2 Maret 2012

3 Manusia 2 Dunia 1 Harapan


Malam kian larut, sementara aku tersudut disini, di ruang-ruang kegelisahanku. Entah kenapa kedua mata ini tak mampu ku pejamkan, Termenung memikirkan kejadian tempo hari. Pertemuan tiga orang manusia, dengan dua dunia dan satu Harapan.
***
Sebuah pertemuan singkat. Antara aku dengan salah seorang tuna netra bernama Juanda. Beberapa patah kata kita berbicang, mengurai satu demi satu rasa penasaran. Tiap kata yang terucap, tiap lakunya, mungkin juga hati yang membisikkan harapannya. Kulakukan dengan sejuntai asa, bisa mengerti secuil tentang kisah hidupnya. Terlebih dunia tuna netra.
Walau sejujurnya pengetahuanku akan dunia mereka sangat awam. Hingga akupun malu untuk mengutarakannya. tapi jika boleh berceloteh; Juanda adalah salah seorang tuna netra yang hidupnya cukup beruntung. Ahpasti kalian berfikir; engkau sungguh kejam, Tidak kah engkau berfikir betapa sulitnyanya menjalami hidup sebagai seorang tuna netra?. Akupun lalu hanya diam. Menunduk. Kerena sekali lagi aku hanya awam. Awam yang ingin sekedar berujar. Maka izinkanlah aku kiranya menjelaskan maksudku. Dengarkanlah.
Alkisah, Juanda mengalami gangguan tuna netra sejak kecil. Akibat step dan panas tinggi yang mendera kedua bola matanya. Sebuah diary awal yang tak mudah bagi juanda kecil. Ia ringkih, tertatih-tatih dalam kegelapan yang kadang terasa tak adil. Hingga pada suatu malam ketika Juanda tengah terlelap, ia didatangi  seorang filsuf bijak. Berbisik; “Sesungguhnya gelap itu tidak ada nak.”
Syahdan, sejak malam itu Juanda berubah. Ia begitu semangat menjalani hidupnya. Entah kenapa. Lalu ia pun mengenyam Sekolah. belajar tentang huruf braile, orientasi, juga mobilitas. Hal yang membuatnya tumbuh menjadi seorang tuna netra yang ‘berbeda’ dan lebih beruntung.

