Malam kian larut, sementara aku tersudut disini, di ruang-ruang
kegelisahanku. Entah kenapa kedua mata ini tak mampu ku pejamkan, Termenung
memikirkan kejadian tempo hari. Pertemuan tiga orang manusia, dengan dua dunia
dan satu Harapan.
***
Sebuah pertemuan singkat. Antara aku dengan salah seorang tuna
netra bernama Juanda. Beberapa patah kata kita berbicang, mengurai satu demi
satu rasa penasaran. Tiap kata yang terucap, tiap lakunya, mungkin juga hati
yang membisikkan harapannya. Kulakukan dengan sejuntai asa, bisa mengerti
secuil tentang kisah hidupnya. Terlebih dunia tuna netra.
Walau sejujurnya pengetahuanku akan dunia mereka sangat awam.
Hingga akupun malu untuk mengutarakannya. tapi jika boleh berceloteh; Juanda
adalah salah seorang tuna netra yang hidupnya cukup beruntung. Ah, pasti
kalian berfikir; engkau sungguh kejam, Tidak kah engkau berfikir betapa
sulitnyanya menjalami hidup sebagai seorang tuna netra?. Akupun lalu
hanya diam. Menunduk. Kerena sekali lagi aku hanya awam. Awam yang ingin
sekedar berujar. Maka izinkanlah aku kiranya menjelaskan maksudku.
Dengarkanlah.
Alkisah, Juanda mengalami gangguan tuna netra sejak kecil. Akibat
step dan panas tinggi yang mendera kedua bola matanya. Sebuah diary awal
yang tak mudah bagi juanda kecil. Ia ringkih, tertatih-tatih dalam kegelapan
yang kadang terasa tak adil. Hingga pada suatu malam ketika Juanda tengah
terlelap, ia didatangi seorang filsuf bijak. Berbisik; “Sesungguhnya
gelap itu tidak ada nak.”
Syahdan, sejak malam itu Juanda berubah. Ia
begitu semangat menjalani hidupnya. Entah kenapa. Lalu ia pun mengenyam
Sekolah. belajar tentang huruf braile, orientasi, juga mobilitas. Hal yang
membuatnya tumbuh menjadi seorang tuna netra yang ‘berbeda’ dan lebih
beruntung.
Nyaris tak ada perbedaan mencolok selain keterbatasan visual yang
dia alami, yang nampak ketika aku mencoba mengenal Juanda. Dari segi bahasa
misalnya, dia adalah kawan baru yang enak ketika diajak ngobrol, atau sekedar
guyonan ringan. Begitu pula pada pelbagai aspek kognitif, sosial, emosional dan
perilakunya. Sama seperti yang aku lihat pada Mega atau Puspita, dua orang tuna
netra yang merupakan teman sebayaku.
Tapi sejurus kemudian, nasib sepertinya kurang berpihak kepadaku.
Kepada kami. Komunikasi terputus ketika handphone Juanda hilang. Sementara, aku
belum menemukan sesuatu yang menjadi keunikan tersendiri dari juanda sebagai
tuna netra. Hingga akhirnya, aku memutuskan mencoba mencari “teman Baru”.
Mencari keunikan lain dari dunia yang sama.
***
PAGI ITU suasana SLB lebak bulus pagi itu cukup menentramkan hati.
Rindang pepohonan dan kondisi sekolah dan taman yang tertata rapi memberikan
suasana tersendiri. Suasana yang aku, Riris, Riko dan Maya tidak
rasakankan ketika berada di kampus. Sejenak kemudian, kamipun bercengkrama
dengan teman-teman tuna netra yang tinggal di asrama. Riko bertemu dengan
partnernya Lukman, Riris menyapa partnernya, Hanifa. Sementara aku duduk,
terdiam sejenak. Mengamati satu demi satu keunikan yang ada. Hingga pada
akhirnya, mataku tertuju pada seseorang yang tengah duduk menyendiri.
Opik. Itulah kata yang ia lontarnya ketika aku mencoba berkenalan
dengannya. Dan tak kusangka ia memberikan respon yang baik ketika aku mencoba
mengajaknya berbicara. Mulai dari sekedar pertanyaan-pertanyaan mendasar
seperti, menanyakan umur, kelas berapa, sedang apa, sampai kemudian
perbincangan kita mulai mengalir perlahan. Ada sebuah ketertarikan lebih diawal
pertemuan kami. Dan secara singkat, akan ku ceritakan tentang Taufik ini.
