Beberapa
waktu lalu publik disuguhi pernyataan Artis Ahmad Dhani, “Lelaki jantan pilih
Prabowo”. Dhani pun menambahkan, kalau tidak pilih Prabowo, patut dipertanyakan
kejantanannya. Publik selayaknya memandang itu tidak semata bentuk dukungan
Ahmad Dhani terhadap Prabowo sebagai calon presiden. “Lelaki Jantan” tak
sekadar bermakna denotatif, tetapi konotatif. Itu menjadi bahasa simbolisasi
atas visi, gagasan di baliknya.
Sudah
lama “Lelaki jantan” menjadi referensi untuk mengidentifikasi tubuh dan citra maskulin. Tubuh yang berotot, kekar, menjadi identitas
yang dilekatkan sebagai lelaki jantan. Stereotipe bentuk tubuh tertentu
berlaku. Ini sesuai dengan tuntutan setiap laki-laki harus mempunyai sikap
mental seperti berani, gagah, tegas dan macho.
Bila
kita membaca majalah laki-laki seperti majalah Hai, atau melihat iklan-iklan rokok di Televisi, kita akan disodori
lelaki jantan ditampilkan sedemikian rupa. Citra lelaki jantan semacam itu juga
dianggap dapat ditemukan pada para perwira, prajurit atau tentara. Konstruksi
media massa, budaya maupun sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi
maskulinitas.
Selain
itu budaya maskulin dikonstruksikan, dilembagakan lewat institusi-institusi
yang terlibat sehari-hari dalam kehidupan seperti keluarga, sekolah,
masyarakat, agama, tempat kerja, sampai kebijakan dan kekuasaan negara. Dalam
prosesi itu kita seringkali tidak menyadarinya, dan menerimanya secara
sukarela.
Dalam
pandangan seperti Ahmad Dhani, Citra lelaki jantan dianggap menjadi penting
bagi seorang pemimpin. Gagah, pemberani, tegas menjadi kode-kode sifat
kejantanan yang diidentikan dengan pemimpin. Sebaliknya sosok pemimpin yang
dicitrakan seperti Ahmad Dhani, tidak menginginkan pemimpin yang bertubuh
kurus, kerempeng dan tidak menampilkan tubuh wibawa. Melalui cara pandang
semacam itu, imajinasi mengenai pemimpin menjadi imajinasi tentang tubuh, bukan
ide atau intelektualitas.
Ahmad Dhani menyatakan sebagai mantan petinggi Kopassus,
Prabowo merupakan sosok yang tegas, tidak ada keragu-raguan dalam bertindak. Entah sadar atau tidak disadari oleh Dhani, itu menujukkan
“militerisme” yang masih melekat dalam masyarakat kita. Pernyataan Dhani
menjadi cerminan masih kentalnya sisa-sisa kekuasaan orde baru mengenai
representasi tubuh dalam politik berbahasa.
Generasi
saat ini merupakan generasi yang tumbuh dan besar dalam politik berbahasa yang pernah
dilakukan Orde Baru. “Penyempurnaan” bahasa menjadi agenda orde baru yang telah
merenggut hak rakyat untuk berbahasa. Bahasa “lelaki jantan” tak hanya begitu
saja hadir dalam masyarakat kita, melainkan dihadirkan dan dibentuk menjadi
bahasa publik. Bahasa “lelaki jantan” menjadi salah satu representasi
militerisme yang pernah diusung oleh Orde baru. Kini, kita prihatin dengan
generasi yang bergelimang bahasa Orde Baru.
Politik
bergantung pada bahasa. Bahasa menjadi representasi politik yang diusung. Bahasa
politik yang dipakai oleh Ahmad Dhani menjadi simbolisasi atas visi, gagasan, serta pilihan politiknya.
Publik rasanya tak perlu menanggapi pernyataan Ahmad Dhani dengan sikap
reksioner atau sentimentil. Kita tentu boleh sangsi kaitan antara kejantanan dengan
memilih pemimpin. Publik semestinya menilai pemimpin atas rekam jejak hidup
maupun kepemimpinannya, ketimbang pencintraan bahasa politik semacam lelaki
jantan. Begitu.