28 Juni 2014

Museum . . .

Baru saja kita disuguhi agenda pendeklarasian Calon Presiden dan Wakil Presiden. Kita memiliki dua poros, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Jokowi mengunakan museum Joang 45 untuk menyatakan dirinya maju sebagai calon presiden. Pemilihan museum punya makna lebih. Kita mendapati ada politik ruang dalam momentum deklarasi. Museum mendadak tak sekadar memiliki nilai sejarah, budaya intelektual, atau ilmu pengetahuan. Museum tiba-tiba memiliki nilai politis.

Gedung Joang 45 adalah bekas Hotel Schomper milik pengusaha Belanda, tetapi diambil alih oleh para pejuang untuk menggelar pendidikan politik bagi para pemuda. Pihak Jokowi menyatakan, deklarasi sengaja mengambil tempat di Gedung Joang untuk mewarisi semangat perjuangan tokoh pemuda “menteng 31” seperti Sukarni, Chairul Saleh, BM Diah, dan Adam Malik. Ada propaganda politik ingatan yang hendak mengesankan kepada publik bahwa Jokowi mengusung “berjuang” dalam jiwa nasionalisme. Upaya menegaskan ke publik, Jokowi adalah “pewaris” Soekarno.

Kita mendapati gejala pergeseran makna yang melekat pada museum. Kita ingat, menilik sejarah museum di Indonesia, tak terlepas campur tangan pemerintah Belanda di masa penjajahan. Museum sebagai ruang adalah ide masyarakat Eropa. Bangsa ini tak mengenal museum sebelumnya. Masyarakat tradisonal kita “mengawetkan”  kejayaan raja-raja dan artefak kerajaan dengan membangun candi-candi. Museum baru kita temukan di tahun-tahun awal abad XX.

Tahun-tahun yang lalu, museum menjadi ruang penyimpanan ingatan sejarah; ilmu pengetahuan, seni, sastra, intelektualitas. Kita menemukan patung, lukisan, buku, dan benda-benda yang dianggap bernilai sejarah, kesenian dan kesusastraan. Masyarakat Eropa mengunjungi museum untuk menghadirkan gairah renaissance, heroisme masa lalu. Ingatan akan kesadaran sejarah sengaja dihadirkan oleh museum. Museum sebagai ruang bergelimang ingatan masa lalu sekaligus letupan harapan pada masa mendatang. Museum adalah simbolisme wisata budaya peradaban manusia.



Dari kilas balik itu kita kehilangan romantisme museum di zaman mutakhir ini. Kini, museum adalah ruang sepi minim pengunjung. Wisata museum kalah bersaing dengan bioskop, mall, dan wahana-wahana rekreasi. Kita mulai meninggalkan museum, yang artinya meninggalkan pula sejarah peradaban bangsa ini. Nalar ruang mengantikan nalar historis, masa lalu menjadi imajinasi ketertinggalan yang usang, kuno, dan primitif. Sementara kita menginginkan kehidupan penuh fantasi, pop dan modernis.

Nalar mengubah pandangan mengenai ruang, terhadap museum. Saat ini museum lebih identik dengan nalar rekreasi seperti sesi foto-foto. Patung dan lukisan di museum semata frame atas kemewahan dokumentasi digital. Ketika dalam memori ruang kita dapat mengingat ataupun melupakan, memori kita terhadap museum-museum lebih banyak lupa ketimbang ingat. Museum menjadi pengingat tanpa ingatan. Museum telah lama ditinggalkan publik.


Lalu tiba-tiba museum diangkat dalam kancah politik. Agenda pendeklarasian calon presiden dan wakil presiden menggunakan ruang museum menjadi siasat politik simbolis. Museum menjelma dekorasi politik Jokowi. Museum Joang yang jarang kita sebut tiba-tiba publik membicarakannya. Publik seolah diajak kembali menenggok museum. Tetapi bukan dalam ingatan akan peradaban, melainkan ingatan politik.