5 Desember 2013

Menulis Esai dan Sehari-hari

Setiap orang semenjak pertama kali di bangku sekolah telah dikenalkan dengan aktivitas menulis. Selain dua aktivitas lain yakni membaca dan menghitung. Dari menulis “ini budi” sewaktu sekolah dasar, sampai menulis sebuah makalah yang tebal ketika di Perguruan tinggi, Artinya belasan tahun sebenarnya aktivitas menulis telah menjadi sehari-hari. Akan tetapi situasi yang terjadi, kerap seorang mahasiswa “gagap” ketika diminta untuk menulis. Merasa tulisannya gagal atau buruk. Mengapa ini terjadi?

Pada dasarnya menulis apapun, entah karya tulis, esai, atau reportase hanyalah bentuk output dari aktivitas menulis kita. Perbedaanya hanyalah terletak pada kerangka metodis dan sistematika yang berbeda dan masing-masing. Tetapi prinsipnya semua jenis tulisan sebagai proses bernalar untuk dituangkan dalam tulisan yang melibatkan pertanyaan mendasar: apa, mengapa, dan bagaimana.

Ambilah contoh sederhana. Sebuah skripsi tentu akan mempermasalahkan tentang “variabel” apa yang hendak diteliti, mengapa variabel itu dapat dirumuskan sebagai masalah? Lalu bagaimana itu dijelaskan dalam metode ilmiah? Baik melalui  analisis pustaka, penyingkapan studi lapangan, maupun penjabaran sebuah gagasan.

Dalam reportase, seorang reporter tentu akan berpedoman pada 5W + 1H ketika hendak menulis berita atau hasil liputannya. Namun tetap saja aspek what, why, dan how menjadi hal penting yang harus digali. Ketika menuliskannya, Ia akan berangkat dari pertanyaan: peristiwa apa yang terjadi? Tentu dengan ukuran sejauh itu penting dan menarik. Mengapa peristiwa itu terjadi? Dan bagaimana kronologinya?

Demikian pula dalam menulis esai. Arif budiman dalam esai tentang esai memberi penjabaran singkat tentang esai: “Esai adalah karangan yang sedang panjangnya, biasanya dalam bentuk prosa, yang mempersoalkan suatu persoalan secara mudah dan sepintas lalu – tepatnya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis”.


Tidak ada definisi mutlak apa itu esai. Sebuah esai tidak se-objektif sebuah tulisan karya tulis yang menuntut data dan fakta dalam kerangka metodologi ilmiah yang ketat. Esai tidak hendak mengecapkan sebagai “ilmiah”, tetapi sejauh bisa diterima pembaca secara logis. Sebuah esai juga tidak se-subjektif sebuah puisi dengan metafor yang memberikan keleluasaan interpretasi. Esai bukan seperti karya tulis maupun puisi, tetapi berada ditengah-tengah keduanya.

Pertanyaan “apa” dalam esai dijabarkan sebagai upaya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis, sejauh itu menarik pikiran untuk dituliskan.  Mengapa suatu masalah menarik untuk dituliskan adalah cara penulis mengambil angel atau sudut pandang. Dengan menunjukkan segi baru yang berupaya mengambil perspektif lain dan ide segar.

Sebab dari sebuah esai kita tidak akan mengantongi sebuah jawaban mutlak seperti dalam karya ilmiah. Sebuah esai tidak menjanjikan sebuah jawaban besar dan gamblang tentang solusi sebuah persoalan dalam masyarakat. Selain karena panjang tulisan, sebuah esai sebatas berupaya menyingkap wacana, memberi gagasan yang kontemplatif, dan sebatas untuk menggugah hati pembaca setelah membaca tulisan. Kira-kira seperti itu pertanyaan “bagaimana” dituliskan dalam bentuk tulisan esai.

Sampai sini sebenarnya pertanyaan teknis menulis esai telah selesai. Tetapi kadang kita masih menyisakan pertanyaan: apakah esai sama dengan artikel? Apakah keduanya sama-sama jenis tulisan opini? Lantas bagaimana dengan kolom? Jika semuanya tidak sama, lalu dimana letak perbedaannya?

Disitu kita sering terjebak dalam pergulatan yang tidak semestinya. Sebab akan lebih mudah untuk menjawab: kita hendak menulis untuk apa dan dimana? Apakah untuk media, jika iya lantas media apa (tempo, kompas, sindo)? atau sebatas untuk dibagikan ke sekitar? Jadi dalam menulis, bukan esai itu apa, bukan menulis itu apa, tetapi ketika hendak menulis, tulislah sesuai kebutuhan. Sekali lagi itu hanya persoalan teknis dan sistematika.

Dalam fase awal seseorang belajar menulis, kita sering terjebak dalam pertanyaan njlimet tentang teknis menulis. Yang sebenarnya ini jadi penyebab mengapa kita menjadi “gagap” untuk menulis, Takut menulis bila nanti hasilnya dianggap buruk oleh pembaca. Hingga kita tidak mengoreskan atau memulai tuts apapun. Akhirnya kita pun berhenti untuk belajar menulis.

Kekeliruan tersebut yang harus kita hindari. Menulis itu soal kemauan, bukan inspirasi. Yang kita sering namakan sebagai inspirasi sebenarnya adalah kemauan kita (there is a will, there is an idea). Menulis itu bukan bagaimana, tetapi menulis adalah menulis, menulis, dan terus menulis. Menulis pada dasarnya tidak jauh beda dengan aktivitas lain seperti memainkan alat musik, bermain drama, dan sebagaimya. Kesemuanya membutuhkan latihan dan pengulangan, proses belajar terus-menerus sampai kita terbiasa dan terampil.

Manusia belajar apapun dari meniru (by imitate). Demikian pula dengan menulis. Agar progres tulisan kita berkembang, maka itu tidak terlepas dari dua hal. Pertama dari kita sering melihat dan mempelajari tulis-tulisan lain. Artinya, bila kita hendak belajar menulis esai, cobalah untuk melihat contoh tulisan-tulisan esai. Sederhana.

Kedua, aktivitas menulis tidak dapat terlepas dari aktivitas membaca. Seseorang ketika belajar menulis esai sering merasa tulisannya tidak berkembang, pasti karena tidak dibarengi dengan membiasakan diri untuk membaca. Sebab dari membaca, nalar dan logika berpikir kita akan terasah sekaligus memperluas cara pandang kita terhadap persoalan. Paulo freire mengatakan, “membaca kata, membaca dunia (reading the word, reading the world)”.

Pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana  sebenarnya pertanyaan praktik-reflektif kita sehari-hari. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa semestinya seseorang berpikir kritis terhadap dunia dan bersikap otentik atas dirinya, Kritis dalam upaya menolak memandang segala hal sebagai “common sense”. Sementara otentik adalah tidak membebek, mampu berpikir dan bertindak sendiri. Itu sebabnya hakikat menulis esai atau apapun adalah menuliskan cara pendang kita terhadap dunia. Seperti apa tulisan kita, maka itu cara kita memandang hidup. Persis dengan: ide semestinya selaras dengan laku.

Maka menulis bukanlah persoalan semata kita hendak menjadi “penulis”. Menulis adalah kebutuhan kita sebagai manusia, apa yang sehari-hari. Ingat, peradaban manusia itu berkembang dan maju karena tulisan. Sejarah itu ada karena ada tulisan. Maka dengan menulis berarti kita membuat sejarah! Tepat seperti apa yang Pramodya katakan: Tanpa menulis maka kita akan hilang dari sejarah.

***