Opik atau Taufik adalah sosok yang cukup unik menurutku. Kalau
cobaku gambarkan, rambutnya pendek, badannya sedang saja, tapi tinggi badannya
lebih dari aku. Opik suka memperlihatkan giginya, tersenyum mungkin lebih
tepatnya. dia adalah lelaki berusia 20 tahun yang nampak seperti remaja berusia
belasan, dari penampilan fisiknya juga laku-nya.
Lalu jika menelisik dari wajahnya, orang dapat menebak kalau opik
adalah orang jawa. Orang brebes lebih tepatnya. ia adalah salah satu tuna netra
hasil penjaringan departemen sosial ke daerah-daerah. Ia baru empat bulan
‘sekolah’ di asrama Tan miyat, dan sekarang masih dalam masa orientasi sebelum
mengikuti kelas keterampilan. Ketika aku bertanya apa itu kelas keterampilan,
ia menjawab, “kelas mijat ka.”
Ia adalah seorang totally blind sejak lahir. Tapi
tidak jelas tentang sisa penglihatan yang ia miliki. Aku agak kesulitan untuk
mengurainya. Karena dia nampak kebingungan ketika aku tanya tentang kemampuan
penglihatannya. Sempat ketika aku bertanya tentang cahaya dia menjawab, “tahu,
matahari ada diatas.”
Dari situ tampak opik mengalami hambatan dalam aspek perkembangan
bahasanya. Terkadang dia hanya diam ketika dia tak mengerti dengan pertanyaan
yang aku lontarkan. Dia memang dapat berbahasa Indonesia, jawa maupun sunda. Namun
memiliki keterbatasan kosa kata maupun kesulitan dalam berkomunikasi. Aku harus
terlebih dulu memancingnya untuk mengajaknya berbicara.
Lalu dalam hal aspek Kognitif pun demikian. Dia masih memiliki
orientasi dan mobilitas yang kurang. Dia masih sering ketakutan ketika
berjalan, dan menurut Kusnanto, Sepupu dari kampungnya, Opik sering berjalan
merayam karena ketakutan. Juga dalam hal kebersihan, dulu ketika awal tinggal
di asrama, ia sering buang air kecil sembarangan.
Perilaku-perilaku tersebut terjadi karena mungkin ia lakukan juga
ketika berada di kampung. Selain itu Opik juga memiliki beberapa blindism.
Seperti suka mengerak-gerakan ujung jari telunjuknya, menjewer telinganya, atau
memasukkan tangannya kedalam celananya. Sebagai perbandingan, perilaku tersebut
tidak diperlihatkan oleh “teman lamaku” Juanda.
Dari segi sosial emosional, Opik juga mememperlihatkan perilaku
khas pada dirinya. Dia lebih suka menyendiri, tidak bersosialisasi dengan
teman-temannya. Bukan karena dia baru disana, akan tetapi karena kebiasaan yang
dia lakukan ketika di rumah ya seperti itu. dia dikondisikan oleh keluarganya
hanya tinggal dirumah, tanpa sekolah, tanpa interaksi sosial. Hal ini juga yang
menimbulkan perilaku khas pada dirinya. Seperti suka tiba-tiba tertawa sendiri.
Atau kadang suka marah sendiri.
***
Dua hal yang aku tangkap dari pengamatan dan perenunganku pada
Opik maupun Juanda. Pertama, pendidikan sangat berpengaruh besar dalam
perkembangan seorang tuna netra. Terutama dalam aspek kognitif, orientasi dan
mobilitas, juga perilaku. Karakteristik yang biasanya nampak akibat
ketunanetraan, akan tereduksi dan diminimalisir oleh proses pendidikan.
Kemudian yang kedua, Lingkungan memberikan pengaruh yang luar
biasa. Juanda yang ketika SD pindah ke Jakarta, jauh dari orang tua dan
terdidik untuk hidup mandiri, lebih berkembang dibandingkan Opik. Sedangkan
Opik yang hanya tinggal dirumah, dikurung orang tuanya, tidak adanya interaksi
sosial selama 20 tahun, berdampak pada aspek-aspek seperti perilaku, dan sosial
emosionalnya. Hellen Keller pernah berkata, sebenarnya hambatan terbesar
seorang tuna netra adalah lingkungan.
Gelap itu tidak ada? Kita boleh mengartikan gelap dalam perspektif
manapun. Namun dari perspektif tuna netra, sebenarnya yang terpenting bukan
masalah ada atau tidak ada, tapi bagaimana mereka mampu keluar dari “gelap”
itu, menerima kenyataan yang ada, lalu menjalani hidup sebaik mungkin.
***
Pada akhirnya, matakupun
terpejam. Gelap.