30 September 2014

Politik Bergantung Bahasa



Semenjak dulu politik bergantung pada bahasa. Kata, istilah, kalimat, ungkapan yang hadir dalam politik menciptakan persepsi dan tafsir pada ruang publik. Lewat bahasa kita dapat menafsir politik hendak diarahkan pada demokrasi, keadilan atau politik bermisi kehausan atas kekuasaan. Kita bergelimang bahasa politik dalam agenda pemilihan umum saat ini. Pelbagai kampanye politik memenuhi surat kabar, televisi, dan media sosial. Bahasa menjadikan ruang publik penuh sesak dengan politik.

Kita mengingat Soekarno pernah menjadi orator sangar dalam pidato-pidato penuh bergelora. Orasi “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” pernah menjadi cermin politik “revolusi” Soekarno yang anti kapitalisme Barat. Bagi pemimpin besar revolusi, Pidato menjadi referensi politik. Istilah dan ungkapan seperti Nasakom, Jas merah, Berdikari menjadi bahasa orisinilnya. Bahasa menjadi senjata politik paling ampuh bagi Soekarno.

Lain hal dengan Soeharto, bahasa pernah menjadi alat politik anti-politik era Orde Baru. Oleh Soeharto, “revolusi” diganti dengan “pembangunan”, haluan “politik” berubah “ekonomi”. Kata “pemuda” yang bermakna subversif diganti dengan kata “remaja” yang bersifat kekanak-kanakan. Melalui politik bahasa EYD, Orde Baru berkepentingan menghilangkan ingatan Orde Lama. EYD tak semata ejaan yang disempurnakan, melainkan politik edjaan pengalihan sedjarah.

Bahasa terus direproduksi, dihadirkan,disebarkan, lalu dilekatkan. Bahasa menjadi referensi politik setiap zaman. Tetapi bahasa juga selalu menjadi antitesa politik. Pasca reformasi, kita berulang-ulang disuguhi oleh para pemimpin negeri ini dengan kata-kata seperti perubahan, perbaikan, kesejahteraan, demokrasi, keadilan dan Hak Asasi Manusia. Bahasa semacam itu semakin sering kita dengar, lihat, dan baca dari kampanye sekarang ini.

Hari-hari penuh sesak bahasa kampanye. Masing-masing kubu melontarkan kata-kata kampanye. Tidak hanya ide, misi, dan program kedepan, kita mendapati bahasa sindiran, cemooh, bahkan fitnah. Fakta dan data disetir untuk pihak yang dibela, persepsi dibentuk dan digiring pada salah satu kubu yang didukung. Kita kecewa, ruang publik justru lebih banyak dijejali kampanye hitam miskin nalar. Lebih sering bahasa arogan ketimbang bahasa intelektual.

Sejarah mengingatkan, bahasa bermakna politis. Kita tidak memilih pemimpin yang bergelimang bahasa politik sindiran, cemooh pada lawan politiknya. Kita pun sudah cukup jemu dengan sofisme retorika bahasa kampanye penuh klise. Kita menginginkan hadirnya bahasa politik yang membumi, konkret, hidup dan dekat dengan persoalan rakyat. Memilih pemimpin dapat kita lihat dari kata, istilah, kalimat, dan ungkapan yang hadir dalam debat, surat kabar, televisi dan media sosial. Sebab, sekali lagi politik memang bergantung pada bahasa.