5 Desember 2013

Koruptor Didikan Sekolah

Kita mengeluh tentang kasus korupsi yang merajarela, tentang pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh banyak pihak, termasuk mereka yang seharusnya menegakkan hukum. Jelaslah situasi ini tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, sebab para koruptor itu adalah hasil dari pendidikan negara ini. Jadi pendidikan macam apa sebenarnya yang diajarkan di sekolah?

Hasil riset Transparency International, 90% remaja berpandangan bahwa korupsi merugikan diri sendiri, masyarakat, dan negara. Akan tetapi mereka tidak menampik pengalaman korupsi seperti menyuap, mengindari tilang, dan menyontek saat ujian. Mereka pun mengaku enggan melaporkan tindak korupsi yang mereka ketahui. Realitas ini menjelaskan bahwa pendidikan telah melahirkan generasi yang hanya mengkonsumsi nilai-nilai dan moralitas tetapi tidak bersikap kritis atas  nilai-nilai yang diajarkan.

Generasi mentalitas koruptor seyogianya hasil dari pendidikan yang ada di sekolah, yakni pendidikan yang tidak membentuk character building dan nalar kritis, akan tetapi pola pendidikan yang dogmatis dan repetitif. Pendidikan hanya dilihat sebagai proses transfer pengetahuan dari guru ke murid, dari apa yang tertulis di buku dimasukkan ke otak murid. Implikasinya, murid  menerima pengetahuan  nilai dan moral yang berkutat pada teks tetapi menjauhi kontek atau realitas. Hasilnya adalah generasi yang apatis terhadap kehidupan sosial.

Selain itu pengaruh budaya positivisme dalam pendidikan, nampak jelas dalam budaya “mendisiplinkan” anak yang terjadi di sekolah. Anak dibentuk agar patuh, tunduk, menurut, rapi, dan sebagainya. Bertolak dengan yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus sesuai kodrat dan alam pikir anak. Pendidikan yang menekankan perintah, hukuman, dan ketertiban adalah bentuk pemerkosaan atas kehidupan batin anak, yang merusak budi pekerti anak.


Cara mendidik yang represif ini tidak membentuk karakter yang luhur, tetapi memaksa anak untuk bersikap pura-pura terhadap guru. Akhirnya anak pura-pura disiplin dan patuh, pura-pura  mengerjakan  tugas sendiri padahal hasil contekan, anak menjadi pandai berbohong, dan berani berbuat salah asal tidak ketahuan oleh guru. Sikap-sikap itu pula yang jadi cerminan para tersangka korupsi. Mereka pandai berkelit terhadap kasus yang menjerat, menitikan air mata saat persidangan seolah mereka dituduh korupsi, bahkan tersenyum atau tertawa seakan tidak ada rasa bersalah atas tindakan yang mereka perbuat.

Kenyataaan menunjukkan pendidikan selama ini telah membiasakan anak untuk bersikap pura-pura. Dan Proses ini berlangsung bertahun-tahun selama mereka menjalani pendidikan, dari usia dini sampai perguruan tinggi. Mentalitas yang kemudian menjadi watak ketika memiliki jabatan dan kuasa. Sungguh ironis ketika pendidikan jusru menjadi ladang menyemai bibit-bibit koruptor.


Dalam suasana zaman seperti ini, jalan yang harus ditempuh adalah merombak total pendidikan kita. Melalui Pendidikan transformatif sesuai cita-cita Ki Hadjar Dewantara dan Tan Malaka. Pendidikan yang dapat melahirkan generasi pembaharu, generasi yang mampu memperbaharui cara kita hidup berbagsa dan bermasyarakat.  Jika tidak, pertaruhannya adalah masa depan bangsa!