2 Maret 2012

EL NINO: Pergi dan mencari



“Sahabat adalah seorang yang mengetahui lagu yang ada di hatimu dan dapat menyanyikan kembali ketika kamu lupa syairnya.”
- CS Lewis (1898–1963)-
Seorang bocah---bocah itu apa atau siapa?---pergi dari rumahnya. Dan itu bukannya tanpa alasan. Ia diusir karena nilai sekolahnya membuat perih mata orang tuanya. Dia diusir sebab mencuri uang milik tetangganya. Dia diusir akibat menghamili teman perempuannya. Dia tak diusir, tapi kawin lari dengan gadis yang dicintainya.
Tak, tak seperti itu. karena sekali lagi dia hanya bocah (membantah alasan pertama), hanya bocah (membantah alasan kedua), hanya bocah (membantah alasan ketiga), dan hanya bocah (membantah alasan keempat). Lalu, sebenarnya alasan itu ada atau tidak ada?. Lagi, bocah itu apa atau siapa?
Lalu sampailah ia disuatu tempat yang ramai. Tapi itu bukan tontonan orkestra para biduan yang sering manggung di kampungnya. Karena tak terdengar suara yang mendayu-dayu, yang ada malah bunyi kumbang bermesin yang terasa bising di telinga---kelak bocah itu tahu bahwa kumbang bermesin tadi bernama bajaj. Bukan pula pasar tempat ia dulu disuruh ibunya membeli lombok brambang. Karena ia tak melihat para laki-laki dan perempuan tua yang biasa ia lihat menjajakan dagangannya. Tempat apakah ini?

Sedalam mata ia memandang, memperhatikan setiap apa yang kasas di mata polosnya. Mula-mula pada segerombolan Laki-laki muda: celana jins ketat, t-shirt, sepatu sport, dengan rambutnya yang stylish. Mereka tengah saling bercanda, tertawa, dan mengejek. Sejurus kemudian dia memandangi dirinya: Sebatang tubuh kecil, kurus, bercelana jins biru kadarluwasa, dengan kemeja lusuh dan sepatu bututnya. Dalam relung hatinya yang terdalam si bocah pun bergumam, “aneh”.
Lalu, adalah sebuah tontonan baru baginya. Lebih dari sekedar tontonan kala biduan sedang bersenandung. Apa lagi kalau bukan kawanan gadis-gadis muda yang tengah duduk manja, bercengkrama satu sama lain. Hanya tiga kata: cantik, wangi dan menggoda. Ah, tidak kah terlalu berlebihan wahai kau bocah?
Setelah puas dengan gadis-gadis cantik tadi. Tampang kusut dan pandangan matanya kini tertuju pada segelintir orang-orang tak biasa. Si bocah tak sekedar memandang, tapi dia terangsang oleh tanda pengenal yang melekat pada baju orang-orang tak biasa tadi. Prof, Dr, Drs, M.Pd, M.Si, MM, S.Pd, SE,.. Lagi-lagi, si bocah menemukan keanehan.
Tapi melihat itu semua, si bocah tertunduk lesu. ia kecewa. Pada dirinya, pada dunianya. Bukan, bukan ini yang sebenarnya ia cari. Bukan laki-laki nongkong yang menghabiskan hidupnya pada sebatang rokok. Bukan gadis hias yang sibuk dengan cerminnya. Dan bukan pula orang-orang tak biasa yang jumawa dengan deretan title yang melekat padanya. Lalu apa yang kau cari wahai bocah?
Si bocah kini tak lebih dari seorang yang tengah patah hati. Remuk redam, tak terperikan. Menyesal kenapa dia pergi dari rumah. Mencari apa yang orang lain tak cari. Ah, dia pun teringat kampung halamannya: Sawah, kali, dusun-dusun. Lalu, pada sebuah gubuk kecil di sudut kampungnya. Rindu, rindu  yang mendera.
langkah-langkah tak bernada. Seperti itulah si bocah. Berjalan menyusuri gedung-gedung lama. Berharap menemukan selemar kertas atau koin, untuk mengobati lara dan laparnya. Tapi di senja itu, tiba-tiba mata polos si bocah tergoda, pada seonggok bangunan berlantai tiga.
Si bocah lalu melangkahkan kakinya. Memandangi apa yang layak ia pandangi. “Bukan, bukan mereka”, gumam hati si bocah. Lalu iapun meneruskan pencariannya, menapaki setiap jengkal di lantai dua gedung. Dan sejauh mata ia memandang, jawabannya pun tetap sama. “Tak, tak seperti ini”.
Maka si bocah memutuskan untuk menitikan langkah kakinya pada anak-anak tangga terakhir. hingga sampailah ia di lantai tiga gedung itu. Ia susuri tiap jengkal sudut gedung bertembok kusam itu. Melihat, mendengar dan merasa. Itulah yang ia lakukan. Akhirnya, sorot mata si bocah tertuju pada sebuah ruangan bertuliskan G.305
Sebuah ruangan horor. Entah apa yang membuatnya horor. Yang jelas ketika memandangi ruangan itu, si bocah tertawa, tersenyum, lalu tergoda. Adalah mereka, seorang kurus berambut ikal, berantakan. Bercelana jins hitam dengan kaos cokelat bertuliskan samar, RANCD. Dia tengah bercinta dengan laptop, menuliskan sajak-sajak tan malaka. Lalu si sampingnya seorang berkaos biru, bercelanakan kolor. Manusia bertubuh gempal itu tengah tertidur pulas setelah semalaman ia berdialektika dengan AD/ART[1].
Akan tetapi bukan hanya dua orang aneh tadi yang menarik hati si bocah. Karena sesungguhnya ruangan horor itu memang berpenghuni orang-orang aneh. Mereka, teknikers yang berfilosofi hidup untuk tertawa dan tertawa, seorang tata niaga yang berambisi menjadi sarjana anatomi otot, sastrawan muda yang tergila-gila akan sajak-sajak Albert Camus, atau dia, arsitektur yang beralih haluan menjadi seorang management.
Tapi sejujurnya, mereka aneh karena peradaban mereka yang tak sama dengan peradaban yang ada di sekelilingnya. Peradaban di gedung berlantai tiga itu, atau peradapan di kampus pendidikan itu. Adalah sebuah peradapan para kaum MEDIS yang bermottokan berfikir cerdas, berpijak pada kebenaran. Mereka: sahabat yang mengetahui lagu yang ada di tiap-tiap hati dan dapat menyanyikan kembali ketika salah satu diantaranya lupa akan syairnya.
Dan kini sebuah senyuman kemenangan terbesit di wajah si bocah. Karena ia telah menemukan dunianya. Tempat ia belajar dari kata dan dunia. Menemukan apa yang ia cari tak orang lain cari. Yakni sebuah alasan.



[1] Adegan ini diambil pada sabtu, 19 Maret 2011 pukul 08.44 WIB