2 Maret 2012

Surat[*]



Membongkar benda-benda berharga yang sudah lama kita simpan rapat-rapat, atau membaca kembali lembaran cacatan usang selalu menghadirkan cerita tersendiri. Karena dari situ; kita seringkali menemukan hal-hal kecil berupa surat-surat penting, benda-benda rahasia, foto-foto orang yang kita sayangi, sampai terkadang uang logam 25 perak pun ikut terselip. Lantas, kita bernostalgia, tentang kisah-kisah terdahulu. tanpa sadar kita pun tersenyum, tertawa sendiri, mengingat hal konyol yang pernah kita lakukan, atau malah sedih ketika mengenang masa lalu kita yang pahit.
Setidaknya, itu yang saya alami ketika packing. Dimana kondisi memaksa saya harus angkat koper dan ‘pulang’ lebih awal. Pula, menunda sejenak mimpi-mimpi kecil saya. Ya, idealisme kita seringkali bertolakbelakang dengan realitas yang ada. Padahal saya pun tak lebih dari lelaki tanggung kebanyakan, yang seringkali dikuasai oleh idealisme dan mimpi-mimpi konyol; Harus tetap bahagia walau hari esok agak terlihat kabur, tak cemburu ketika tahu IP kawan-kawan semester ini ternyata lebih tinggi, selalu mendukung Liverpool walau tidak masuk liga champions musim depan, dan yakin bisa melanjutkan study S2 di luar negeri meski bahasa inggris saya payah.
Akan tetapi, entah kenapa belakangan saya menjadi sosok yang negatif dalam menyikapi hidup. Ragu apakah ‘kebahagiaan’ itu benar-benar ada atau hanya idealisme semu manusia. bisa jadi akibat membaca novel galau: perang, yang saya pinjam dari kawan yang baik hati. Kini, saya sinin dengan petuah Plato bahwa untuk bahagia kita harus mengabaikan diri. Padahal I will never walk alone. Dan jika seperti itu, bukankah saya juga harus mengabaikan orang lain? Mengabaikan ‘keringat’ orangtua dan kakak-kakak saya? mengabaikan masa depan adik-adik saya?. Pada ujungnya saya lebih percaya dengan perkataan Sigmun Freud bahwa sejatinya manusia itu dikuasai oleh ego-nya, ‘sadar’ dengan realitas yang ada. Lantas saya memilih melanjutkan acara packing daripada terperosok dalam kegalauan yang absurd.

