12 Oktober 2014

Kabinet Hikmat-Kebijkasanaan




Mohammad Hatta, pernah berkata: “Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu condition sine qua non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin.” Ungkapan ini tegas dan lugas, seruan otokritik bagi tiap pemimpin. Hatta berkeras pandangan, kalau pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, ia tidak dapat memenuhi kewajibannya. 

Kita ingin memunculkan kembali memoar Hatta itu dalam pembentukan kabinet Jokowi. Berita-berita tentang kabinet Jokowi mulai merepotkan publik. Pemilihan menteri bakal menimbulkan kecewa dan pengharapan. Jokowi telah dinilai sebagai pemimpin yang menjanjikan kebaharuan politik atas rekam jejaknya. Sebaliknya publik akan kecewa apabila Jokowi jatuh dalam percaturan politik lama yang penuh transaksional.

Publik mendambakan kabinet hikmat-kebijaksanaan. Kita menantikan ketetapan hati atas politik revolusi mental yang menjadi misi Jokowi. Pengharapan kabinet profesional tak lain berisikan tokoh-tokoh yang berjiwa kuat. Bukan orang-orang yang biasa membungkuk, bukan menteri berjiwa bimbang, dengan gelagat mudah jatuh pada nafsu kekuasaan dan kesempatan mengambil alih hak rakyat.

Jokowi memang berada dalam posisi dilematis. Jokowi membutuhkan sokongan partai politik pendukungnya di pemerintahan maupun “mengamankan” kekuatan di parlemen. Tapi dalam politik kita, “tak ada makan siang gratis”. Tidak ada yang cuma-cuma atas sokongan politik. Kita pun pantas curiga pada menteri sodoran partai politik yang selama ini sarat pamrih. Idealisme ketokohan Jokowi diuji juga dimintai keteguhan iman.

Hatta pernah mengingatkan, dimana ada pertentangan yang hebat antara berbagai kepentingan, dimana ada golongan yang menindas dan ditindas, di situ sukar didapat persaudaraan. Saat itu Hatta gusar dengan egoisme para elit pantai politik PNI, Masyumi, NU dan PKI. Keempat partai politik penguasa parlemen itu saling jegal demi melenggangkan kepentingan golongan. Arogansi partai politik itu membuat usia kabinet Orde Lama tak pernah berumur panjang.

Sumbu dari seribu perkara politik adalah libido kekuasaan. Seolah kita memiliki sejarah panjang berkaitan adu politik penuh arogansi tanpa keteladanan. Kita tidak menginginkan kabinet Jokowi terjebak pada sejarah serupa. Yudi Latif (2014) dalam buku Mata Air Keteladanan, memuat kisah perumusan Piagam Jakarta, yang “menyegarkan” kita atas mata air keteladanan dalam pengamalan kerakyatan yakni pepesan untuk memimpin dengan hikmat kebijaksanaan.

Jokowi memiliki pilihan untuk menginsafi orintasi etis hikmat-kebijaksanaan dalam memilih menteri di kabinetnya. Melalui pembentukan kabinet yang didasari rasionalitas, kearifan rasa kemanusiaan, dan komitmen keadilan yang bereferensi keberpihak dan pengabdian pada rakyat. Publik menanti kabinet kerja, mendambakan kabinet yang memuliakan rakyat.

*dimuat di koran sindo sabtu, 11 oktober 2014