2 Maret 2012

Autisme dan Lelucon Kita



Kita ada di zaman ketika lelucon menjadi sebuah budaya. Lelucon lahir, dengan sindiran-sindiran yang mengundang senyum, anekdot-anekdot yang mengelitik, mengocok perut kita hingga kaku. Berangkat dari hal yang ragam rupanya, dari “upil” sampai “puding”, tak pernah habis atau basi. Objeknya pun tak kenal muka, dari “sopir angkot sampai presiden”. Semua bisa kena! Lelucon seakan telah menjadi selingan yang paling menarik di tengah rutinitas dan keseharian kita yang menjenuhkan.

Tapi, lelucon sering menjurus ke olok-olok, cemooh atau maki. Tak sekedar guyonan renyah, tapi hina dan cela pada “yang kurang atau beda” lebih kerap hadir dan kadang justru dianggap paling menggoda untuk “dileluconkan”. Sebabnya, kita tak lagi asing dengan lelucon ini, “Buta Lu! Budeg lu! Bego lu!” atau yang lebih renyah dan hangat, “Autis Lu!”. Dan dewasa ini, celoteh atau bahkan celaan ini kerap muncul dalam sela-sela obrolan kita. Dalam sebuah narasi keseharian yang sering kita jumpai:

Segerombol remaja tengah asik bercanda di sebuah kafe. Satu diantara kawan mereka tak ikut dalam perbincangan, asik dan sibuk dengan BB-nya. Lantas satu diantara lainnya pun jenuh melihatnya, “heh, diem aja ni, ikutan ngobrol dong, jangan berkicau aja di twitter, berkicau disini lah.” Seorang teman lainnya pun menimpa, “sudahlah, biarin aja, dia kan autis..!!”, haahaahaa...“ -kafe itu pun riuh oleh gegap tawa mereka.

Narasi tadi sedikit memberi pesan, bahwa terkadang kita tidak sadar, larut dalam apa yang telah membiasa dalam kerangka kewajaran. Menafikan yang baik dan yang buruk. Hingga batas-batasnya seakan menjadi bias, bahkan absurd. Termasuk dalam hal berbahasa. Ujaran yang mengandung SARA atau diskriminasi pada “Yang lain”, kini tak lagi ditanggapi dengan nada lantang dan keras. Kita melunak.


Lelucon autis hadir seiring dengan wacana autis sebagai wacana hangat dalam perbincangan kita. Yang mulanya pada lingkup kecil, yakni: pendidikan. Autis atau autisme yang awalnya sering dianggap “gangguan emosi atau intelektual” ini tiba-tiba mengisi ruang-ruang kelas. Mereka aneh dan “baru”, guru-guru pun kebingungan: “anak macam apa ini?”. Namun seiring membuminya syndrom autisme ini, oleh runaway world ini, telinga kita tak lagi asing dengan istilah autis.

Hanya, kerap kali kita jatuh pada tahu diketidaktahuan kita. Mungkin karena kurangnya pengetahuan. Tak jarang beberapa orang serampangan memahami autis sebagai: yang begitu, yang aneh, yang pendiam, yang hebat, dst. Ini pun yang coba digambarkan Gus tf Sakai dalam cerpen “U-nga” yang berkisah tentang seorang bocah perempuan bersama ibunya yang sering berjalan melewati sebuah penginapan untuk memetik bunga di danau dekat penginapan tersebut.

Sepintas memang tak kelihatan aneh. Tetapi bila tanpa sengaja orang memperhatikan Si Bocah lalu mengamatinya lebih lama, orang akan mengerutkan dahi. Bocah itu, dalam interval tak tentu, menekuk-nekuk kepala seraya mempertemukan kedua tangannya di depan dada dengan jemari yang liar berpilin-pilin, bagai ada yang tak henti ia remas. Sesekali, dari mulutnya yang kadang ditutupi julaian rambut, keluar suara dengung yang bagai bercampur dengan sembur ludah. Dan bila gerak jemari si bocah semakin liar semakin cepat bertambah-tambah, Si Ibu akan berkata, “Jarinya!” (U-nga, 2003:2-3)

Para pengunjung penginapan keheranan melihat tingkah aneh bocah tersebut. Ada yang sekedar memperhatikan, tak banyak memberi komentar. Membiarkan tanya mengendap di otak mereka. Sementara itu, beberapa lainnya tertawa, menjadikannya sebagai buah lelucon sekaligus tontonan yang menarik, hingga rela menambah waktu menginap mereka hanya demi melihat bocah tersebut. Oleh satu diantara mereka menyebutnya sebagai, “Anak hantu penghuni Danau”.

Rasanya lelucon telah melahirkan sebuah ambiguitas, menyebabkan kesalahpahaman tafsir. Para pengunjung penginapan dalam cerpen “U-nga”, bahkan mungkin oleh ibunya sendiri, tak tahu kalau gadis aneh tadi sebenarnya adalah anak autis yang sangat menyukai “bunga”. Tiap hari dia meminta ibunya untuk mengantarkanya memetik bunga yang ada di dekat danau. Karenanya, sering terlontar dari mulutnya,”U-nga..U-nga..”.

Begitu pula yang terjadi pada narasi singkat tadi. Seorang kawan menganggap kawan lainnya autis hanya karena dia asik dengan BB-nya. Tafsir yang terjadi: orang yang suka diam, tak komunikatif, sibuk dengan dirinya sendiri, adalah Autis. Pada akhirnya, terjadi pergeseran makna, atau juga sebuah mitos tentang autis. Yang dalam konsep mitologi Rolan Bartes, mitos adalah sebuah bentuk tuturan yang menggunakan sistem tananan tingkat kedua. Artinya, sebuah kata atau istilah tak lagi bermakna asalnya (denotasi), tapi telah bergeser (konotasi).

Dari sini, lelucon autis tak lagi selayak keriping renyah yang asik kita nikmati dalam waktu-waktu senggang kita. Tapi lelucon autis telah menjadi sebuah tragedi. Tragedi bagi “autis” itu sendiri. Ia kerancuan makna bagi orang-orang yang salah tafsir, atau bahkan sengaja menyalahkan, dan mengganggapnya sebagai sebuah kewajaran dan “tak ada masalah”. Dan juga tragedi bagi budaya lelucon kita, budaya diskiminasi.