2 Maret 2012

Plato




SAYA TERINGAT. Sekiranya satu tahun yang belakang. Samar-samar sepengal kesan itu tertuju pada seorang lelaki. Duduk dideret paling kanan, di sudut diamnya. Bila saya coba gambarkan, Ia sebenarnya tak begitu rupawan; kecil, kurus, dan kusut. Hanya saja, lelaki tadi memiliki mata yang menarik. Sebabnya lah masih lekat ingatan saya pada lelaki ini. Ia tengah mengikuti acara sebuah organisasi di kampusnya, sebut saja OCAB LKM. Dan sama halnya dengan rupa, gelagatnya di acara tersebut pun tak menjanjikan. Ia neurves ketika disuruh kakak-kakaknya berbicara, malu untuk bertanya, diam ketika acara diskusi, dan sekali lagi, tak menjanjikan. Barangkali, dari sini saya tahu kalau lelaki ingusan ini ternyata berasal dari kampung. Pendek cerita, acara usai dan asa baru terkembang. Lantas ia bersama kawan-kawan barunya kerap dipangil “PLATO”.
***
AH, entah kenapa saya jadi teringat Nietzche. Ia pernah bergurau tentang waktu. Waktu, menurutnya tidak membentang linier seperti antara hidup dan mati. Namun melingkar. Dan ia lebih suka menyebutnya sebagai ‘saat’. Bagi saya sendiri, waktu bukanlah seonggok kata yang ‘penuh’, tapi ia selalu terisi oleh ruang. Ruang dan waktu. Keduanya yang kemudian menciptakan ‘saat’. Ya, Tanpa saya sadari, Ruang G.305 dan waktu satu tahun belakangan ini telah menciptakan ‘saat-saat’ bagi saya dan juga teman-teman Plato. Saat dimana kita bersama-sama belajar, bergumal dengan publik speaking, kajian, dan penulisan. Menyatukan hati dan berbagi dengan teman-teman kecil kita di kampung Cikopak, pula saat ‘tugas’ reportase akhirnya mengikat kita menjadi sebuah keluarga arete di LKM.
Lantas apa yang menyoal dari perkatakan Nietzche; waktu tidak membentang linier tapi melingkar? barangkali ini menemukan titik tautannya dengan belajar, waktu yang kita jalani untuk belajar di LKM. Ternyata, tidak membentang linier sebagai si bodoh yang kemudian berhenti pada sebuah titik sebagi si cerdas, atau dari murid yang goblok kemudian menjadi guru yang maha tahu. Tapi waktu belajar di LKM adalah Bersama sahabat mengejar arete, begitu kata Anto kawan baik saya.
Wadah ini memberikan eros (hasrat) untuk menjadi manusia yang berpengetahuan, efeknya berguna bagi sahabat-sahabat yang lain di masa depan. Ingatlah, wadah ini tak ada guru, kita semua adalah murid-murid yang saling memberikan pengetahuan[1].

