25 Mei 2016

Refleksi Hari Guru


(Pikiran Rakyat, 24 November 2015)


Setiap tanggal 25 November bangsa memperingatinya sebagai Hari guru. Sebagai seorang guru, hari guru selayaknya bukan hanya peringatan, tetapi juga menjadi pengingat dan ingatan. Hari guru menjadi momen untuk bersikap kritis terhadap kondisi guru dan pendidikan kita saa tini.

Sudah semestinya kita memahami masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh praktik pendidikan hari ini. Bagaimana generasi saat ini dididik merupakan cerminan generasi di masa yang akan datang. Disinilah titik tolak guru memegang peranan penting. Tak berlebihan jika dikatakan hidup matinya bangsa ada di tangan para guru. Akan tetapi apa yang dibangun dalam pendidikan kita justru mendiskreditkan guru,semenjak dalam penyiapan calon guru maupun ketika telah menjadi guru.

Salah satu faktor yang menciptakan kondisi ini adalah kekeliruan persepsi dan pemahaman penyelenggara pendidikan kita mengenai cara membangun sistem pendidikan yang baik. Segala sesuatu perihal pendidikan disikapi dengan pendekatan top down, bukannya bottom up, sehingga sering terjadi disparitas antara kebijakan dengan realitas persoalan pendidikan. Ini pula yang menjadi sebab mengapa guru-guru jarang dilibatkan penuh dalam kebijakan pendidikan semisal dalam pembuatan kurikulum. Padahal, guru lah yang tahu benar bagaimana kondisi pendidikan kita, proses belajar di kelas, dan apa persoalannya.

Lantas guru-guru kita disibukkan dengan urusan non mengajar, tapi urusan administrasi seperti kewajiban jam mengajar, sertifikasi profesi, akreditasi sekolah, bahkan rangkap jabatan sebagai tata usaha (TU) di sekolah. Sehingga nyaris tidak ada waktu untuk menyiapkan materi pembelajaran, apalagi untuk belajar lagi.

Pandangan guru sebagai tukang ini bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh pedagog kritis Henry Giroux, bahwa guru adalah intelektual transformatif. Kata intelektual mengafimasi bahwa guru adalah pekerjaan cendikiawan, orang yang memiliki kapasitas dalam pengetahuan. Pekerjaan yang tidak tepat untuk disamakan dengan tukang. Sebagai intelektual dalam praksisnya guru tidak sekedar sebagai penyampai, tetapi juga sebagai konseptor dalam membuat perencanaan pembelajaran.

Tugas guru sebagai intelektual transformatif adalah mengubah muridnya dan masyarakat dalam konteks edukasi, budaya, social dan politis. Atau dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara, tugas guru adalah untuk memerdekakan. Guru tut wuri handayani membimbing muridnya menjadi manusia yang merdeka, yaitu manusia yang hidupnya lahir dan batin tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.

Dan sebagai seorang intelektual, seorang guru tidak mengkin terlepas dari buku-buku.  Hari guru selayaknya menjadi momen reflektif bagi kita para guru untuk meningkatkan diri sebagai seorang pendidik dan pengajar. Berendah hati untuk terus belajar, membaca buku dan pengetahuan baru. Demi martabat guru yang lebih baik. Selamat hari guru.