Kita
prihatin berbagai bencana alam silir berganti mengisi media kita. Dari banjir
di Jakarta, Manado dan berbagai daerah, meletusnya gunung Sinabung dan terakhir
gempa bumi di Kebumen. Berbagai media menyuguhkan kita bagaimana bencana
merendam dan menghancurkan rumah-rumah penduduk. Menunjukkan lokasi-lokasi dan
kondisi para korban dari bencana alam tersebut.
Media
memang memilki posisi penting dalam terbentuknya demokrasi dan keadilan di
negara ini. Lewat sokongan informasi media berbagai bantuan akhirnya dapat
diupayakan di tempat-tempat terjadinya bencana. Namun ada hal yang seringkali
luput dan jarang media kita suarakan, yakni adanya korban bencana yang
menyandang “identitas baru” sebagai seorang disabilitas.
Akibat
dampak bencana alam, masyarakat bisa menjadi korban meninggal dan luka. Bagi
mereka yang luka, tidak sedikit dari mereka yang mengalami patah tulang,
benturan keras pada kepala, dan hal-hal lain yang mengakibatkan kondisi fisik
maupun psikis mereka mengalami kekurangan maupun hambatan. Mereka itulah
kemudian yang menyandang disabilitas.
Jika
kita perhatikan bencana alam yang terjadi di berbagai negeri, kita bisa
membayangkan betapa besar resiko kemungkinan meningkatnya jumlah penyandang
disabilitas baru. Namun sayangnya ini minim sekali perhatian dari pemerintah
maupun LSM untuk mendatanya. Sehingga bisa dipastikan tak banyak upaya kita
untuk memperhatikan mereka, baik pasca bencana maupun bagaimana memikirkan
keberlanjutan hidup para penyandang disabilitas.
Kita
punya tanggungjawab untuk menyuarakan nasib, mengupayakan hak para korban bencana
yang menjadi penyandang disabilitas. Mengenai akses pekerjaan, kesehatan,
maupun pendidikan. Selain itu bertambahnya jumlah penyandang disabilitas berimplikasi
terhadap meningkatkan kebutuhan aksesibilitas.
Penting
memahami, ketidakmampuan seseorang untuk berjalan merupakan kekurangan fisik,
tetapi ketidakmampuan untuk memasuki gedung karena tangga yang tidak aksesibel
merupakan suatu kondisi disabilitas. Gangguan penglihatan adalah kekurangan
fisik, tetapi dianggap tidak dapat melakukan pekerjaan yang sebenarnya dapat
dibantu dengan modifikasi adalah bentuk halangan sosial dan politis.
Wacana
disabilitas adalah persoalan ada tidaknya political
will. Pemerintah, media, maupun masyarakat kita perlu berpikir untuk
memandang penyandang disabilitas bukan sebagai tragedi personal. Mereka menjadi
disabilitas bukan karena kondisi fisik mereka, tetapi karena kondisi di luar
diri mereka yang membuat mereka terhambat (disable).
Dengan begitu hak-hak mereka tidak akan terus terabaikan.