13 Desember 2013

Membaca Ulang Pendidikan

Judul buku      : Mazhab pendidikan kritis
Penulis             : M. Agus Nuryatno
Penerbit           : Resist Book
Cetakan           : Pertama, juli 2008
Halaman          : 133 halaman, i-vii, 14 x 21 cm


Fenomena mahalnya biaya pendidikan, munculnya sekolah-sekolah elit yang menjual berbagai macam fasilitas, lalu masuknya korporasi dan bisnis waralaba dalam insitusi pendidikan. Kecenderungan semacam ini menujukkan sekolah dan perguruan tinggi telah menjadikan corporate values sebagai nilai utama dalam membangun institusi pendidikan melebihi academic values. Maka tak dapat ditampik ketika muncul sarkastis: sekolah untuk dijual.

Disis lain, remaja sekarang terjebak dalam budaya pop: fun, food, fashion yang semakin kehilangan identitas dan seolah membenci diri mereka sendiri. Kemudian terjadinya paradok ketika setiap hari remaja mengkonsumsi nilai-nilai budi pekerti di sekolah akan tetapi kecurangan UN, kecelakaan lalu lintas, tawuran antar sekolah, dan tindak kriminalis yang melibatkan remaja terjadi dimana-mana.

Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa pendidikan seakan tak mampu menjawab problem sosial ini? Apakah ini hasil dari proses pendidikan? Jika iya, mengapa ini terjadi? Lantas pengetahuan, nilai-nilai, dan ideologi apa yang dipakai dan diajarkan di sekolah?

Pertanyaan semacam ini tentu sulit dijawab oleh paradigma pendidikan tradisional,yang menempatkan proses pendidikan terbatas pada proses belajar di ruang kelas. Sebab cara pandang ini melihat pendidikan harus dipisahkan dan terisolasi dengan realitas dan masyarakat sosial. Tetapi wacananya direduksi dalam persoalan transfer dan konsumsi pengetahuan tekstual kepada murid.

Pandangan semacam itulah yang ditentang oleh pendidikan kritis. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, kultur, ekonomi dan politik yang lebih luas. Institusi pendidikan tidaklah netral tetapi menjadi ajang pertarungan berbagai kepentingan. Relasi yang terjadi antar pendidikan dengan pengetahuan, kekuasaan dan ideologi tertentu  ini yang coba ditunjukkan sekaligus menjadi kritik terhadap pendidikan bagi Agus Naryatno dalam bukunya Mazhab pendidikan kritis.


Untuk menjelaskan relasi ini, Nuryatno membagi buku ini dalam empat bagian. Bagian awal dimulai dengan tiga pemikiran penting; mazhab Frankfurt, Antonio gramsci, dan Paulo freire. Nuryanto menyebutnya sebagai basis teori pendidikan kritis.

Berangkat dari Teori kritis mazhab Frankfurt, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari dominasi kapitalisme dalam masyarakat. Theodor Adorno menyebut pertumbuhan teknologi yang masif sebagai “the culture industry”. Dalam masyarakat konsumtif, misalnya, orang kesulitan membedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want). Alasan mengapa orang membeli satu produk atau komoditi tentu bukanlah didasari atas nilai guna, tapi didasarkan pada nilai tanda yang diiklankan secara masif lewat media massa. “ I buy therefore I exist.”

Dalam wilayah pendidikan, dampak yang paling nyata dari dominasi kapitalisme adalah budaya positivism yang melahirkan generasi rasionalitas teknokratik. Rasionalitas teknokratik melahirkan sikap konformitas yang mengarahkan peserta didik untuk bersikap pasif dan adaptif terhadap teks (buku pelajaran) dan konteks (realitas). Ini menjawab pertanyaan mengapa remaja mengkonsumsi moralitas dan budi pekerti di sekolah tetapi tidak memiliki kesadaran kritis terhadap realitas dan hidupnya.

Nuryatno juga memakai konsep kunci dari Gramsci tentang hegemoni, ia mengatakan bentuk-bentuk hegemoni terjadi dalam institusi pendidikan, sebagai konsekuensi “politik adalah proses edukatif”. Akan tetapi tanpa diskursus praksisnya dalam pendidikan, sebagai misal, menjelaskan sejarah tidaklah objektif, tetapi sejarah dipilih demi kekuasaan dan kepentingan politik tertentu. Bagaimana teks-teks pelajaran sejarah kita dipenuhi sejarah militer, ada yang tercatat, dan ada yang disingkirkan dalam sejarah. Kemudian semua inilah yang diajarkan di sekolah-sekolah, dan secara sukarela menerima ini sebagai sejarah nasional.

