6 Februari 2014

Bencana, Media, Disabilitas

Kita prihatin berbagai bencana alam silir berganti mengisi media kita. Dari banjir di Jakarta, Manado dan berbagai daerah, meletusnya gunung Sinabung dan terakhir gempa bumi di Kebumen. Berbagai media menyuguhkan kita bagaimana bencana merendam dan menghancurkan rumah-rumah penduduk. Menunjukkan lokasi-lokasi dan kondisi para korban dari bencana alam tersebut.

Media memang memilki posisi penting dalam terbentuknya demokrasi dan keadilan di negara ini. Lewat sokongan informasi media berbagai bantuan akhirnya dapat diupayakan di tempat-tempat terjadinya bencana. Namun ada hal yang seringkali luput dan jarang media kita suarakan, yakni adanya korban bencana yang menyandang “identitas baru” sebagai seorang disabilitas.

Akibat dampak bencana alam, masyarakat bisa menjadi korban meninggal dan luka. Bagi mereka yang luka, tidak sedikit dari mereka yang mengalami patah tulang, benturan keras pada kepala, dan hal-hal lain yang mengakibatkan kondisi fisik maupun psikis mereka mengalami kekurangan maupun hambatan. Mereka itulah kemudian yang menyandang disabilitas.

Jika kita perhatikan bencana alam yang terjadi di berbagai negeri, kita bisa membayangkan betapa besar resiko kemungkinan meningkatnya jumlah penyandang disabilitas baru. Namun sayangnya ini minim sekali perhatian dari pemerintah maupun LSM untuk mendatanya. Sehingga bisa dipastikan tak banyak upaya kita untuk memperhatikan mereka, baik pasca bencana maupun bagaimana memikirkan keberlanjutan hidup para penyandang disabilitas.

Kita punya tanggungjawab untuk menyuarakan nasib, mengupayakan hak para korban bencana yang menjadi penyandang disabilitas. Mengenai akses pekerjaan, kesehatan, maupun pendidikan. Selain itu bertambahnya jumlah penyandang disabilitas berimplikasi terhadap meningkatkan kebutuhan aksesibilitas.

Penting memahami, ketidakmampuan seseorang untuk berjalan merupakan kekurangan fisik, tetapi ketidakmampuan untuk memasuki gedung karena tangga yang tidak aksesibel merupakan suatu kondisi disabilitas. Gangguan penglihatan adalah kekurangan fisik, tetapi dianggap tidak dapat melakukan pekerjaan yang sebenarnya dapat dibantu dengan modifikasi adalah bentuk halangan sosial dan politis.


Wacana disabilitas adalah persoalan ada tidaknya political will. Pemerintah, media, maupun masyarakat kita perlu berpikir untuk memandang penyandang disabilitas bukan sebagai tragedi personal. Mereka menjadi disabilitas bukan karena kondisi fisik mereka, tetapi karena kondisi di luar diri mereka yang membuat mereka terhambat (disable). Dengan begitu hak-hak mereka tidak akan terus terabaikan.