(Pikiran Rakyat, 24 November 2015)
Setiap tanggal
25 November bangsa memperingatinya sebagai Hari guru. Sebagai seorang guru,
hari guru selayaknya bukan hanya peringatan, tetapi juga menjadi pengingat dan ingatan.
Hari guru menjadi momen untuk bersikap kritis terhadap kondisi guru dan pendidikan
kita saa tini.
Sudah
semestinya kita memahami masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh praktik pendidikan
hari ini. Bagaimana generasi saat ini dididik merupakan cerminan generasi di
masa yang akan datang. Disinilah titik tolak guru memegang peranan penting. Tak
berlebihan jika dikatakan hidup matinya bangsa ada di tangan para guru. Akan
tetapi apa yang dibangun dalam pendidikan kita justru mendiskreditkan
guru,semenjak dalam penyiapan calon guru maupun ketika telah menjadi guru.
Salah satu faktor yang menciptakan kondisi ini adalah
kekeliruan persepsi dan pemahaman penyelenggara pendidikan kita mengenai cara
membangun sistem pendidikan yang baik. Segala sesuatu perihal pendidikan
disikapi dengan pendekatan top down,
bukannya bottom up, sehingga sering terjadi
disparitas antara kebijakan dengan realitas persoalan pendidikan. Ini pula yang
menjadi sebab mengapa guru-guru jarang dilibatkan penuh dalam kebijakan
pendidikan semisal dalam pembuatan kurikulum. Padahal, guru lah yang tahu benar
bagaimana kondisi pendidikan kita, proses belajar di kelas, dan apa
persoalannya.
Lantas guru-guru
kita disibukkan dengan urusan non mengajar, tapi urusan administrasi seperti
kewajiban jam mengajar, sertifikasi profesi, akreditasi sekolah, bahkan rangkap
jabatan sebagai tata usaha (TU) di sekolah. Sehingga nyaris tidak ada waktu
untuk menyiapkan materi pembelajaran, apalagi untuk belajar lagi.
Pandangan guru sebagai tukang ini bertentangan dengan apa
yang dikatakan oleh pedagog kritis Henry Giroux, bahwa guru adalah intelektual transformatif. Kata intelektual mengafimasi bahwa guru
adalah pekerjaan cendikiawan, orang yang memiliki kapasitas dalam pengetahuan.
Pekerjaan yang tidak tepat untuk disamakan dengan tukang. Sebagai intelektual dalam
praksisnya guru tidak sekedar sebagai penyampai, tetapi juga sebagai konseptor dalam
membuat perencanaan pembelajaran.
Tugas guru sebagai intelektual transformatif adalah mengubah
muridnya dan masyarakat dalam konteks edukasi, budaya, social dan politis. Atau
dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara, tugas guru adalah untuk memerdekakan. Guru tut wuri handayani membimbing muridnya menjadi
manusia yang merdeka, yaitu manusia yang hidupnya lahir dan batin tidak tergantung
pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.
Dan sebagai seorang intelektual, seorang guru tidak mengkin terlepas
dari buku-buku. Hari guru selayaknya menjadi
momen reflektif bagi kita para guru untuk meningkatkan diri sebagai seorang pendidik
dan pengajar. Berendah hati untuk terus belajar, membaca buku dan pengetahuan baru.
Demi martabat guru yang lebih baik. Selamat hari guru.