6 Desember 2013

Refleksi Hari Guru

Setiap tanggal 25 November bangsa kita memperingatinya sebagai Hari guru. Upacara peringatan diadakan oleh sekolah maupun pemerintah. Pidato dikumandangkan, kerap kali disertai dengan pemberian penghargaan kepada guru-guru yang dianggap berprestasi. Seperti itulah Hari guru diingat. Sebatas romantisme yang minim refleksi terhadap sejarah perjuangan guru untuk perbaikan dan perubahan guru-guru.

Nyatanya memori tentang Hari guru tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa ini. Meskipun baru ditetapkan tahun 1994, tetapi perjuangan guru-guru telah ada sebelum negeri ini berdiri. Sejarah mencatat tahun 1912, telah ada Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHI), yang dua puluh tahun kemudian berubah nama menjadi persatuan guru Indonesia (PGI). Sempat dilarang pada masa jepang, pasca kemerdekaan diadakan kongres guru pada tanggal 25 november 1945 yang melahirkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Dalam rentetan sejarah organisasi guru tersebut, mengingatkan kita pada guru-guru jaman itu yang ikut berjuang mewujudkan kemerdekaan bangsa. Baik melalui pensil dan buku di dalam ruang kelas, maupuan dengan turut dalam revolusi fisik melawan pemerintah kolonial. Kita juga ingat bagaimana Ki Hadjar dan guru-guru taman siswa kukuh meski dicap sebagai sekolah liar. Atau Tan malaka yang dibuang ke Belanda karena mendidik para kaum kromo  melalui sekolah Sarekat Islam (S.I. school).

Di awal kemerdekaan, guru-guru dalam organisasi guru tak surut dalam pergolakan dan dinamika bangsa. Organiasi guru terlibat dalam merumuskan sistem pendidikan nasional, menentang kebijakan keliru seperti sekolah guru C yang hanya dua tahun (Buchori: 2007). Semua itu menjadi rekam jejak guru-guru menempatkan dirinya dalam aktivitas subversif melawan kolonial, sekaligus menjadikan guru yang bebas dari kepentingan luar.


Karenanya  miris melihat kondisi paru guru sekarang. Guru acap kali dikebirikan. Tak heran guru minim dilibatkan dalam perumusan kebijakan pendidikan. Sikap independensi guru pun lemah. Seringkali guru dan organisasi guru dimasuki kepentingan politik. Praktek-praktek itu banyak ditemukan di daerah-daerah. Guru menjadi incaran para calon Kepada Daerah dalam meraih dukungan, melalui iming-iming tunjangan, maupun kucuran dana untuk keberlangsungan organisasi guru.

Itulah alasan mengapa Hari guru jangan semata menjadi perayaan momental. Tapi menjadi momentum untuk merefleksikan sejarah perjuangan guru, mengambil pembelajaran dengan mengupayakan praktiknya dalam pendidikan kita hari ini. Menjadi guru ala Tan Malaka dan M. Syafe’i, yakni guru yang bersikap independen dan merdeka, bahwa mendidik sebagai perjuangan kerakyatan.

Selain itu para guru harus terus mengembangkan sikap terus belajar. Teknologi dan ilmu pengetahuan itu terus diperbaharui, sehingga menuntut guru terus pula mengembangkan pengetahuan dan metode pembelajarannya. Guru juga sepatutnya meneruskan cita-cita pendidikan Ki Hadjar dengan mengenalkan pada generasi muda kearifan dan local genius budaya bangsa di tengah gempuran budaya asing.

Dan yang paling penting, guru berani bersuara dan menentang kebijakan pendidikan yang salah. Artinya guru harus menentang ketidakadilan dalam pendidikan maupun permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat. Guru tidak perlu risih jika harus turun ke jalan untuk menyuarakan sikap. Semua itu jalan untuk mengembalikan guru ke fitrahnya yang memiliki peranan penting dalam mendidik dan membangun bangsa.
***