitu saja hadir dalam masyarakat kita, melainkan dihadirkan dan dibentuk menjadi bahasa publik. Bahasa “lelaki jantan” menjadi salah satu representasi militerisme yang pernah diusung oleh Orde baru. Kini, kita prihatin dengan generasi yang bergelimang bahasa Orde Baru.


Politik bergantung pada bahasa. Bahasa menjadi representasi politik yang diusung. Bahasa politik yang dipakai oleh Ahmad Dhani menjadi  simbolisasi atas visi, gagasan, serta pilihan politiknya. Publik rasanya tak perlu menanggapi pernyataan Ahmad Dhani dengan sikap reksioner atau sentimentil. Kita tentu boleh sangsi kaitan antara kejantanan dengan memilih pemimpin. Publik semestinya menilai pemimpin atas rekam jejak hidup maupun kepemimpinannya, ketimbang pencintraan bahasa politik semacam lelaki jantan. Begitu.