30 Juni 2014

Bis dan Imajinasi Kota

Bus kota menjadi tontonan warga kota sehari-hari. Deru mesin, kepulan asap knalpot mengisi ruang kota yang bising. Di sisi lain, bus menjadi imajinasi ruang kota, menyajikan pemandangan akan gairah pembangunan. Bus-bus yang berseliweran di tengah kota semacam pemenuhan kebutuhan untuk kepentingan transportasi. Warga kota membayangkan sebuah mesin yang dapat mengantarkan berapa puluh orang mengelilingi kota, menelusuri jalanan rata beraspal, menikmati gedung-gedung bertingkat menjulang ke langit.

Imajinasi seperti itu pula sebagai awal kemunculan bus kota, yakni metromini di Jakarta. Keberadaan metromini tak terlepas dari pesta olahraga negara-negara berkembang, GANEFO, yang digagas Sukarno, tahun 1962. Sukarno memerintahkan pengadaan metromini yang saat itu disebut bus merah untuk mengangkut atlet dari berbagai negara. Sukarno berambisi  menyulap kota. Bus termasuk dalam proyek impian Sukarno: ibu kota yang modern, dengan bus-bus yang mengantarkan warga kota menikmati sebuah perjalanan kota metropolis.

Angkutan publik adalah pesona lain dari bus dalam imajinasi kota. Sebagai angkutan publik, tentu semua lapis warga kota dapat menggunakan bus kota. Tak padang bulu siapa: anak-anak, tua maupun muda. Tak pandang kelas: anak sekolah, penjual sayur, karyawan, pegawai negeri, maupun pejabat kota. Bus kota memungkinkan pertemuan berbagai wajah warga kota. Bus kota adalah ruang imajiner sebuah masyarakat inklusif.

Saat ini, imajinasi tentang perjalanan di kota, pesona dan keramahan menaiki bus, kita tidak mengalami itu semua. Tetapi kita menghadapi bus kota yang lain. Tak ada tegur sapa, tetapi saling sikut berebut tempat. Mata harus awas sebab pencopet di mana-mana. Kemacetan di setiap penjuru kota membuat kita ingin buru-buru turun dari bus kota. Perjalanan menggunakan bus kota adalah perjalanan yang melelahkan, jauh dari rasa aman apalagi nyaman. Jelas bukan perjalanan kota seperti impian Sukarno.

Beberapa tahun lalu, ada lagu terkenal berlirik, “Bus kota sudah miring ke kiri oleh sesaknya penumpang, aku terjepit di sela-sela ketiak penumpang yang bergantungan. Suasana bus kota tersebut terekam dalam lagu Franky Sahilatua, Bus Kota, pada 1990-an. Franky lewat lagu-lagu baladanya memang gemar “bercerita” mengenai kehidupan orang sehari-hari. Lagu Bus Kota mengambarkan suasana dalam bus kota di Surabaya, yang panas dan berdebu. Walau telah puluhan tahun, Bus Kota tetap kontekstual hingga kini.



Dengan judul lagu yang sama Bus Kota (1990), Ahmad Albar juga “memprotes” bus kota yang jauh dari imajinasi kota metropolis. Lirik Bus Kota seperti: berlarian mengejar bus, bus tanpa pedingin, berdesak-desakan dengan aroma tak karuan. Suasana yang sampai sekarang terus kita hadapi. Ahmad Albar pun dengan lirik yang begitu peka mengambarkan para penumpang bus kota yang seakan tak memiliki pilihan: Serba salah, nafasku terasa sesak, berhimpitan, berdesakan, bergantungan. Memang susah, jadi orang yang tak punya, kemanapun naik bus kota.”

Meskipun bus kota menjadi angkutan publik, tetapi bus kota pada kenyataannya diperuntukan bagi warga kota yang tak punya pilihan lain. Sebab orang tentu tak akan mau menaiki bus kota yang cenderung tak manusiawi itu. Persis seperti lirik lagu Ahmad Albar, penumpangnya adalah orang-orang dengan kantong minim. Dalam bus kota, kita temukan wajah warga kota pinggiran. Imajinasi tentang warga kota yang inklusif seolah urung dengan kendaraan pribadi yang berjejal di jalanan kota.

Ada pengharapan ketika hadirnya busway sebagai tontonan baru di kota. Tetapi busway pun nyatanya sebuah proyek “terapi kejut” untuk menyembuhkan kekecewaan warga kota pada bus kota dan kemacetan. Busway menjelma simbol budaya politik negara untuk mendapatkan legitimasi, tak lebih usaha kekuasaan dalam membentuk identitas penumpangnya: menata dan mendisiplinkan warga kota (Abidin Kusno, 2009).


Padahal busway menjanjikan imajinasi kemenanggan warga kota pinggiran. Busway memberi perasaan sekelas lebih tinggi daripada bus-bus kota lain. Membuat penumpang merasa berbeda dari sekelilingnya ketika di tengah kemacetan ia berjalan tanpa hambatan di sepanjang jalur khusus. Busway menawarkan perasaan superior bagi penumpangnya. Mengantarkan warga kota pinggiran pada imajinasi naik kelas. Mungkin saja.