25 Mei 2016

Menggambarkan Potret Pendidikan Indonesia Hari Ini

(Koran Jakarta, 21 Oktober 2015)


Judul              : Potret Pendidikan Kita
Penulis          : Ahmad Baedowi, dkk
Penerbit         : Alvabet
Cetakan         : I, Mei 2015
Tebal              : 346 halaman
ISBN               : 978-602-9193-63-3

Barangkali pendidikan nasional  hari ini seperti benang kusut yang sulit  diurai untuk menemukan simpul perbaikan. Buku Potret Pendidikan Kita mengajak pembaca melihat sengkarut isu-isu dan persoalan pendidikan.

Buku dibuka dengan mengurai persoalan Ujian Nasional (UN) yang saat ini  memang sudah tak menjadi penentu tunggal kelulusan dan evaluasi. Namun karena belum dihapus, UN  masih meninggalkan polemik dan disorientasi tujuan pendidikan. Esai Adilkah UN, Adilkah Kita mencoba mengajukan sistem evaluasi yang menggunakan pendekatan peformance assessment (hal 33-35).

UN hanyalah salah satu instrumen evaluasi. Asesmen lebih luas dari sekadar evaluasi dibutuhkan untuk melihat sekaligus menguji kompetensi murid dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi masalah  sekitar mereka.

Performance assessment dapat dilakukan dengan memberi berbagai  tugas eksperimental, portofolio, dan menulis. Sementara UN memukul rata kemampuan setiap murid. Peformance asessment justru melihat bahwa setiap individu unik, sehingga perlu evaluasi pembelajaran secara pribadi  yang tidak hanya melihat kekurangan, tetapi juga kelebihan, potensi, dan minat siswa. Performance assessment memahami keberagaman (inklusif) setiap anak.

Pendidikan inklusif, selalu bersandarkan pada asas keunikan, keberagaman, dan keadilan dengan adanya akses yang sama untuk semua dalam pendidikan. Sayang,  cara pandang pendidikan  masih mengabaikan keberagaman.

Praksis pendidikan dengan kesadaran inklusif masih sebatas wacana besar, minim kemauan politik yang sungguh-sungguh. Esai Pendidikan Inklusi: Antara Cita dan Fakta menyoroti proses pelaksanaan pendidikan inklusi. Anak-anak  dengan kebutuhan khusus seperti autis, downsyndrome, dan tunanetra masih sulit  mendapat sekolah inklusi. Banyak sekolah reguler yang menolak mereka (hal 71-72).

Pada bab lain,  buku mengulas nasib perpustakaan  yang terbengkalai karena minim buku, fasilitas, dan pendanaan. Ini ditambah   minat baca para pelajar dan masyarakat yang rendah. Untuk mengatasinya bisa ditempuh model digitalisasi perpustakaan.

Kekerasan guru juga menjadi sorotan. Banyak kasus kekerasan atau bullying secara verbal, fisik, maupun simbolis yang dilakukan guru. Ada semacam mitos yang menganggap kekerasan bisa menjadikan seorang guru terlihat berwibawa. Seolah hanya dengan kekerasan, murid mau mendengarkan, takut, dan menaruh hormat (hal 170-173).

Tulisan-tulisan  buku ini menggambarkan  wajah pendidikan nasional terkait  politik pendidikan, budaya, dan konflik di sekolah. Ini termasuk juga  persoalan guru dan inspirasi pembelajaran. Sebagai sebuah tulisan bunga rampai, Potret Pendidikan Kita seperti almanak yang mencatat berbagai  isu menarik sekaligus masalah dalam pendidikan.