Berbeda seperti Gramsci, melalui Paulo Freire, Nuryatno dalam bukunya dengan jitu berusaha menjelaskan pendidikan sebagai tindakan politik. Pendidikan adalah praktik pembebasan kaum tertindas oleh kelompok dominan. Optimisme pendidikan ala Freire ini memandang pendidikan harus mengambil peran dalam memproduksi dan menciptakan kehidupan publik, bukan sekedar beradaptasi dengan realitas sosial.

Dengan ketiga pemikiran kritis tersebut, bagian ketiga buku ini Nuryatno mencoba menjadikan critical pedagogy sebagai “pisau” untuk menyingkap isu-isu pendidikan kontemporer. Seperti melalui teori reproduksi Nuryatno berargumen bahwa nilai-nilai dan dan praktek-praktek sekolah pada dasarnya adalah cerminan dari organisasi ekonomi.

Misalnya, guru memiliki otoritas untuk menentukan tujuan dan aktivitas kelas bagi muridnya, sebagaimana manager perusahaan yang punya otoritas untuk menyusun agenda dan tujuan produksi ekonomi bagi para buruh. Murid dimotivasi dengan nilai raport, dan buruh dengan gaji. Murid teralienasi hari hasil dan proses belajar, seperti halnya buruh teralienasi dari hasil dan proses aktivitas kerja (hal 61-62).

Sekolah dicurigai sebagai pemelihara status quo, mempertahankan hirarki kelas sosial masyarakat. Ini nampak dari praktek-praktek sekolah elit dengan biaya selangit yang hanya dapat dijangkau masyarakat kelas menegah dan alas. Selain itu ideologi kompetisi akan menguntungkan anak-anak yang berasal dari keluarga yang memiliki kapital intelektual dan kapital ekonomi. Sementara anak-anak disabilitas dan miskin akan tersingkirkan. Pendidikan tidak menjadi mobilisasi sosial tapi mempertahankan cycles of disadvantage masyarakat kelas bawah.

Di bagian terakhir Nuryatno yang memiliki latar belakang tradisi islam cukup kental mencoba mencangkokkan ide-ide mazhab pendidikan kritis kedalam wacana pendidikan islam. Nuryatno merasa bahwa gagasan-gagasan pedagogis dalam islam disampaikan dengan cara yang tidak dialogis, karena proses pembelajaran menekankan pada transmisi informasi, hapalan, dan repetisi. Buku-buku pendiidkan islam terjebak pada tataran normative, tidak mengkaitkan dengan konteks zaman. Situasi ini menjadikan semacam madrasah berfungsi sebagai alat reproduksi dan preservasi kultural (hal 91-92).

Nuryatno mengkritik generasi islam sekarang yang sulit membedakan antara islam normative dan islam historis. Islam normative adalah islam yang tidak berubah karena berasal dari tuhan melalui nabi yang berwujud Al-Quraan. Sementara islam historis adalah islam yang bbisa berubah karena dikonstruksi oleh manusia sesuai konteks zaman dalam rangka merespon masalah dan tantangan tertentu. Islam historis ini berbentuk dalam teologi, tafsir, hadist, hukum islam, falsafah, dan tasawuf. Terjadi stagnasi pemikiran islam karena produk yang dihasilkan oleh generasi islam masa lampau menjadi dogmatic, statis, repetitive, dan sakral. (hal 109)

Tulisan dalam buku agus Nuryatno berisi tentang pendidikan bukanlah ruang yang bebas dari intervensi dan praktik politik yang lebih luas. Buku ini menjadi literature penting sebagai pengantar untuk memahami pendidikan kritis dan bagaimana pendidikan kritis menyingkap isu-isu dan fenomena yang terjadi dalam pendidikan dan masyarakat kita. Pemikiran kritis mazhab Frankfurt, Gramsci, dan Freire menjadi alternative dominasi pemikiran psikologi dalam telaan pedagogy di Indonesia.


Secara keseluruhan buku mazhab pendidikan kritis mencoba menunjukan pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo. Karenanya penting sekali untuk membaca ulang pendidikan kita, Meminjam bahasa Neil Postman (1995), apakah pendidikan mampu menciptakan kehidupan publik? Tapi, kehidupan publik seperti apa yang ingin diciptakan?