25 Mei 2016

Kisah Kasih Solo-Kyoto dalam Puisi Hujan

(Koran Jakarta, 29 September 2015)


Judul              : Hujan Bulan Juni  
Penulis          : Sapardi Djoko Damono
Penerbit         : Gramedia  
Cetak              : Juni 2015
ISBN               : 978-620-03-1843-1


Mungkin ada yang pernah membaca  puisi  Hujan Bulan Juni karya  Sapardi Djoko Damono. Kini, puisinya  hadir dalam bentuk karya sastra lain. Dari puisi menjadi lagu, kemudian  komik, dan nanti film. Kini Hujan Bulan Juni  beralih wahana menjadi novel. Tapi tetap puitis.


Barangkali tak ada yang lebih murung dari menanti hujan di bulan Juni yang kemarau. Seperti  betapa murungnya perasaan Sarwono karena gelisah memikirkan Pingkan, kekasihnya yang pergi ke Kyoto. Sarwono ingin menulis puisi, tak peduli Pingkan akan menyebutnya lelaki cengeng.


“Puisi itu medium,” ujar Sarwono, tokoh utama  novel. Dosen muda asal Solo itu selain mengajar Antropolog di UI, juga  seorang pujangga. Puisi-puisinya selalu menjadi langganan mengisi sudut surat kabar,Swara Keyakinan.


Ya, puisi itu medium. Ia percaya bahwa  manusia  yang sama-sama masih hidup bisa berkomunikasi, tanpa harus bertatap muka (hal 4). Dalam kerinduan yang melelahkan, Sarwono percaya, puisi bisa menjadi  medium penghubung  perasaan dengan tambatan hatinya itu. Ia yakin, puisinya akan sampai ke Pingkan, meski terpaut jarak ribuan kilometer Solo-Kyoto sekalipun.


Pingkan adalah dosen muda di prodi Jepang. Ia adik Toar Palengkahu, teman Sarwono semenjak SMA. Sejak pertama dikenalkan oleh Toar, Sarwono seperti langsung jatuh hati pada perempuan yang dia sebut Fiona, si putri tidur. Kisah kasih keduanya tumbuh ketika sama-sama mengajar di kampus dan mengerjakan penelitian.


Sarwono demikian kasmaran pada Pingkan dan menganggapnya pacar. Tapi Pingkan  selalu menolak label pacar atau mungkin sebenarnya hanya pura-pura menolak. Sarwono tak tahu. Ini  yang kadang membuat hubungan keduanya terasa rumit.


Hubungan mereka semakin rumit ketika di antara keduanya  ada perbedaan kota, budaya, suku, bahkan agama. Sarwono seorang Jawa tulen. Sementara Pingkan  campuran Jawa dan Manado. Halaman demi halaman dalam novel berkisah tentang kepelikan antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara  bernama cinta.


Puncaknya  ketika Pingkan harus pergi ke Kyoto untuk melanjutkan studi. Sarwono merasa ketakutan dan kehilangan. Sebab di Jepang Pingkan akan bersama sontoloyo Katsuo, seorang dosen Jepang. “Jadi, kau akan berangkat juga akhirnya?” itu pertanyaan  Sarwono kepada  Pingkan. Sarwono benar-benar cengeng seperti puisi-puisinya.


Ia suka bunga sakura yang hanya mekar sepekan  di awal musim semi, lalu  gugur bagaikan ronin yang dipenggal  samurai yang dikhianatinya. Tetapi, bunga  sakura tidak pernah berkhianat kepada siapa pun (hal 11-12).


Bukan. Pingkan bukan Ronin. Tak ada perempuan Ronin. Tetapi itu di Jepang. Siapa tahu di Minahasa ada perempuan Ronin? Rupanya rindu tak hanya menguras perasaan Sarwono, tetapi juga turut merubuhkan kesehatannya. Di Jepang, Pingkan pun  merindukan dan mencintai Sarwono. Ia segera pulang ketika mendapat kabar Sarwono  di rumah sakit.


Novel ini bermula dari puisi dan berakhir pula dengan puisi. Barangkali hujan yang ganjil turun di bulan Juni membasahi kota Solo. Tapi hujan juga turun di sudut mata Pingkan, ketika membaca puisi “tiga sajak kecil.” Kita tak akan pernah bertemu/aku dalam dirimu/tiadakah pilihan/kecuali di situ/ kau terpencil dalam hatiku (hal 130-133).