Saya tersenyum geli ketika menemukan nametag MPA dulu yang bertuliskan “cita-cita saya adalah menjadi menteri pendidikan”. Tapi hanya tersenyum getir ketika melihat ijazah SMA yang ‘kotor’ itu. Dan memilih melupakannya ketika asik bernostalgia pada pergulatan nasib agar bisa kuliah, saat membaca koran sindo yang mencantumkan nama saya sebagai peserta yang lolos SNMPTN 2010. Sejurus kemudian, saya teringat kenapa akhirnya memutuskan masuk Lembaga Kajian Mahaiswa UNJ. Itu semua berawal dari ‘buku paduan mahasiswa baru 2010’ yang isinya memikat hati.
Agaknya, saya terbuai dengan kata-kata. Bahwa LKM itu organisasi penalaran yang akan membekali anggotanya dengan kemampuan retorika, presentasi, moderasi, orasi, diskusi, pembawa acara, debating, persidangan, analisis berfikir, dan hal-hal ‘ajaib’ lainnya. Diceritakan pula pelbagai kegiatan yang ada di LKM; Kajian reboan, Endy Barenz, Distrik (diskusi interaktif), kajian X-tra, DAKU Besar (bedah buku besar), DAKU rutin (bedah buku rutin), P2E KREATIS (pelatihan Penulisan Esai kreatif dan kritis), WALIS (wajib nulis), Jurnal LKM, Pelatihan penulisan dan presentasi ilmiah, profesional MC, visit to TV station, Public speaking, dsb.
Hingga saya sadar kalau sudah hampir setahun belajar dan berproses di LKM. Yang juga memaksa saya untuk merefleksikan kembali apa yang telah saya peroleh. Apakah sudah pandai beretorika, jago dalam debat dan diskusi, pula pintar membuat karya tulis, esai ataupun feature. Pun, merasa merinding ketika membaca brosur LKM yang berisi sederet prestasi-prestasi yang telah diukir para pendahulu saya. Dan memilih bertanya dalam hati, apakah tulisan saya sudah layak untuk ditempel di mading LKM atau kampus?. Tapi saya enggan untuk menjawabnya. Setidaknya untuk saat ini. Lantas diam-diam saya baca note-note facebook usang para senior LKMers yang akhirnya cukup menenangkan hati. karena dari situ ada seberkas pencerahan bahwa ‘berproseslah dengan hati yang bersih Nak!’
Sayapun menyadari bahwa LKM tak seutuhnya sama dengan yang dituliskan di ‘buku panduan mahasiswa baru 2010’. Tak menenjumpai lagi Distrik (diskusi interaktif), DAKU Besar (bedah buku besar), DAKU rutin (bedah buku rutin), P2E KREATIS (pelatihan Penulisan Esai kreatif dan kritis), atau Pelatihan penulisan dan presentasi ilmiah. Tapi anehnya, tak merasa dibohongi atau kecewa. Perlahan saya pun mulai memahami, Kini; LKM dengan dinamikanya telah bertransformasi.
LKM saat ini -setidaknya dalam pandangan saya- selayaknya menjalani sebuah metamorfosis kupu-kupu. Kepengurusan ka Tengku adalah fase mula, peralihan dari ulat ‘gemuk’ menjadi sebuah kepompong. Masa dimana muncul pemikiran revolusioner membuat Jurnal, kreatis pemula maupun ‘wajah’ LKM kedepan. Berlanjut kepengurusan ka Babe sebagai fase pupa, yakni LKM dalam bentuk ‘kepompong’. Masa dimana LKM ‘dari luar’ terlihat ‘vakum’, tapi ‘didalam’ pupa LKM tengah terjadi proses penggodokan jurnal dan kreatis. Terus meruntut pada masa kepengurusan Ka anto, yakni fase perubahan kepompong LKM menjadi kupu-kupu cantik, yang nantinya ditandai dengan dengan terbitnyanya ‘jurnal daksinapati’, kreatis ‘Landmark jakarta’, dan buletin kaji ‘spesial’.
kemudian dalam proses metamorfosisnya, LKM bukannya tanpa aral dan keriki kecil. Selalu ada bisikan-bisikan lirih yang terkadang melemahkan. Pula, ruang belajar yang makin sepi dan tidak produktif. Ya, perubahan itu selalu dihadapkan antara apakah berani menatap masa depan dengan segala resiko yang ada, atau memilih mundur untuk kembali berkutat pada kondisi. Charles Darwin pernah mengingatkan bahwa “Bukanlah spesies yang paling kuat atau paling cerdas yang mampu survive, tapi mereka yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahan.” Idealisme LKM dengan setumpuk mimpinya berupa jurnal, kreatis, dan buletin kaji, terkadang terasa begitu berat ketika harus dihadapkan pada kondisi kepengurusan tahun ini yang mengalami pasang surut. Lantas haruskah kita menyerah?
Tak bisa kita pungkiri kita selalu takut pada ‘ketidakpastian’. Sama halnya kita ‘takut’ pada kematian. Sikap pragmatis selalu hadir menyelinap disela-sela benak kita. Dan menjadi dilema ketika LKM tak pernah mengariskan kita untuk menjadi ini dan itu. Untuk menjadi seorang pemikir, seorang jurnalis, seorang satrawan, atau seorang MC nantinya. Kerap kali sayapun berfikir demikian. Apa hubungan LKM dengan jurusan saya? masa depan saya? Tapi kemudian saya meragu. Apakah itu layak kita jadikan alasan untuk ‘malas’ belajar di LKM?
Sayapun sadar kalau kita tidak mungkin benar-benar bisa saling memahami satu sama lain, karena kita memahami sesuatu dari apa yang kita ‘alami’ bukan dari apa yang kita ‘tahu’. Padahal kita hidup pada ruang dan waktu yang berbeda, tanggungjawab yang berbeda pula. Sulit bagi para BPH untuk logowo ketika ruang 305 sepi karena ‘alasan’ para pengurusnya punya kewajiban dan tangggung jawab lain, harus ngajar, ngebantu orang tua, atau seperti saya yang pulang kampung. Manakala sebagai ‘plato’ selayaknya ikut membantu road show MPA dan kegiatan LKM lainnya.
Pada akhirnya sebagai seorang new comers, saya merasa tak sepantasnya banyak bicara. Siapa saya? apa kedudukan saya? nyata-nyata belum memberikan kontribusi apa-apa, apalagi buah prestasi. Tapi kata-kata Babe dulu ketika saya hampir memutuskan keluar dari LKM, “Karena hati kamu belum terpaut dengan LKM” selalu terngiang dalam ingatan saya. Atau pula wejangan dari ka Anto, ka Hamzah dan kawan-kawan markas 305 lain yang pada akhirnya membuat saya bangkit dan berdiri kembali. Dan Kata-kata mereka setidaknya membuat saya kini menekan lebih otak saya melihat kondisi ruang 305 sekarang. ketika saya hanya menjadi tokoh antagonis.
Dalam sebuah perenungan saya berfikir: hal paling bijak adalah dengan membuat LKM ‘dekat’ dengan saya, dekat dengan jurusan dan kuliah saya, dengan mimpi-mimpi kecil saya. dan semoga: dekat dengan hati saya. Mungkin saya idealis. Atau juga berlebihan. Tapi saya teringat petuah Tuan Albert Camus, “Manakala pekerjaan merupakan kesenangan, hidup merupakan kegembiraan. Manakala pekerjaan merupakan kewajiban, hidup merupakan perbudakan.” Belajar dan berproses di LKM itu harus kita jadikan sebagai kesenangan, bukan sebagai kewajiban. Sehingga ketika kita menjamahi ruang 305 adalah hasrat untuk belajar, ketika bergumal dengan kegiatan disana semata keinginan untuk berproses didalamnya, dan ketika kita mendapat ‘tugas’ berupa buletin, jurnal, atau kreatis, jangan anggap itu sebagai perbudakan yang dilakukan para senior LKMers, tapi rayakanlah dengan penuh kegembiraan!

Kramat lontar, 29 agustus 2011



[*]Catatan galau yang ku tulis disela-sela kondisi rumah yang tengah porak-poranda. Sebab pula, ku baca seberkas brosur berceritakan lembaga kajian mahasiwa yang mengejolak hati. Surat ini: Titip Salamku pada seonggok ruang berteman buku, dengan dindingnya yang baru, dan taman belakangnya yang kerapkali mengusir kepenatan. Pula, tentunya para penghuninya yang ku rindu dari negeri nan jauh disana: Pekalongan. Terlebih pada ketua suku yang tak sempat ku ucap pamit padanya.