(Koran Tempo, 26 Desember 2015)
Judul :
Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa
Penulis : Tim Hanningan
Penerbit : KPG
Cetakan : I, Oktober 2015
Tebal : 419 halaman
ISBN : 978-979-91-0956-9
Penulis : Tim Hanningan
Penerbit : KPG
Cetakan : I, Oktober 2015
Tebal : 419 halaman
ISBN : 978-979-91-0956-9
Dia adalah Sir Thomas
Stamford Raffles, patungnya berdiri gagah di panggung putih dekat sungai di
depan tiang-tiang krem Victoria Theatre. Patung jangkung itu didirikan tahun
1919 untuk mengenang Raffles sang pahlawan, sang pelopor bagi Singapura. Di
negeri singa tersebut namanya dipuja serta disematkan menjadi nama hotel,
sekolah, dan apartemen ternama. Meski demikian, dalam hampir setiap catatan
sejarah, biografi dan kisah tentangnya, Raffles sebenarnya adalah figur yang
penuh kontroversi.
Raffles
digambarkan sebagai pahlawan sekaligus penjahat kolonialisme Eropa yang arogan.
Dan salah satu bagian petualangan Raffles di timur Asia yang paling memicu
perdebatan adalah ketika dia ditunjuk sebagai Letnan Gubernur dalam Invasi
Inggris ke Jawa tahun 1811 sampai 1816. Secara memikat, petualangan Raffles di
tanah Jawa selama kurun waktu lima tahun tersebut diceritakan oleh Tim Hanningan
dalam bukunya yang berjudul
“Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa”.
Ketika pertama
kali tiba di Jawa, Raffles baru berusia tiga puluh tahun. Lord Minto, Gubernur
Jenderal wilayah kekuasaan perusahaan Hindia Timur (The East India Company), memilih seorang yang berhenti sekolah di
usia 14 tahun, berlatar belakang keluarga kelas bawah, dan tidak memiliki
pengalaman militer. Seseorang yang sebelumnya
menjadi juru tulis di Penang, tiba-tiba ditunjuk menjadi penguasa Jawa.
Pada saat
Raffles melakukan invasi ke Jawa pada tahun 1811, Inggris sebenarnya tidak
betul-betul menginginkan Jawa. Instruksi yang dikeluarkan oleh para direktur perusahaan
Hindia Timur di Leadenhall Street sebatas untuk mengusir Belanda dari tanah
Jawa, lalu menyerahkan Jawa ke penguasa Pribumi. Alasannya jelas murni
keuangan, Jawa saat itu dipandang sebagai pulau yang tidak menjanjikan
keuntungan (hlm 59-60).
Namun tidak
demikian dengan Raffles. Ia datang dan pada akhirnya berhasil menaklukkan Jawa
dengan penuh ambisi. Baginya mengusir Belanda kemudian mundur, bukanlah cara
Inggris. Dia berhasil meyakinkan Lord Minto dan instruksi pun kemudian
diacuhkan. Raffles, punya impian besar untuk mengubah Jawa.
Hal pertama yang
Raffles lakukan adalah menundukkan dua kekuatan besar di Jawa, kerajaan kembar pecahan
Mataram dengan sultan di Yogyakarta dan seorang susuhunan di Surakarta. Keberadaan
sepasang raja yang saling cemburu dapat mengganggu reformasi besar dan berpotensi
antagonis bagi pemerintahan Inggris. Dan yang terpenting, Raffles ingin mendapat
ketundukan mutlak dari Jawa.
Apalagi ketika
kunjungan pertama kali Raffles ke istana Sultan Yogyakarta, Raffles merasa
direndahkan dalam pengaturan tempat duduk pada saat jamuan. Sultan, dengan sengaja
mengatur tempat duduk dengan menempatkan Raffles dalam posisi yang lebih
rendah. Tentu saja bagi Raffles, ini merupakan penghinaan yang paling kurang
ajar (hlm 141-142).
Maka dimulailah
episode imperialisme Inggris ala Raffles. Ia memberi instruksi kepada Kolonel
Gillespie dan tentara Inggris menyerang, menaklukkan dan menghancurkan keraton
Yogyakarta. Raffles hanya berada digaris belakang menyaksikan pertempuran.
Pertumpahan darah kemenangan Inggris atas Jawa tersebut digambarkan secara
dramatis.
Sultan dari
istananya digiring ke benteng Inggris. Lalu terjadi drama direndahkannya
seorang sultan penguasa Jawa yang berlutut di kaki Raffles. Selama dua abad,
tidak ada anggota keluarga kerajaan Jawa yang pernah melakukan tindakan
memalukan seperti itu, menyembah seorang Eropa, apalagi dipaksa dengan kasar
melakukannya (hlm 226).
Setelah itu
pelbagai perubahan dimulai dan dilakukan dengan banyak catatan hitam. Salah
satu catatan sejarah yang selama ini dihilangkan adalah keterlibatan Raffles
dalam tragedi pembunuhan 86 orang-orang Belanda di sungai Musi. Raffles
berperan dalam mengirimi surat dan berkorenpondensi membujuk Sultan Badaruddin
Palembang untuk “mengusir” Belanda dari Palembang (hal 150).
Dalam lima tahun,
Raffles tidak seberhasil yang selama ini banyak dicatut dalam buku-buku sejarah.
Pemerintah berantakan, dokumen-dokumen tak berguna menumpuk di kantornya,
Buitenzorg (kini Bogor).
Pembukuan keuangan ceroboh yang membuat miris, dan sebagian besar perkiraan
anggaran tampaknya didasari fantasi. Kekacauan terbesar diantara semuanya
adalah sistem sewa tanah. Laporan sistem sewa tanah Raffles sangat jauh dari
realitas dan fiktif (hlm 365). Di akhir masa kekuasaannya, Raffles diburu
fitnah melakukan korupsi dan berbagai tuduhan buruk atas dirinya. Dia pun
dipecat sebelum penyerahan Hindia kembali ke Belanda.
Namun sejarah
selalu ditulis oleh pemenang. Bagi Tim Hanningan, Raffles berhasil “membersihkan
namanya” dan memperoleh gelar bangsawan dengan menerbitkan buku, “The History of Java”. Juga lewat biografi
yang ditulis oleh istri keduanya, Sophia dan jurnal yang ditulis oleh ajudan
setianya, Thomas Travers. Tim Hanningan
menyatakan itu sebagai kebohongan sejarah yang memalukan. The History of Java hanya praktek besar plagiarisme. Raffles banyak
menjiplak catatan dan naskah Belanda yang dia temukan di perpustakaan
Buitenzorg (hlm 249).
Membaca buku
setebal 419 halaman ini, mengungkapkan sisi lain Raffles yang tampak ketika dia
berkuasa di Jawa dua abad lalu. Ada tragedi dan kematian, kebencian dan
kemunafikan, serta sejumlah kegagalan. Berbekal arsip yang tersimpan di British Library, sebuah catatan sejarah ditulis
oleh Tim Hannigan dengan gaya bahasa naratif yang mengesankan.
Menariknya, buku
ini ketika pertama kali terbit tahun 2012 dalam bahasa Inggris berbarengan
dengan buku biografi tentang Raffles oleh penulis kenamaan, Victoria
Glindinging, berjudul “Raffles and The
Golden Opportunity”. Berbeda dengan Victoria Glindinging yang menggambarkan
sosok Raffles secara simpatik, Tim Hanningan, mencoba mengungkapkan pelbagai
jejak kelam Raffles di Jawa yang selama ini seolah sengaja dihilangkan dalam catatan biografi hidupnya.