25 Mei 2016

Homo Jakartensis dan Perikehidupannya


(Harian Nasional, 19 Desember 2015)

Judul               : Tiada Ojek di Paris
Penulis            : Seno Gumirah Ajidarma
Penerbit           : Mizan
Cetakan           : I, April 2015
ISBN               : 978-979-433-846-9

Ketika kita menyebut kata Jakarta, maka yang terlintas barangkali tak hanya gedung demi gedung yang jangkung, namun juga deretan perkampungan kumuh di tengah kota. Begitu pula, Jakarta tidak hanya merujuk pada Betawi, karena Betawi hanya merujuk geografis, tapi dianggap tak cukup untuk mewakili Jakarta. Lalu apa Jakarta?

Jakarta, bagi Seno Gumirah Ajidarma (SGA) dalam bukunya Tiada Ojek di Paris adalah “ibu kota” makna. Kehidupan yang plural, berjalan cepat, tergesa, kontras, dan penuh seliweran kontradiksi. SGA mencoba mengulik wacana demi wacana yang yang hadir dalam menciptakan kota metropolitan dan penghuninya. Esai-esai dalam buku ini jadi semacam obrolan urban yang nakal, nyentil, cerdas, dan bernas. Mengenai bagaimana ajaibnya Homo Jakartensisnya beserta tontonan kehidupan urban yang penuh makna nan absurd.

Merujuk pada pola perkembangan kota-kota global kontemporer macam London, New York dan Tokyo, maka Jakarta lebih mirip Los Angles sebagai sebuah kota postmodern. Sebuah kota postmodern menampilkan bagaimana industrialiasi ekonomi global mengubah basis kota menuju kombinasi industri teknologi tinggi dengan industri berketerampilan rendah. Pekerjaan, permukiman, dan sistem transportasi membaur dalam modernitas sekaligus tradisionil. Wajah kota penuh segregasi dan polarisasi sosial antara kelas menengah dan kelas bawah (hal. 17-19).

Harus diakui, ternyata Homo Jakartensis atau manusia urban Jakarta tidak pernah bisa sepenuhnya modern. Setiap tahun, kita disuguhi teater absurd permudikan. Orang-orang dengan dorongan panggilan kampung halaman dan asal-usul berbondong-bondong mudik. Tradisi mudik telah menjadi bagian kehidupan metropolitan. Dalam pascamodernitas, yang modern dan yang tradisional hidup bersama (hal. 47). Bagaimanapun, bagi Homo Jakartensis kampung tetaplah bagian dari dirinya.

Terdapat suatu stereotip: orang Jakarta itu bukan orang Jakarta. seolah sudah terpatok dalam kepala masyarakat kita, bahwa tidak ada orang yang asli Jakarta. SGA mencoba mengulik betapa rumitnya orang Jakarta dalam menjelaskan identitasnya kalau pergi ke luar Jakarta. Bagaimana problematisnya menjelaskan ketika seorang Homo Jakartensis disodorkan pertanyaan “aslinya mana?”.

Dalam cerita yang lain, SGA menguliti Jakarta lewat wacana (ber)mobil yang tak hanya sebagai tontonan kemacetan, tetapi lebih dari itu jalanan dapat kita lihat sebagai pertarungan ideologi. Dalam esai Manusia Jakarta, Manusia Mobil, dengan nyentil SGA berseloroh: dunia Jakarta adalah dunia mobil dan kemacetan, yang telah melahirkan semesta yang unik (hal. 21). Di mobil, kita temukan pemandangan makan sambil nyetir, berdandan, makan sandwich, membaca koran, mendengar musik, atau sambil memegang handphone. Jam demi jam yang dihabiskan para Homo Jakartensis di jalanan pada gilirannya menumbuhkan budaya mobil.

Tingkah polah manusia berubah seiring berubahnya persepsi tentang dimensi ruang dan waktu mereka akibat tuntutan kehidupan perkotaan yang serba cepat dan tak memberikan waktu untuk berhenti sejenak. Di Jakarta; ruang konkret menjadi sebuah citra yang abstrak. Banyak orang Jakarta sebetulnya merasa berumah di kantor, di kafe, dan di mobil dari pada di tempat tinggalnya sendiri. Ketika berkata “pulang” sebetulnya ia merasa pergi ke tempat asing (hal 182-183).

Jakarta menjadi ibu kota persilangan pelbagai wacana dan kekuasaan. Cerita Jakarta adalah cerita tentang orang-orang modern yang tertipu dan terkungkung oleh “kemodernannya”. Bagaimanapun, tuntutan kehidupan perkotaan yang keras dan kontradiktif mendorong terciptanya fenomena yang kadang ganjil dan ketika menyadarinya membuat kita mengernyit dahi.

Banyak laku hidup orang-orang urban yang khas seolah-olah hanya dapat kita temui di Jakarta. Menengok Paris, maka hanya di Jakarta kita menemukan ojek. SGA memandang ojek sebagai contoh terbaik bentuk kreativitas yang tumbuh dari kebutuhan komunitasnya. Namun ojek ada bukan hanya karena menjadi jalan pintas atas kemacetan semata. Dengan gaya ironi, SGA membandingkan Jakarta dengan Paris. Lain ladang lain belalang. Homo Jakartensis adalah ndoro mas dan ndoro putri yang mboten kerso jalan kaki (hal.189).

Bagi SGA, tak aneh apabila kita kerap mendapati bagaimana sulitnya mendefinisikan Jakarta. Ketika orang melihat ibu kota yang glamour, sisi lain juga menyadari ibu kota juga gloomy. Pengertian kita tentang Jakarta sangat bergantung dengan wacana yang dibentuk, khususnya representasi media.

Masih ada esai-esai lain tentang dasi vs sandal jepit, kopi, sepakbola, gosip, uang dengar, dan kado pernikahan. Ada 44 tulisan yang terkumpul dalam buku Tiada Ojek di Paris ini. SGA mengulas tema-tema khas cultural studies yang barangkali tidak merujuk hanya Jakarta, tapi juga kota urban lain di indonesia. SGA menyelipkan poster, slogan, kemasan, dan selebaran jadul yang menambah buku ini menarik untuk dibaca.

Buku ini tentu saja hanya semacam fragmen atas pelbagai wacana yang tanpa sadar, itu adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Yang tentu saja, masih banyak sekali obrolan urban lain yang menarik dari Jakarta kita. SGA pun dalam pengantar buku mengatakan, segala gejala dalam dunia urban, mulai dari secangkir kopi luwak sampai billboard raksasa, memang selalu “minta diperhatikan”.

Apa boleh buat, Jakarta adalah ibu kota penuh makna. Meskipun barangkali menjelaskan Jakarta sama susahnya menjelaskan apa itu Indonesia. Sebab “Di Jakarta,” kata Lance Castle (2007), “Tuhan sedang membikin Indonesia”. Selamat membaca.