25 Mei 2016

Makna Hari Difabel

(Koran Jakarta, 3 Desember 2015)
Tanggal 3 Desember  ini diperingati  sebagai Hari Disabilitas Internasional (HDI) yang dulu Hari Penyandang Cacat. Di sekolah, penyandang disabilitas atau difabel disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK). Ini sebuah istilah yang menggantikan kata cacat, tidak normal, maupun anak luar biasa. Istilah anak berkebutuhan khusus dianggap lebih etis, manusiawi, bermartabat, dan sesuai dengan karakteristik mereka.

Perbaikan  istilah ini diharapkan mengandung makna adanya perubahan cara pandang masyarakat terhadap para penyandang disabilitas, termasuk dalam dunia pendidikan. Istilah berkebutuhan khusus berusaha menjelaskan bahwa mereka sama seperti anak-anak pada umumnya, hanya  memiliki kebutuhan belajar yang berbeda dan khusus.

Anak-anak yang tidak cacat penglihatan dapat  membaca dengan mata. Sedang  anak-anak yang tidak dapat melihat, harus  membaca dibantu  jari  menggunakan huruf braille. Bila anak-anak yang dapat mendengar berkomunikasi secara lisan, maka anak-anak  tunarungu   berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan  alat bantu dengar. Mereka sama dan mampu untuk belajar, hanya  cara belajarnya  khusus dan unik.

Kini  dunia pendidikan  mulai memberi kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah inklusif. Artinya anak-anak berkebutuhan khusus tidak lagi harus belajar  terpisah, di sekolah luar biasa (SLB). Mereka dapat belajar di sekolah reguler bersama anak-anak  umumnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai sekolah inklusif.

Sekolah inklusif mencerminkan sebuah pandangan yang melihat adanya keberagaman dan keunikan pada setiap individu, sehingga pendidikan  semestinya dapat mewadahi perbedaan. Pendidikan  inklusif  tidak membeda-bedakan anak atau segregatif. Sekolah inklusif adalah gagasan untuk memberi kesempatan belajar yang sama pada setiap anak.

Semua anak memiliki hak untuk belajar. Pendidikan adalah untuk semua, termasuk  anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Maka,  rakyat tidak berhak  melarang atau menolak anak berkebutuhan khusus yang ingin sekolah. Mereka berhak  mendapat dan memilih tempat belajar sesuai dengan kemampuan, karakteristik, minat, dan bakatnya.

Warga tidak hidup dalam dunia terpisah, tetapi  kadang malah bersikap memisahkan orang-orang yang dianggap berbeda, terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus atau difabel seperti autis, tunanetra, tunarungu, dan down syndrom. Mereka adalah kelompok minoritas yang kerap diperlakukan  diskriminatif, terlebih dalam pendidikan.

Berbagai stereotip negatif dilekatkan pada  mereka. Warga memisahkan dari kehidupan  dengan menyebut mereka “tidak normal.” Masyarakat  membuat semacam pagar politik, sosial, dan kultural. Sekolah adalah contoh paling mudah bahwa  kita belum bisa menghargai perbedaan.

Eufemisme
Mereka disebut anak luar biasa dan  tempat pendidikannya dinamai  sekolah luar biasa. Tapi itu hanya bentuk eufemisme (penghalusan) bahasa yang justru membuat orang  bersikap membedakan. Itilah-istilah tersebut justru menciptakan pelabelan sosial terhadap mereka. Mereka bukan anak-anak luar biasa, tetapi biasa karena  sama seperti lainnya. Mereka tidak berbeda dengan anak lain yang juga memiliki kekurangan dan kelebihan.

Tidak sulit  hidup bersama. Ketidaksamaan  bukan untuk dibeda-bedakan, tetapi menjadi medan  belajar saling memahami. Barangkali anak-anak difabel memiliki hambatan, tapi bukan untuk dibedakan. Sebab tak ada satu pun individu yang sama. Setiap individu berbeda dan kerenanya setiap anak itu unik.

Merayakan perbedaan adalah menghargai nilai pluralitas. Seperti yang St Kartono (2009) katakan,  pendidikan pluralistik menciptakan situasi sekolah untuk melayani diversity atau pluralitas siswa.

Anak-anak dengan  kebutuhan khusus seperti tunanetra dan tunarungu sepatutnya dibiarkan memilih tempat pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) atau inklusif, sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Sekolah terbaik  yang sesuai dengan karakteristik anak. Apabila mampu, mereka berhak dan harus didorong  dapat belajar  di sekolah inklusif.

Setiap siswa berhak diperlakukan  sama. Namun  setiap murid  juga diperhatikan secara pluralis,  sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan individual. Kehadiran sekolah inklusif adalah bentuk kesadaran atas kewajiban untuk memberikan hak dan akses yang sama dalam pendidikan.

Sebab bagaimanapun menyembunyikan perbedaan hanya akan menumbuhkan benih-benih sikap intoleran dan diskriminatif pada anak-anak. Sekolah adalah laboratorium kehidupan. Sekolah menjadi anasir laku hidup anak-anak. Ruang kelas menjadi tempat berbagai nilai kemanusiaan ditanamkan dan disemai. Di situlah anak-anak diajari  nilai toleransi dan merayakan perbedaan.