25 Mei 2016

Jejak Kelam Raffles Di Jawa


(Koran Tempo, 26 Desember 2015)

Judul               : Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa
Penulis            : Tim Hanningan
Penerbit           : KPG                
Cetakan           : I,  Oktober 2015
Tebal               : 419 halaman
ISBN               : 978-979-91-0956-9


Dia adalah Sir Thomas Stamford Raffles, patungnya berdiri gagah di panggung putih dekat sungai di depan tiang-tiang krem Victoria Theatre. Patung jangkung itu didirikan tahun 1919 untuk mengenang Raffles sang pahlawan, sang pelopor bagi Singapura. Di negeri singa tersebut namanya dipuja serta disematkan menjadi nama hotel, sekolah, dan apartemen ternama. Meski demikian, dalam hampir setiap catatan sejarah, biografi dan kisah tentangnya, Raffles sebenarnya adalah figur yang penuh kontroversi.


Raffles digambarkan sebagai pahlawan sekaligus penjahat kolonialisme Eropa yang arogan. Dan salah satu bagian petualangan Raffles di timur Asia yang paling memicu perdebatan adalah ketika dia ditunjuk sebagai Letnan Gubernur dalam Invasi Inggris ke Jawa tahun 1811 sampai 1816. Secara memikat, petualangan Raffles di tanah Jawa selama kurun waktu lima tahun tersebut diceritakan oleh Tim Hanningan dalam bukunya yang berjudulRaffles dan Invasi Inggris ke Jawa”.


Ketika pertama kali tiba di Jawa, Raffles baru berusia tiga puluh tahun. Lord Minto, Gubernur Jenderal wilayah kekuasaan perusahaan Hindia Timur (The East India Company), memilih seorang yang berhenti sekolah di usia 14 tahun, berlatar belakang keluarga kelas bawah, dan tidak memiliki pengalaman militer. Seseorang yang sebelumnya menjadi juru tulis di Penang, tiba-tiba ditunjuk menjadi penguasa Jawa.


Pada saat Raffles melakukan invasi ke Jawa pada tahun 1811, Inggris sebenarnya tidak betul-betul menginginkan Jawa. Instruksi yang dikeluarkan oleh para direktur perusahaan Hindia Timur di Leadenhall Street sebatas untuk mengusir Belanda dari tanah Jawa, lalu menyerahkan Jawa ke penguasa Pribumi. Alasannya jelas murni keuangan, Jawa saat itu dipandang sebagai pulau yang tidak menjanjikan keuntungan (hlm 59-60).


Namun tidak demikian dengan Raffles. Ia datang dan pada akhirnya berhasil menaklukkan Jawa dengan penuh ambisi. Baginya mengusir Belanda kemudian mundur, bukanlah cara Inggris. Dia berhasil meyakinkan Lord Minto dan instruksi pun kemudian diacuhkan. Raffles, punya impian besar untuk mengubah Jawa.


Hal pertama yang Raffles lakukan adalah menundukkan dua kekuatan besar di Jawa, kerajaan kembar pecahan Mataram dengan sultan di Yogyakarta dan seorang susuhunan di Surakarta. Keberadaan sepasang raja yang saling cemburu dapat mengganggu reformasi besar dan berpotensi antagonis bagi pemerintahan Inggris. Dan yang terpenting, Raffles ingin mendapat ketundukan mutlak dari Jawa.


Apalagi ketika kunjungan pertama kali Raffles ke istana Sultan Yogyakarta, Raffles merasa direndahkan dalam pengaturan tempat duduk pada saat jamuan. Sultan, dengan sengaja mengatur tempat duduk dengan menempatkan Raffles dalam posisi yang lebih rendah. Tentu saja bagi Raffles, ini merupakan penghinaan yang paling kurang ajar (hlm 141-142).


Maka dimulailah episode imperialisme Inggris ala Raffles. Ia memberi instruksi kepada Kolonel Gillespie dan tentara Inggris menyerang, menaklukkan dan menghancurkan keraton Yogyakarta. Raffles hanya berada digaris belakang menyaksikan pertempuran. Pertumpahan darah kemenangan Inggris atas Jawa tersebut digambarkan secara dramatis.


Sultan dari istananya digiring ke benteng Inggris. Lalu terjadi drama direndahkannya seorang sultan penguasa Jawa yang berlutut di kaki Raffles. Selama dua abad, tidak ada anggota keluarga kerajaan Jawa yang pernah melakukan tindakan memalukan seperti itu, menyembah seorang Eropa, apalagi dipaksa dengan kasar melakukannya (hlm 226).


Setelah itu pelbagai perubahan dimulai dan dilakukan dengan banyak catatan hitam. Salah satu catatan sejarah yang selama ini dihilangkan adalah keterlibatan Raffles dalam tragedi pembunuhan 86 orang-orang Belanda di sungai Musi. Raffles berperan dalam mengirimi surat dan berkorenpondensi membujuk Sultan Badaruddin Palembang untuk “mengusir” Belanda dari Palembang (hal 150).


Dalam lima tahun, Raffles tidak seberhasil yang selama ini banyak dicatut dalam buku-buku sejarah. Pemerintah berantakan, dokumen-dokumen tak berguna menumpuk di kantornya, Buitenzorg (kini Bogor). Pembukuan keuangan ceroboh yang membuat miris, dan sebagian besar perkiraan anggaran tampaknya didasari fantasi. Kekacauan terbesar diantara semuanya adalah sistem sewa tanah. Laporan sistem sewa tanah Raffles sangat jauh dari realitas dan fiktif (hlm 365). Di akhir masa kekuasaannya, Raffles diburu fitnah melakukan korupsi dan berbagai tuduhan buruk atas dirinya. Dia pun dipecat sebelum penyerahan Hindia kembali ke Belanda.


Namun sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Bagi Tim Hanningan, Raffles berhasil “membersihkan namanya” dan memperoleh gelar bangsawan dengan menerbitkan buku, “The History of Java”. Juga lewat biografi yang ditulis oleh istri keduanya, Sophia dan jurnal yang ditulis oleh ajudan setianya, Thomas Travers. Tim Hanningan menyatakan itu sebagai kebohongan sejarah yang memalukan. The History of Java hanya praktek besar plagiarisme. Raffles banyak menjiplak catatan dan naskah Belanda yang dia temukan di perpustakaan Buitenzorg (hlm 249).


Membaca buku setebal 419 halaman ini, mengungkapkan sisi lain Raffles yang tampak ketika dia berkuasa di Jawa dua abad lalu. Ada tragedi dan kematian, kebencian dan kemunafikan, serta sejumlah kegagalan. Berbekal arsip yang tersimpan di British Library, sebuah catatan sejarah ditulis oleh Tim Hannigan dengan gaya bahasa naratif yang mengesankan.


Menariknya, buku ini ketika pertama kali terbit tahun 2012 dalam bahasa Inggris berbarengan dengan buku biografi tentang Raffles oleh penulis kenamaan, Victoria Glindinging, berjudul “Raffles and The Golden Opportunity”. Berbeda dengan Victoria Glindinging yang menggambarkan sosok Raffles secara simpatik, Tim Hanningan, mencoba mengungkapkan pelbagai jejak kelam Raffles di Jawa yang selama ini seolah sengaja dihilangkan dalam catatan biografi hidupnya.