Akan tetapi, waktu itu selalu saja liar, susah dijinakkan. Tak terelakan kalau sang pendulum waktu hanya mampu mengingatkan kita: satu hari hanya 24 jam, satu minggu 168  jam, dan satu bulan tak lebih dari 720 jam. Secara materialis Ini tak cukup, dan tak kan pernah cukup. Pengejaran kita banyak; ingin ini, ingin itu. Ruang-ruang yang mengikat hati kita juga banyak; ruang kuliah, ruang organisasi lain, ruang kerja, atau ruang keluarga. Dan ketika sudah seperti ini, biasanya kata-kata yang melemahkan pun terlontar, “Ya, kita hidup bukan cuma di dan untuk LKM saja.”
Disini saya fikir kegelisahan berawal. Pertarungan antara sikap idealis dan pragmatis saya. Mungkin juga teman-teman. Rutinitas keseharian kita tak berjarak jauh dari celoteh Nietzche bahwa waktu itu melingkar. LKM dengan rutinitasnya yakni kegiatan selasa, rabu dan kamis. Atau proker besar berupa reportase, buletin dan kreatis, mau tidak mau pasti menyita banyak waktu senggang kita. Rutinitas yang melingkar ini kadang membuat kita jenuh, malas, atau merasa capek ketika harus pulang malam terus.
Dan juga kita tak bisa mengelak bahwa rutinitas selalu membenturkan pada sebuah paradok, atau dalam bahasa kekinian, sebuah ‘kegalauan’. Dimana idealisme ‘belajar’ kita diuji oleh realitas yang kadang melemahkan hati. Saya harus dapat IPK tinggi, saya harus ngajar, saya ada acara di organisasi lain, saya harus membantu orang tua, saya tidak boleh pulang malam, rumah saya jauh, dstYa, Life is compleks. Karenanya belajar di LKM pun seakan terkena efek dominonya: Rumit. Tautan-tautan dan relasi kita pada berbagai hal dan kepentingan merupakan hal yang tak terelakan.
Saya sering bilang, kita tak mungkin bisa benar-benar saling memahami satu sama lain, karena kita paham dari apa yang kita alami bukan dari apa yang kita tahu, sementara masing-masing orang menjalani ruang dan waktu yang berbeda-beda. Sebabnya saya malas ketika diajak menjawab atau menyoal kembali minimnya kehadiran teman-teman plato di 305. Rumit. Hanya akan menyisakan pergulatan kegalauan yang tak kunjung usai.
Masalah ruang dan waktu adalah masalah yang riskan. Ringkih terhadap hal-hal yang sensitif. Karena ruang dan waktu selalu berhubungan dengan esensi. Ya, bagi sebagian bersar orang hidup adalah pengejaran esensi saya fikir. Hal-hal yang yang tak beresensi pasti akan ditinggalkan. Sebabnya ungkapan nyaring yang sering kita dengar: “Dari pada saya ngobrol ngalor-ngidul di LKM, mending ngerjain tugas kuliah yang berjubel, Besok ada UTS pula.”
Kadang saya merenung kecil, masih adalah kah ruang dan waktu saya untuk 305? masih pantas kah saya mengharapkan bisa nulis ini-nulis itu, bisa bikin ini-bikin itu, atau -yang lebih ekstrim- juara ini-juara itu?
Saya pun teringat dengan perkataan Opa Sartre, dia bilang, “Eksistensi dulu baru Esensi.” Dari sudut ini, utamanya adalah kehadiran kita pada ruang dan waktu, setelahnya: akan mengikuti. Pulanya, sebelum mempertanyakan ‘ilmu’ yang telah saya miliki, atau prestasi yang telah saya peroleh, tak ada salahnya terlebih dahulu saya berbijak hati untuk berefleksi diri. Seberapa ‘eksis’ kah kehadiran saya pada ruang G.305? pula ‘hasrat’ saya dengan budaya yang melekat didalamnya, yakni baca, tulis, dan diskusi. Agaknya saya atau teman-teman satu tahun yang lalu dengan yang sekarang lah representasi dari pertanyaan ini.
Mungkin saya idealis. Karena sebenarnya, esensi tak kan jauh-jauh dari pragmatisme. Saya pun orang kebanyakan, takjub dengan hal-hal yang menjulang. Hanya saja pragmatis seringkali berujung sempit dan cenderung dangkal, “praktis, hasil, dan guna”. Padahal hasil lebih sering mengecewakan saya, membohongi kita, dan terkadang naif sekali. Sebab, Hasil yang baik kadang tak berangkat dari proses yang baik.
Setidaknya, ini yang sering saya lihat, dengar dan rasakan. Hingga kadang rona sinis sering tersingkap kepermukaan. Sekiranya, hasil bukanlah tujuan akhir, tapi hasil adalah pelecut yang akan ‘mengerakkan’ kita, hasrat untuk belajar. Hasil hanyalah ‘akibat’ dari proses. Karenanya saya lebih percaya bahwa ‘proses’ lah esensi sebenarnya, bukan ‘hasil’. Ibarat memancing ikan, biarpun ikan yang saya dapat tak banyak, kecil-kecil pula, ini lebih ‘berkesan’ dari pada saya membeli ikan di pasar.
Saya sering bilang, 305 adalah kolam ikan pengetahuan, pancinglah dengan kailmu sendiri. Lalu mengapa kita saling meragu berproses di 305? Padalah banyak ikan yang besar yang bisa kita masak bersama.[2]
***
SAYA SADAR. Ruang dan waktu selalu meminta pertanggung jawaban. Cermin refleksi bagi kita, atas apa yang telah usai. Setahun lebih saya selipkan waktu untuk sebuah ruang.  Mungkin tak banyak, karena hidup saya lebih sering terisi kalut. Hingga kadang ruang itu sekedar pelarian kecil saya. Hanya, tak mengelak juga kalau harapan-harapan selalu ada. Hasrat yang setidaknya saya jaga semejak OCAB LKM yang belakang. Semenjak ruang itu mengikat hati saya, dan meminta saya mengaulinya. Ya, Saya ingin belajar di sana, belajar bersama sahabat-sahabat plato saya, di ruang 305. Mengejar Arete.
Belajar, biar sejengkal tetap memberi makna. Sebab belajar adalah rerentetan kesan hidup tanpa tapal batas ruang dan waktu. Tak pula hukum ukur-mengukur kebodohan. Karenanya saya tak kecewa ketika ternyata saya masih bodoh seperti saat ikut OCAB, saya tak marah ketika kakak-kakak saya menyebut saya ‘platonol’ atau ‘platolol’. Tapi saya sedih ketika sahabat-sababat saya tak ada lagi hasrat untuk belajar, tak ingin lagi bersama saya mengejar arete.
Saya tak ingin bodoh sendirian, saya ingin bodoh bersama sahabat-sahabat saya, Platolol. Akan tetapi, saya juga lebih tak ingin cerdas sendirian, saya ingin cerdas bersama sahabat-sahabat saya, Plato.



[1] Dalam cacatan Rianto Anarki: Bersama sahabat, mengejar arete. Paragraf 12.
[2] Dalam cacatan Rianto Anarki: Lelucon itu sahabat saya yang akan mendongengkannya. Paragraf 12.