28 Oktober 2014

Sekolah di Tepi Pendidikan




Sekolah pernah menjadi perlambang terbitnya terang, munculnya zaman bergerak,  kelahiran elit modern. Orang ingin sekolah, orang ingin mengubah nasib. Aksentuasi sekolah selalu dikaitkan dengan angan meraih cita, memperbaiki status sosial, memartabatkan diri. Bersekolah adalah ruwatan atas kemelaratan dan kebodohan. Sekolah demi melek aksara, untuk memuliakan huruf.
Barangkali berkah terbaik yang diberikan sekolah adalah kesadaran. Pengetahuan mungkin saja coba dibentuk, diproduksi, disebarkan lewat sekolah mengejawantah kepentingan guru, kepala sekolah, menteri pendidikan, pemangku kebijakan pendidikan. Sekolah selalu bermisi kekuasaan. Sekolah kolonial diadakan demi kebutuhan tenaga perah terdidik untuk menyokong pemerintah Hindia Belanda. Sekolah Orde Baru pun melakukan hal serupa. Setiap kebijakan pendidikan tak lain manifestasi “pembangunanisme” Orde Baru.
Tetapi sekolah adalah pisau bermata dua. Mengajari seseorang membaca seperti seorang tuan hendak melepas sahaya-nya. Memberi pintu terhadap pengetahuan, pada buku-buku dan literasi memungkinkan munculnya kesadaran, penolakan, perlawanan seorang individu maupun kolektif.
Goenawan Mohammad (2011) memandang praktik pendidikan kolonial dulu adalah contoh paling mudah atas upaya politik “mimikri” lewat sekolah yang gagal. Sekolah justru melahirkan kesadaran kebangsaan. Sekolah menjadi titian awal menapak angan komunitas berbayang seperti yang diungkap Benedict Anderson (1983). Konon, alam pikir modern yang berwawas kebebasan dan kemerdekaan itu lahir dari kemelekan huruf yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Kini awal abad XXI ini jauh lebih banyak orang yang dapat membaca menulis ketimbang yang masih buta huruf. Tiap tahun pemerintah memaparkan dan memperbaharui data statistik indeks kelompok buta huruf yang terus mengecil. Tetapi kita sangsi apakah itu menjadi bukti Indonesia telah beraksara? Apakah membaca buku telah menjadi kemuliaan hidup bagi sebagian besar orang yang sudah “terberantas” buta huruf itu?
Kita menyadari melek huruf tidak diartikan semata ketika seseorang dapat membaca sebuah teks; misalkan buku pelajaran. Melek huruf berarti melakukan kerja cendikiawan; membaca tidak sekedar usaha gramatikal atau semantikal yang badaniah, tetapi upaya politik, budaya, intelektualitas, religiositas.
Sekolah tidak lagi bermisi literasi. Di kota-kota, orang dilarang sekolah apabila belum dapat membaca dan menulis. Sekolah mirip ajang seleksi. Orang yang ingin belajar dianggap peserta yang harus memenuhi persyaratan dan aturan. Sekolah menjadi tragedi pendidikan kita yang berseberangan dengan nalar edukasi.
Wajah sekolah mutakhir adalah keprihatinan terhadap pendidikan kita. Imajinasi sekolah telah bergeser digerus zaman. Ingatan sekolah disesaki represi ujian, dihantui PR, dibebali materi dan soal LKS. Sekolah menjadi ruang imperialis kapitalisasi pendidikan kita. Bersekolah menjelma melemparkan diri masuk ke dalam pabrik penghasil ijazah, gelar, profesi.
Ikhtiar berangkat ke sekolah berubah. Orang ingin bersekolah, orang ingin pamer diri. Anak-anak diantarkan ke sekolah untuk adu gengsi: telepon genggam, merk sepatu, kendaraan yang dibawa ke  sekolah. Pendidikan adalah ruang menebar benih pamrih: martabat, asal-usul, status sosial, gaya hidup. Kita lengah mengurusi pendidikan. Kini sekolah di tepi pendidikan. Miskin ilmu, miskin buku.

Arah dan Angan
Bagaimana semestinya arah dan tujuan sekolah? Sebuah pekikan kata yang telah berulang kali diserukan pada pelbagai seminar, ruang akademik, pidato kenegaraan, televisi, koran, media. Ini pula yang dimunculkan dalam diskusi kurikuLAB oleh Serrum, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 18 Oktober lalu. Obrolan menghadirkan diantaranya Yuli Prasetyo kepala sekolah anak berkebutuhan khusus Talenta, Lestia Primayanti kepala sekolah Kembang, Bandung Mawardi esais pendidikan Bilik Literasi, Solo.

Lewat diskusi wagu di sebuah meja, arah dan tujuan sekolah diobrolkan, didiskusikan, dan coba digagas ulang oleh kepala sekolah, guru, penulis, aktivis pendidikan, dari berbagai latar sekolah. Kita gusar, kepelikan masalah pendidikan tumbuh di sekolah meski berakar dari pelbagai hal. Sekolah selalu menjadi ruang penghakiman pendidikan kita.
Diskusi berkisar pada pendangkalan pemaknaan belajar. Belajar tidak ingin diartikan sebagai mengerjakan soal dan ujian. Belajar bukan ajang kompetisi demi gapaian rangking kelas dan prestasi. Belajar tidak bertendensi ruang labelisasi si Pintar dan si Bodoh. Belajar coba direka, didefinisikan ulang.
Kekeliruan pemaknaan belajar dapat kita telusuri lewat bahasa, pakaian, buku yang digunakan dan dihadirkan di sekolah. Dari ucapan, anjuran, perintah, aturan yang dikeluarkan guru-guru dan para pemangku kebijakan sekolah. Ideologisasi sekolah dilakukan dengan sadar maupun tidak disadari.
Bereferensikan jejak sejarah pendidikan, Bandung Mawardi berorasi kalau praktek ideologisasi dapat ditelusuri lewat bahasa yang dipakai di buku-buku pelajaran. Buku-buku pelajaran tahun 50-an berjudul seperti “Bahagia”, “Cahaya”, “Matahari”. Pilihan kata yang dipakai menjadi tafsir bagaimana belajar dimaknai di zaman itu. Judul buku bergelimang imajinasi kebahagiaan. Kini, buku-buku pelajaran dipenuhi pelbagai kata, “Sukses”, “Kiat”, “Bank Soal”. Maka belajar dibentuk sebagai angan kesuksesan material, merujuk pada nalar berprofesi.
Bandung Mawardi mengungkapkan pendangkalan makna belajar nampak bagaimana kita berulang kali mengganti istilah, “murid”, “siswa-siswi”, lalu “peserta didik”. Istilah peserta mengangankan sekolah mirip sebuah agenda. Padahal dulu kita pernah memakai istilah “pelajar” yang lebih rekat dengan “belajar”. Pendidikan bergantung pada bahasa. Kata, istilah, kalimat, ungkapan yang dipakai menciptakan imajinasi dan tafsir kita mengenai belajar dan pendidikan.
Sekolah di abad XXI menghadirkan keprihatinan. Sekolah mengejawantahkan pendidikan kita yang disesaki ide industrialiasi. Sekolah tak hanya berkah, tetapi juga duka. Semenjak dulu sekolah penuh resiko dan polemik. Kita patut menyimak salah satu isi manifesto pendidikan atas Usulan Paidea, Mortimer J. Adler (1982): Sekolah memang tak dapat mengambil alih tanggung jawab pendidikan. Penyekolahan hanya sebagian dari pendidikan.