Nyaris tak ada perbedaan mencolok selain keterbatasan visual yang dia alami, yang nampak ketika aku mencoba mengenal Juanda. Dari segi bahasa misalnya, dia adalah kawan baru yang enak ketika diajak ngobrol, atau sekedar guyonan ringan. Begitu pula pada pelbagai aspek kognitif, sosial, emosional dan perilakunya. Sama seperti yang aku lihat pada Mega atau Puspita, dua orang tuna netra yang merupakan teman sebayaku.
Tapi sejurus kemudian, nasib sepertinya kurang berpihak kepadaku. Kepada kami. Komunikasi terputus ketika handphone Juanda hilang. Sementara, aku belum menemukan sesuatu yang menjadi keunikan tersendiri dari juanda sebagai tuna netra. Hingga akhirnya, aku memutuskan mencoba mencari “teman Baru”. Mencari keunikan lain dari dunia yang sama.
***
PAGI ITU suasana SLB lebak bulus pagi itu cukup menentramkan hati. Rindang pepohonan dan kondisi sekolah dan taman yang tertata rapi memberikan suasana tersendiri. Suasana yang  aku, Riris, Riko dan Maya tidak rasakankan ketika berada di kampus. Sejenak kemudian, kamipun bercengkrama dengan teman-teman tuna netra yang tinggal di asrama. Riko bertemu dengan partnernya Lukman, Riris menyapa partnernya, Hanifa. Sementara aku duduk, terdiam sejenak. Mengamati satu demi satu keunikan yang ada. Hingga pada akhirnya, mataku tertuju pada seseorang yang tengah duduk menyendiri.
Opik. Itulah kata yang ia lontarnya ketika aku mencoba berkenalan dengannya. Dan tak kusangka ia memberikan respon yang baik ketika aku mencoba mengajaknya berbicara. Mulai dari sekedar pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti, menanyakan umur, kelas berapa, sedang apa, sampai kemudian perbincangan kita mulai mengalir perlahan. Ada sebuah ketertarikan lebih diawal pertemuan kami. Dan secara singkat, akan ku ceritakan tentang Taufik ini.
Opik atau Taufik adalah sosok yang cukup unik menurutku. Kalau cobaku gambarkan, rambutnya pendek, badannya sedang saja, tapi tinggi badannya lebih dari aku. Opik suka memperlihatkan giginya, tersenyum mungkin lebih tepatnya. dia adalah lelaki berusia 20 tahun yang nampak seperti remaja berusia belasan, dari penampilan fisiknya juga laku-nya.
Lalu jika menelisik dari wajahnya, orang dapat menebak kalau opik adalah orang jawa. Orang brebes lebih tepatnya. ia adalah salah satu tuna netra hasil penjaringan departemen sosial ke daerah-daerah. Ia baru empat bulan ‘sekolah’ di asrama Tan miyat, dan sekarang masih dalam masa orientasi sebelum mengikuti kelas keterampilan. Ketika aku bertanya apa itu kelas keterampilan, ia menjawab, “kelas mijat ka.”
Ia adalah seorang totally blind sejak lahirTapi  tidak jelas tentang sisa penglihatan yang ia miliki. Aku agak kesulitan untuk mengurainya. Karena dia nampak kebingungan ketika aku tanya tentang kemampuan penglihatannya. Sempat ketika aku bertanya tentang cahaya dia menjawab, “tahu, matahari ada diatas.”
Dari situ tampak opik mengalami hambatan dalam aspek perkembangan bahasanya. Terkadang dia hanya diam ketika dia tak mengerti dengan pertanyaan yang aku lontarkan. Dia memang dapat berbahasa Indonesia, jawa maupun sunda. Namun memiliki keterbatasan kosa kata maupun kesulitan dalam berkomunikasi. Aku harus terlebih dulu memancingnya untuk mengajaknya berbicara.
Lalu dalam hal aspek Kognitif pun demikian. Dia masih memiliki orientasi dan mobilitas yang kurang. Dia masih sering ketakutan ketika berjalan, dan menurut Kusnanto, Sepupu dari kampungnya, Opik sering berjalan merayam karena ketakutan. Juga dalam hal kebersihan, dulu ketika awal tinggal di asrama, ia sering buang air kecil sembarangan.
Perilaku-perilaku tersebut terjadi karena mungkin ia lakukan juga ketika berada di kampung. Selain itu Opik juga memiliki beberapa blindism. Seperti suka mengerak-gerakan ujung jari telunjuknya, menjewer telinganya, atau memasukkan tangannya kedalam celananya. Sebagai perbandingan, perilaku tersebut tidak diperlihatkan oleh “teman lamaku” Juanda.
Dari segi sosial emosional, Opik juga mememperlihatkan perilaku khas pada dirinya. Dia lebih suka menyendiri, tidak bersosialisasi dengan teman-temannya. Bukan karena dia baru disana, akan tetapi karena kebiasaan yang dia lakukan ketika di rumah ya seperti itu. dia dikondisikan oleh keluarganya hanya tinggal dirumah, tanpa sekolah, tanpa interaksi sosial. Hal ini juga yang menimbulkan perilaku khas pada dirinya. Seperti suka tiba-tiba tertawa sendiri. Atau kadang suka marah sendiri.
***
Dua hal yang aku tangkap dari pengamatan dan perenunganku pada Opik maupun Juanda. Pertama, pendidikan sangat berpengaruh besar dalam perkembangan seorang tuna netra. Terutama dalam aspek kognitif, orientasi dan mobilitas, juga perilaku. Karakteristik yang biasanya nampak akibat ketunanetraan, akan tereduksi dan diminimalisir oleh proses pendidikan.
Kemudian yang kedua, Lingkungan memberikan pengaruh yang luar biasa. Juanda yang ketika SD pindah ke Jakarta, jauh dari orang tua dan terdidik untuk hidup mandiri, lebih berkembang dibandingkan Opik. Sedangkan Opik yang hanya tinggal dirumah, dikurung orang tuanya, tidak adanya interaksi sosial selama 20 tahun, berdampak pada aspek-aspek seperti perilaku, dan sosial emosionalnya. Hellen Keller pernah berkata, sebenarnya hambatan terbesar seorang tuna netra adalah lingkungan.
Gelap itu tidak ada? Kita boleh mengartikan gelap dalam perspektif manapun. Namun dari perspektif tuna netra, sebenarnya yang terpenting bukan masalah ada atau tidak ada, tapi bagaimana mereka mampu keluar dari “gelap” itu, menerima kenyataan yang ada, lalu menjalani hidup sebaik mungkin.
***
Pada akhirnya, matakupun terpejam. Gelap.